• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi di Luar Negeri: Strategi Penyesuaian dalam Sistem Budaya dan Belajar yang Baru30

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 153-158)

Ketika peserta didik atau mahasiswa memutuskan untuk melanjutkan sudi di luar negeri, mereka harus siap untuk melakukan proses penyesuaian diri dalam sistem budaya dan belajar yang baru. Proses penyesuaian diri ini meliputi keterkejutan budaya dan keterkejutan belajar. Keterkejutan budaya adalah proses alamiah yang dialami seseorang yang datang dan menetap di suatu tempat dengan norma-norma budaya, kebiasaan, dan sistem nilai yang berbeda. Sedangkan keterkejutan belajar adalah proses penyesuaian dalam mengehadapi lingkungan akademis yang baru. Keterkejutan belajar ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan dalam sikap terhadap pengetahuan dan pendekatan-pendekatan terhadap proses pembelajaran dan ujian yang berbeda di negara tujuan dibandingkan dengan di negara asal.

Keterkejutan budaya

Keterkejutan budaya adalah proses transisi yang biasanya dialami oleh peserta didik atau mahasiswa baru di suatu tempat yang berbeda dengan negara asal. Keterkejutan budaya ini umumnya meliputi beberapa tahap. Pada tahap pertama atau yang biasanya dikenal dengan tahap turistik, pendatang baru merasa sangat gembira dan optimistik. Semuanya di negara yang baru nampak sangat indah. Pendatang baru jadi melihat dan menikmati banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dia dapatkan di negara asalnya. Misalnya, kalau di negara asal, dia diharapkan atau diwajibkan untuk berpakaian sopan dan rapi di sekolah dan merasakan hal ini sebagai pembatasan atas kebebasannya, di negara yang baru dia bisa mengalami euforia dan begitu menikmati kesempatan untuk berbusana (atau tidak berbusana) dengan sebebas-bebasnya. Sebuah contoh lain, mahasiswa dari Indonesia di kawasan Los Angeles yang sebelumnya hanya melihat kawasan Beverly Hills dari media layar kaca menjadi terkagum-kagum dan gandrung sekali karena dapat mengunjungi daerah itu secara riil.

Kemudian akan datang masa kedua yang biasanya ditandai dengan kesepian dan rindu kampung halaman. Seorang mahasiswa yang biasanya tidak menyukai rujak atau bau petis tiba-tiba saja menjadi rela untuk menempuh perjalanan dua-tiga jam untuk berburu petis di toko-toko bahan makanan Asia di kota lain. Tahap ini bisa disusul dengan masa antipati dan kepahitan terhadap berbagai kebiasaan, norma-norma kehidupan, dan nilai-nilai budaya yang ditemui di negara asing. Seperti pada tahap pertama, mahasiswa akan membanding-bandingkan kedua negara. Tapi bedanya, jika pada tahapan pertama, negara baru selalu nampak lebih hebat dan baik, sekarang sikap kritis terhadap negara baru yang lebih diwarnai oleh rasa tidak suka atau kepahitan menjadikan negara asal nampak lebih baik. Perbedaan dalam hubungan kekeluargaan di negara baru (misalnya saja, orang-orang tua yang dititipkan di panti jompo di beberapa negara maju di Barat) dipandang sebagai kekurang-pedulian dan tidak adanya sikap kekeluargaan oleh masyarakat Indonesia. Padahal perbedaan ini terjadi semata-mata karena memang tatanan sosial dan budaya memang berbeda dan tidak berarti anak-anak Indonesia lebih mencintai orang tua mereka dibandingkan anak-anak di negara maju tersebut.

Keberhasilan seseorang dalam mengatasi tahapan yang ketiga tadi akan sangat menentukan apakah proses adaptasinya akan memperkaya pengalaman kehidupannya atau tidak. Pada tahap berikutnya, ada tiga pilihan. Pertama, seseorang bisa menarik dan mengurung diri dari berbagai lingkungan sosial di negara baru tersebut. Pada titik ini, dia merasakan depresi mental yang akan sangat berpengaruh buruk pada studinya. Motivasi belajar jadi menurun dan perasaan gagal akan menghantui. Pilihan yang kedua adalah menerima mentah-mentah berbagai nilai dan norma budaya yang baru. Karena takut dianggap kurang gaul dan jati diri kurang mantap, seseorang bisa mengubah secara drastis gaya hidup dan tata nilainya. Bahkan rekan-rekan bisa kaget dengan perubahan sikap ini, “Wah si X sekarang kok lebih Amerika daripada orang Amerika nya sendiri.” Sikap ini bisa keterusan sampai ketika dia pulang kembali ke tanah air dan menimbulkan berbagai permasalahan dengan keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan kerja di negara

asal. Kemudian, pilihan ketiga; pilihan yang diambil oleh orang-orang yang mempunyai jati diri dan kedewasaan yang mantap. Perbedaan-perbedaan yang nampak di negara baru tidak dianggap sebagai intimidasi atau lebih jelek dibandingkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang diperoleh dari negara asal melainkan sebagai perbedaan yang akan memperkaya pengalaman kehidupan seseorang. Ada beberapa kebiasaan dan nilai yang bisa diambil untuk memperkaya budaya sendiri seperti misalnya kebiasaan tepat waktu dan menunggu giliran. Tapi ada juga kebiasaan yang kurang tepat jika diterapkan di negara asal, misalnya memanggil orang yang lebih tua dengan namanya saja tanpa sebutan kehormatan (Bapak, Ibu, Kakak, dan sebagainya).

Keterkejutan belajar

Pendekatan terhadap proses belajar dan ilmu berbeda dari satu negara ke negara lain. Misalnya, mahasiswa-mahasiswa Australia dan Amerika menekankan debat dan argumen dan mengedepankan individualisme sebagai upaya pencarian originalitas serta etos egaliter dalam hubungan dosen dan mahasiswa bisa sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di Asia. Di Asia, harmoni dalam kelompok dan komunitas, hormat pada orang tua dan penguasa mendapat nilai tinggi dibandingkan dengan pengembangan pribadi dan individual. Jadi, di ruang-ruang kelas di Australia dan Amerika Serikat, mahasiswa-mahasiswa Asia— terutama yang baru datang—sering merasa enggan dan ragu-ragu untuk menyampaikan opini mereka apalagi jika itu bertentangan dengan opini dosen dan mayoritas kelas.

Mahasiswa Asia cenderung mendalami, menghafalkan, dan langsung mengadopsi pandangan orang-orang yang dipandang mempunyai kekuasaan dan reputasi sedangkan mahasiswa Barat diharapkan untuk mengevaluasi terlebih dahulu dalam relasinya dengan permasalahan mereka sendiri. Di Barat, mengulang dan menulis kembali kata-kata para pakar dianggap sebagai plagiarisme jika sumbernya tidak dikutip. Tindakan ini adalah pelanggaran akademis yang sangat serius dan disamakan dengan menyontek. Di beberapa sekolah, jika terbukti, sanksi akademis bisa berupa dikeluarkannya mahasiswa tersebut dari sekolah.

Pendidikan Asia yang kontemporer memang sudah banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Barat tapi nuansa dari tradisi terdahulu masih melekat dan mempengaruhi sikap dosen dan mahasiswa. Di China dan beberapa negara Asia lain, peserta didik memang disuruh untuk menyalin dan menghafal dengan tepat kata-kata mutiara dan peribahasa dari orang-orang terkenal. Ketepatan (akurasi) dalam pengulangan ini mendapat nilai lebih tinggi daripada originalitas dalam menciptakan kata-kata mutiaranya sendiri.

Dalam pengungkapan gagasanpun, ada perbedaan antara budaya Eropa dan Asia. Dalam budaya Eropa, suatu gagasan diungkapkan secara linear yang dimulai dari ide pokok, diperkuat dengan penjelasan atau contoh-contoh, evaluasi bukti-bukti dan diakhiri dengan kesimpulan. Dalam budaya Asia, pola sirkuler digunakan dalam suatu kalimat yang meliputi suatu gagasan yang disusun sedemikian sehingga posisi diupayakan untuk menghindari penilaian atau kesimpulan yang terlalu jelas.

Motivasi belajar juga berbeda antara mahasiswa Indonesia dan Barat. Mahasiswa Indonesia belajar giat demi menyenangkan orang tua dan memenuhi harapan keluarga Dalam konteks mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri, kewajiban untuk memenuhi harapan keluarga dan mengembalikan “utang” kepada keluarga ini menjadi lebih besar karena biaya studi di luar negeri yang relatif lebih tinggi daripada studi di dalam negeri. Studi di luar negeri dianggap sebagai bagian dari investasi keluarga dan anak diharapkan untuk mengembalikannya berupa keberhasilan studi dan membantu ekonomi atau bisnis keluarga di kemudian hari. Sebaliknya, mahasiswa Barat lebih didorong oleh minat dan pengembangan pribadi mereka sendiri.

Tentunya tidak semua negara Barat bisa disamakan. Menurut Dr. Bryan Burke dari UNSW, ada perbedaan antara mahasiswa Australia dan Amerika. Mahasiswa Amerika cenderung lebih bebas berbicara mengenai betapa kerasnya mereka sudah bekerja dan berupaya serta hasil yang mereka capai sedangkan mahasiswa Australia jarang berbicara mengenai kerja keras mereka dan kadang-kadang juga meremehkan nilai baik dalam pelajaran. Mahasiswa Australia mungkin memilki motivasi yang sama tinggi

dalam belajar dan pencapaian tapi mereka lebih cenderung untuk tidak membicarakannya.

Keberhasilan dalam menjalani proses transisi di sistem budaya dan belajar yang baru akan sangat menentukan keberhasilan studi peserta didik/mahasiswa di luar negeri. Maka dari itu, masa persiapan untuk studi ke luar negeri hendaknya tidak hanya digunakan untuk persiapan administratif seperti pendaftaran dan pengurusan visa melainkan juga untuk persiapan mental, psikologis, pedagogis, dan kultural.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 153-158)