• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurikulum Anti-Korupsi Bukan Solusi 8

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 46-51)

Menindak-lanjuti sebuah diskusi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Pendidikan pernah mengumumkan rencana-rencana untuk memasukkan satu modul anti korupsi pada Kurikulum 2011 (The Jakarta Post, 23 Desember 2010). Hal ini tentu saja sebuah niat yang mulia untuk mengajari anak-anak menjadi jujur dan bermoral. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran untuk menanamkan kejujuran dan integritas sejak dini. Penyusunan sebuah modul anti-korupsi untuk diintegrasikan ke dalam Kurikulum 2011 mungkin sebuah tugas yang spesifik dan konkret yang dapat diwujudkan dalam dalam waktu dekat. Akan tetapi, mentransformasi nilai-nilai kejujuran pada kaum muda kita membutuhkan lebih dari sekedar dokumen-dokumen kurikulum, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan lembar kerja tentang anti-korupsi.

Di tahun 1920, Hugh Hartshorne dan M.A. May melakukan serangkaian studi kepada 11.000 peserta didik sekolah yang berusia antara delapan hingga enam belas tahun untuk mengukur kejujuran dengan cara memberikan mereka berbagai macam bentuk ujian. Studi tersebut menyimpulkan bahwa kejujuran bukanlah sebuah ciri khusus yang fundamental dan secara signifikan dipengaruhi oleh situasi. Para peneliti menuliskan bahwa “kebanyakan dari anak-anak tersebut akan berbohong pada situasi tertentu dan tidak pada situasi-situasi lainnya. Berbohong, berbuat curang, dan mencuri seperti yang diukur oleh situasi-situasi ujian yang digunakan dalam studi ini sangatlah tidak berkaitan.”

Sebuah studi lain dalam pengenalan karakter dilakukan oleh dua psikolog dari Princeton University yang bernama John Darley dan Daniel Batson (1973). Kedua peneliti ini mereka ulang sebuah simulasi dari cerita Alkitab tentang perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati dan mengkondisikan kelompok-kelompok seminari teologi Princeton dalam situasi-situasi yang berbeda. Studi ini menyimpulkan bahwa putusan akan hati seseorang tidak begitu

8Artikel ini pernah dimuat di The Jakarta Post pada 25 Januari 2011 dengan judul asli

penting ketimbang konteks langsung perilaku yang ditampilkan. Bahkan ketika satu kelompok dari para seminaris ini berpikir tentang cerita Orang Samaria yang Murah Hati, mereka tetap tidak tergerak untuk menolong seorang korban di sepanjang jalan mereka dan memilih untuk tetap pergi berlalu.

Dalam buku terlarisnya berjudul The Tipping Point, Malcolm Gladwell berpendapat lebih jauh bahwa tindakan kriminal memiliki sifat menular. Gladwell mengutip teori The Broken Window (Jendela yang Pecah) yang dikemukakan oleh James Wilson dan George Kelling yang menyatakan bahwa tindakan kriminal adalah hasil yang tidak terelakkan dari ketidak-teraturan. Jika sebuah jendela yang pecah dan ditinggal tanpa diperbaiki, orang-orang yang berjalan melewatinya akan menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang peduli. Tidak lama, beberapa jendela yang lain juga akan pecah dan pikiran anarkis akan segera berkembang dan menyebarluas. Teori ini juga dapat diterapkan pada kebiasaan berlaku curang di antara anak-anak sekolah. Berbohong, mencontek, dan mencuri yang dilakukan oleh para peserta didik akan tumbuh sebagai sebuah embrio perilaku korupsi di kemudian hari ketika mereka beranjak dewasa. Lebih buruk lagi, tindakan mencontek yang didukung oleh para guru mereka dan sistem pendidikan seperti pada kasus pembenaran cara apapun agar bisa lulus Ujian Nasional (UN) akan lebih jauh menguatkan pembentukan kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan korupsi. Selain itu, lingkungan eksternal di luar sekolah menunjukkan bahwa nilai-nilai dan perilaku-perilaku korupsi berhasil menemukan cara untuk mengalahkan sistem di negara kita. Hal-hal ini adalah pelajaran-pelajaran yang sangat kuat yang diserap oleh para peserta didik sekolah dibandingkan dengan kurikulum anti-korupsi yang didiktekan kepada mereka.

Sebagai sebuah tindakan kriminal, korupsi merajalela. Berita baiknya adalah seperti halnya wabah yang dapat ditanggulangi melalui pengendalian lingkungan, kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku korupsi juga dapat dicegah. Dalam berbagai cara, anak-anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Situasi-situasi dapat dan seharusnya dibentuk sedemikian rupa

sehingga tindakan mencontek dan berbohong dapat dihalangi. Usia sekolah adalah kesempatan dan periode untuk membentuk kebiasaan untuk menanamkan karakter-karakter integritas.

Kunci untuk pendidikan karakter yang efektif di sekolah-sekolah adalah bukan dengan mengembangkan modul-modul untuk ditambahkan ke dalam kurikulum yang akan lebih jauh membuat kewalahan para guru; hal ini dikarenakan cakupan kurikulum yang sudah terlalu luas dalam menjamin penguasaan selama proses belajar mengajar. Sedangkan, terdapat cara-cara yang lebih efektif lainnya untuk menanamkan kejujuran dan integritas pada anak-anak muda melalui sekolah-sekolah.

Yang pertama dan utama, gerakan untuk pembentukan perilaku anti-korupsi seharusnya bukan sebuah kebijakan yang dari atas ke bawah (top-down) melalui modul-modul dari pemerintah pusat yang diberikan kepada sekolah-sekolah. Apa yang pasti akan mengikuti kemudian adalah sebuah pembelajaran hafalan yang membuat para murid terhenti pada tingkatan menghafal. Pembentukan nilai-nilai dan perilaku-perilaku anti-korupsi seharusnya tumbuh sebagai sebuah gerakan sosial yang berpusat pada masing-masing sekolah sebagai unit operasional. Menanamkan karakter-karakter integritas seharusnya dilakukan dari sekolah ke sekolah dan dari individu ke individu. Pada tahap ini dimana budaya korupsi tidak terkendali, kuantitas hendaknya tidak dijadikan sebagai sebuah indikator kesuksesan. Maka dari itu, untuk memulai sebuah efek wabah nilai-nilai dan perilaku-perilaku anti-korupsi untuk menyebar, inisiatif-inisiatif dengan skala kecil di berbagai tempat seharusnya dimulai dan dikembangkan.

Berdasarkan penemuan dalam bidang ilmu syaraf (neurosains) dan psikologi sosial, Gladwell mengutip angka ajaib 150 dalam teorinya yang bernama The Power of The Few dengan memulai wabah yang menggerakkan banyak orang. Agar berfungsi dengan baik dan tertanam dalam hubungan-hubungan sosial yang efektif, sebuah komunitas sebaiknya membatasi ukurannya hingga kurang lebih 150 anggota. Sekolah-sekolah kecil seharusnya mendapatkan keuntungan dengan menciptakan situasi-situasi yang mendukung

pembentukan kebiasaan bersikap jujur dan berintegritas dari satu orang ke orang lain. Sementara itu, sekolah-sekolah yang besar seharusnya berusaha untuk mencari cara untuk memberikan perhatian yang lebih kepada masing-masing peserta didik secara individu dengan cara membagi kelompok peserta didik ke dalam kelompok-kelompok mentoring dan supervisi yang lebih kecil.

Kemudian, betulkan jendela yang rusak itu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diberi penghargaan atas upayanya merevisi kebijakan tentang UN dengan cara memberikan otoritas kepada sekolah sebagai partner dalam menentukan syarat-syarat kelulusandan menjadikan UN bukan sebagai acuan utama kelulusan. Pedoman yang kemudian harus dilakukan adalah menggerakkan para guru dan peserta didik. Perilaku mencontek atau berbuat curang, berbohong, dan mencuri seharusnya ditindak tegas. Hal ini tidak hanya berlaku dalam lingkup ujian tetapi juga pada hal-hal lain seperti sertifikasi guru, penggunaan anggaran sekolah, dan akreditasi sekolah.

Lebih jauh, ini adalah waktu yang tepat untuk mendesain sebuah proses pembelajaran dan asesmen dimana mencontek tidak lagi relevan. Para murid seharusnya dinilai bukan melalui seberapa banyak fakta yang mereka bisa hafal tetapi lebih kepada seberapa baik mereka bisa menyelesaikan masalah, sejauh mana kreativitas mereka bisa berguna bagi masyarakat, dan seberapa efektif kinerja mereka dalam mengkomunikasikan pikiran-pikiran mereka kepada orang lain. Ujian pilihan ganda yang terstandarisasi umumnya dirancang untuk target berskala besar sebagaimana ujian tersebut dapat memenuhi tujuan deskriptif statistik dari proses tertentu. Sebagai tambahan, dimensi-dimensi lain dari progresi (peningkatan) atau regresi (penurunan) hanya dapat digambarkan oleh penilaian yang lebih kualitatif dan personal.

Kecenderungan untuk mentransformasi budaya anti-korupsi dengan memulai dari sekolah sudah tepat. Pembentukan kebiasaan seharusnya dimulai sejak dini. Ekspektasi-ekspektasi yang dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya secara fundamental bermanfaat sebagai hasrat politik

yang murni dalam rangka memicu pergerakan nasional melawan korupsi. Gerakan nasional ini akan efektif jika, dan hanya jika, proses belajar mengajar tidak dipusatkan kepada modul-modul yang berstandar nasional tetapi pada peneladanan sosial dari pengembangan karakter.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 46-51)