• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegagalan Kurikulum Bahasa Inggris

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 81-85)

Upaya perbaikan mutu pendidikan yang serius seyogyanya juga melibatkan tindakan evaluasi terhadap keterkaitan antara ujian dan kurikulum. Di berbagai daerah di Indonesia, peserta ujian mengalami kesulitan dalam ujian listening bahasa Inggris. Kesulitan ini bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis (misalnya, tape player yang tidak berfungsi optimal) melainkan juga kurangnya kompetensi peserta didik dalam menyimak dan memahami pembicaraan dalam materi ujian. Fenomena ini menarik untuk dicermati dan dijadikan bahan evaluasi dan refleksi atas desain dan implementasi kurikulum bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya). Kenapa sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam ujian listening? Apakah mereka semua tidak kompeten? Siapa/apa yang salah dalam hal ini? Materi ujiannya atau proses pengajarannya?

Perencanaan kurikulum bukan sekedar menulis dokumen silabus serta RPP dan mengurus tender buku paket. Perencanaan kurikulum menyangkut suatu proses yang cukup kompleks dan perlu dilaksanakan secara komprehensif. Dalam tahap awal, kurikulum dirancang mulai dari perumusan berbagai ide, gagasan, dan pokok pikiran yang dikumpulkan dari pemikiran para pakar, kajian kebutuhan masyarakat dan kajian keilmuan. Bentuk awal ini disebut kurikulum ideal atau cita-cita. Selanjutnya, kurikulum ideal ini diolah, diubah dan direvisi, disusun, dan diajukan sebagai kurikulum standar (baik untuk tingkat nasional maupun daerah) yang didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kurikulum mengalami perubahan lebih lanjut dalam tahapan implementasi di ruang kelas. Apa yang sudah dirumuskan dan dituliskan dalam kurikulum standar belum tentu dilaksanakan oleh guru di kelas karena berbagai alasan mulai dari kurangnya kompetensi guru, perbedaan interpretasi, sampai dengan ketidak-tersediaan sumber daya pembelajaran. Maka dari itu, pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru merupakan bagian krusial dari perencanaan kurikulum. Sebagus apapun suatu kurikulum

ditulis tidak akan terlaksana dengan optimal jika pembinaan guru diabaikan dan sarana/prasarana penunjang tidak memadai.

Selanjutnya, kurikulum yang sudah diajarkan guru kepada peserta didik akan diuji secara periodik. Seyogyanya pula, harus ada keterkaitan antara yang sudah diajarkan dengan yang diujikan. “Ujikan apa yang Anda sudah ajarkan” (test what you teach) adalah pengetahuan dasar yang harus dipahami dan dilakukan oleh setiap guru. Fenomena kecemasan seputar pelaksanaan Ujian Nasional yang muncul dan ditangkap di media setiap tahun justru bertolak belakang dengan pengetahuan dasar itu. Ketika kecemasan makin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, pengajar bimbingan belajar, dan orang tua mencekoki peserta didik dengan soal-soal tes. Mau tidak mau, upaya penjejalan ini akan mengambil waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar mengajar. Sekolah malah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari bimbingan belajar. Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi peserta didik juga ikut terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban peserta didik. Dengan kata lain, praktik yang terjadi justru “ajarkan apa yang akan diujikan” (teach what you test).

Tahap terakhir dalam proses kurikulum mengacu pada seberapa banyak dan efektif peserta didik benar-benar menyerap apa yang sudah dirumuskan, diajarkan, dan diujikan. Refleksi penting bagi para pendidik dan pembuat kebijakan, apakah peserta didik sudah mengalami suatu perubahan dan pertumbuhan selama proses kurikulum ini?

Tinjauan proses desain dan implementasi kurikulum di atas bisa dipakai untuk mencermati kegagapan peserta didik dalam menghadapi ujian listening. Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 ketika temuan-temuan baru dalam proses pembelajaran bahasa kedua/asing menjadi wacana di kalangan peneliti dan pengajar bahasa. Pengajaran bahasa asing bergeser dari model behaviorisme ke konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial

dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaannya bukan pada struktur bahasa. Mengacu pada paradigma baru ini, Kurikulum 1984 dan 1994 kemudian bercita-cita membangun kemampuan peserta didik dengan pendekatan komunikatif.

Pada praktiknya, kenyataan yang terjadi di ruang kelas masih jauh dari apa yang dicita-citakan dalam kurikulum 1984 dan 1994. Buku paket masih berorientasi pada struktur bahasa (Purwo, 1990). Pengajaran di kelas masih sangat berfokus pada hafalan aturan berbahasa tanpa konteks. Selain itu, sebagian besar guru bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Jika gurunya saja belum lancar berbahasa Inggris dengan benar, bagaimana mereka bisa mengajak peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Inggris? Di beberapa daerah yang kekurangan guru, pelajaran bahasa Inggris malah ditangani oleh para guru yang tidak punya latar belakang pendidikan bahasa Inggris. Maka, tidak heran peserta didik menjadi bingung dan gagap ketika mendengarkan rekaman berbahasa Inggris dalam UN (apalagi jika diucapkan oleh penutur asli). Memang ada segelintir peserta didik yang cukup lancar berbahasa Inggris namun kompetensi ini biasanya diperoleh peserta didik bukan melalui jalur sekolah formal melainkan melalui kursus privat.

Mengingat keberagaman populasi peserta didik di seluruh Indonesia dan variasi kebutuhan masyarakat, para pendidik dan pembuat kebijakan perlu menelaah ulang tujuan, desain, dan implementasi kurikulum bahasa Inggris. Secara realistis, tidak semua anak di Indonesia mempunyai kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dalam konteks seperti ini, alokasi pengajaran bahasa Inggris selama 12 tahun x (sedikitnya) 2 jam seminggu merupakan sesuatu yang mubadzir. Dan seandainya, bahasa Inggris tetap diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah menengah dengan alasan pemerataan akses, setiap daerah seyogyanya mempunyai kebebasan untuk menentukan tujuan dan desain kurikulum bahasa Inggris sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat. Di beberapa daerah kemampuan baca dapat lebih dipentingkan. Namun di daerah lain (misalnya daerah pemasok

tenaga kerja Indonesia ke luar negeri), mungkin peserta didik perlu mengembangkan kompetensi berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris walaupun daerah itu seyogyanya juga mempunyai strategi jangka panjang pengembangan manusia dan tidak terjebak sebagai pemasok TKI bergaji minimal.

Sesuai dengan tinjauan proses desain dan implementasi kurikulum, di tahun-tahun mendatang, jangan sampai ada lagi UN berbentuk rekaman kaset untuk pelajaran listening bahasa Inggris yang diberlakukan untuk semua anak di Indonesia. Tindakan ini hanya menjadi lelucon belaka dan menambah kekonyolan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Permasalahan Pendidikan: Catatan untuk

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 81-85)