• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengajaran Bahasa Asing: Antara Sekolah dan Kursus32

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 162-167)

Penguasaan bahasa asing, terutama bahasa asing yang sedang dominan dalam pergaulan internasional, merupakan salah satu akses untuk meraih keberhasilan dalam berbagai bidang. Peta dominasi bahasa asing selalu berubah baik di tingkat dunia maupun di suatu negara seiring dengan perubahan sosial dan politik. Pada abad pertengahan, bahasa Latin memegang peran penting. Ketika abad pertengahan diganti dengan abad Renaissance dan pencerahan, bahasa Perancis menggeser posisi bahasa Latin. Selanjutnya, revolusi industri dan persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Australia yang makin menguat telah mengukuhkan dominasi bahasa Inggris pada abad 20. Apakah dominasi bahasa Inggris akan langgeng di abad 21 ini ataukah akan diganti oleh bahasa lain (Mandarin, misalnya) sangat bergantung pada perkembangan ekonomi, sosial, dan politik selanjutnya. Dalam konteks ini, pengajaran bahasa asing di Indonesia juga mengalami berbagai perubahan. Dalam pengajaran bahasa, biasanya ada empat bidang keterampilan yang dijadikan acuan kurikulum: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Sementara itu, tata bahasa merupakan keterampilan yang diajarkan untuk meningkatkan penguasaan dalam empat bidang tersebut namun ironisnya, penekanan yang berlebihan pada tata bahasa ditengarai justru menghambat keterampilan berkomunikasi. Perbedaan penekanan kurikulum bahasa asing di sekolah dan kursus kemudian menjadi menarik untuk dicermati.

Di Indonesia, sejak kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda makin menurun seiring dengan penerimaan bahasa nasional yang baru. Walaupun bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan lingua franca, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing makin mapan dengan keputusan pemerintah memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang pertama dan dukungan lembaga-lembaga asing seperti the Ford Foundation, RELO (Regional English Language Office) dan the British Council serta kebijakan di sektor pendidikan formal—bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di sekolah.

Kurikulum bahasa asing di sekolah formal

Belajar bahasa Inggris di sekolah dasar dan menengah memenuhi dua tujuan. Pertama, peserta didik perlu mempersiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang menarik. Banyak iklan lowongan mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Walaupun anak sudah belajar bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya kompetensi dalam bahasa ini di kalangan para lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah.

Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan bahasa Inggris, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo, 2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral (1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984) dan kebermaknaan (1994). Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 ketika pengajaran bahasa asing bergeser dari model behaviorisme menuju konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaannya bukan pada struktur bahasa. Mengacu pada paradigma baru ini, Kurikulum 1984 dan 1994 bercita-cita membangun kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara aktif.

Namun ternyata, cita-cita dalam kurikulum 1984 dan 1994 sama sekali tidak terlaksana secara nyata. Buku paket masih berorientasi pada struktur bahasa (Purwo, 1990) dan sebagian besar guru bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Bagaimana kemudian mereka bisa diharapkan untuk mengajak peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Inggris? Jika sehari-hari peserta didik tidak pernah mendengarkan guru bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan benar dan lancar, tidak heran mereka menjadi gagap ketika mendengarkan rekaman berbahasa Inggris dalam UN (apalagi jika diucapkan oleh penutur asli).

Respon lembaga informal

Bahasa Inggris tidak pernah digunakan secara luas sebagai lingua franca oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, terus terjadi

peningkatan kebutuhan dan jumlah pemakai bahasa Inggris—mulai dari tingkat yang paling minim sampai dengan tingkat kemampuan mendekati penutur asli—terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Terinspirasi oleh selebritis idola mereka yang populer lewat stasiun-stasiun televisi kabel dan stasiun lokal yang lebih suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas di luar negeri, para orang muda suka menampilkan diri dalam lingkungan kerja maupun pergaulan sosial dengan berbicara setidaknya penggalan frasa berbahasa asing untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan.

Merespon kekurangan dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah dan kebutuhan di masyarakat, kursus bahasa asing berkembang sangat marak mulai dari kursus yang dikelola oleh perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, CCCL, NEC sampai dengan kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de facto masih berkutat pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan berbahasa, kursus-kursus justru menekankan keterampilan berbicara. Beberapa kursus-kursus tidak segan-segan mempromosikan program “lancar berbicara dalam 3 bulan” untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat keterampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli. Biasanya program oleh penutur asli ditawarkan dengan harga yang lebih mahal dibandingkan yang diajar oleh guru lokal walaupun belum tentu guru penutur asli lebih kompeten. Mentalitas pasca-kolonialisme justru dilakukan juga oleh orang-orang lokal yang lebih menghargai instruktur penutur asli berbahasa Inggris yang tidak berpengalaman—bahkan juga kadang-kadang tidak terdidik di bidangnya—dibandingkan instruktur lokal yang lancar berbahasa Inggris, berpengalaman, dan terdidik di bidangnya.

Ketepatan dan kelancaran

Proses pembelajaran bahasa asing mencakup 2 poin yang semestinya saling menunjang, yakni ketepatan dan kelancaran (accuracy dan fluency). Dalam hal ini, pengajaran di sekolah formal ditengarai terlalu menekankan pada ketepatan. Walaupun label kurikulum bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, secara de facto peserta didik di kelas tetap saja menghafalkan daftar panjang

kata kerja beraturan dan tidak beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Seorang peserta didik sekolah menengah dengan polosnya bertanya pada gurunya, “Kami sudah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun. Kapan kami bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan menggunakannya?” Penekanan yang berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya menghambat kelancaran berkomunikasi tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi belajar.

Sebaliknya, di jalur informal, kelancaran berkomunikasi dijadikan fokus. Secara ekstrem, kursus yang menjanjikan “lancar berbicara dalam 3 bulan” akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur bahasa, pelafalan, dan kosa kata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan bahasa asing. Memang tidak mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar berbahasa asing dalam waktu singkat. Yang harus disadari, jika ketepatan berbahasa ditinggalkan demi kelancaran, dampak yang bisa muncul di kemudian hari adalah gejala fosilisasi atau kelancaran berbahasa dengan kesalahan-kesalahan yang sudah membatu dan sulit diperbaiki.

Mengingat keberagaman populasi peserta didik di Indonesia dan variasi kebutuhan masyarakat, para pendidik dan pembuat kebijakan perlu menelaah ulang tujuan, desain, dan implementasi kurikulum bahasa asing. Secara realistis, tidak semua anak Indonesia mempunyai kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Dalam konteks seperti ini, alokasi pengajaran bahasa Inggris selama 6 tahun x (sedikitnya) 2 jam seminggu bisa jadi

mubadzir. Dan seandainya, bahasa Inggris tetap diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah dengan alasan pemerataan akses, setiap daerah seyogyanya mempunyai kebebasan untuk menentukan tujuan dan desain kurikulum bahasa asing sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat. Di beberapa daerah kemampuan baca lebih dipentingkan. Sementara di daerah lain, (misalnya daerah pemasok tenaga kerja Indonesia ke luar negeri), mungkin peserta didik perlu mengembangkan kompetensi berkomunikasi lisan dalam bahasa asing (bisa Inggris, Arab, atau China) walaupun seyogyanya daerah

ini juga punya strategi jangka panjang dan tidak terus terjebak sebagai pemasok TKI bergaji minimal.

Dalam konteks keberagaman dan variasi kebutuhan ini, sangat sulit bagi sekolah untuk memenuhi kebutuhan setiap peserta didiknya. Keberadaan kursus-kursus bahasa asing akan tetap dibutuhkan di masa mendatang. Bahkan sekolah dan lembaga informal bisa saling mengisi kekosongan masing-masing dalam pengajaran bahasa asing.

Hilangnya Warisan Bahasa di Kalangan

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 162-167)