• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru sebagai Pekerja Budaya dalam Undang Undang Guru dan Dosen21

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 108-112)

Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia seperti ditunjukkan dalam berbagai data survei tingkat internasional seperti TIMSS dan Indeks Pembangunan Manusia tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru karena guru mempunyai peran sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan. Sudah cukup banyak artikel ditulis mengenai rendahnya mutu guru. Ditengarai kekurangan minat di antara orang muda berkualitas untuk menjadi guru disebabkan salah satuanya oleh minimnya jaminan kesejahteraan guru seiring dengan revolusi material dalam era globalisasi (Priyono, 2004).

Di tengah-tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diluncurkan sebagai suatu itikad baik untuk mengatur dan memberikan jaminan terhadap perlindungan, kesejahteraan, dan profesionalisme guru. Berbagai dialog publik memang perlu diselenggarakan dan dilanjutkan agar pemaknaan terhadap Undang-Undang Guru dan Dosen bisa terus berkembang dan memungkinkan para guru untuk meningkatkan profesionalisme dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Berbagai tanggapan atas UU Guru dan Dosen serta Kode Etik Guru sudah muncul. Hal ini merupakan indikasi positif mengenai kepedulian masyarakat atas berbagai persoalan yang terkait dengan profesi guru dan pendidikan.

Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional adalah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya, pendidikan menghormati dan menghargai martabat manusia beserta dengan segala hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subjek melalui proses pendidikan tapi yang sedang terjadi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak contoh dalam praktik-praktik di sekolah yang menunjukkan betapa peserta didik sudah diperlakukan sebagai objek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis. Guru

sebagai pendidik tidak mampu mengembangkan kesadaran untuk menghentikan gejala dehumanisasi ini karena para guru sendiri merasa terjebak sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan di bawah ini hanya sebagian kecil dari realita dehumanisasi yang dihadapi guru dan sudah sangat lama disorot masyarakat:

1. Dengan gaji dan tunjangan yang sangat tidak memadai, guru menjadi terlalu sibuk dengan upaya mencari penghasilan tambahan sehingga tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik diabaikan atau tidak dilakukan dengan sepenuh hati.

2. Terseret dalam upaya mencari penghasilan tambahan ini, sebagian guru malah melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi peserta didik dan bahkan membocorkan soal-soal ulangannya sendiri, ikut menjualkan buku-buku ajar dari penerbit yang memberikan komisi paling memuaskan, atau ikut terlibat sebagai saksi yang menutup mulut atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.

3. Dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang membebani, guru sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan diri. Pengetahuan, wawasan dan kreativitas guru sulit berkembang. Akibatnya, peserta didik mau bertahan duduk di hadapan guru di dalam kelas hanya karena mereka harus bertahan sebelum bel berbunyi dan menyelesaikan satu jenjang untuk mendapatkan ijazah. 4. Dengan berbagai kepahitan dan kegetiran hidup sebagai

objek dalam sistem pendidikan nasional, sebagian guru belum mampu mengembangkan mekanisme untuk mengelola emosi negatif mereka sehingga harus mengumpat di kelas, mengasihani diri sendiri atau memperlakukan peserta didik dengan kasar.

Tentu saja di berbagai tempat masih ada banyak guru yang cerdas, cemerlang dan berhati nurani. Guru-guru ini senantiasa bersinar di tengah-tengah gambaran suram para guru seperti di atas.

Dikotomi pekerjaan dan panggilan

UU Guru dan Dosen yang lalu mungkin disusun dengan suatu itikad baik untuk memberikan perlindungan hukum bagi guru dan

profesi keguruan. Ada yang memposisikan guru sebagai pekerja budaya (cultural worker) yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak personal dan profesionalnya. Memang selama ini, guru seringkali diperlakukan secara semena-mena oleh pemerintah maupun sebagian pengelola sekolah swasta. Sebagai pekerja, guru berhak mendapatkan kebebasan akademis dan berserikat, rasa aman dan jaminan keselamatan, cuti (Pasal 40), tunjangan kesehatan (Pasal 39), dan gaji (Pasal 52) yang layak dan berhak mendapatkan prosedur pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian yang layak (Pasal 63 dan 67).

Karena Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dianggap tidak memuat ketentuan yang mengatur guru, UU Guru dan Dosen diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum agar guru tidak lagi di PHK secara sepihak, dieksploitasi waktu dan tenaganya dengan upah yang sangat tidak memadai serta tidak diberikan kesempatan untuk berkembang sebagai seorang profesional.

Guru bukanlah buruh. Menjadi guru (sejati) merupakan panggilan hati. Bagi seorang guru sejati, tugas utamanya adalah membantu peserta didik berkembang menjadi manusia yang lebih utuh (Driyarkara, 1980). Apapun situasinya, guru pertama-tama tidak berpikir untuk dirinya sendiri melainkan untuk peserta didiknya. Bagi seorang guru yang digerakkan oleh panggilan hati, layanan konseling bagi anak didik yang sedang depresi dan mau bunuh diri di hari libur resmi pemerintah akan tetap dilakukan walaupun dia tahu sekolah tidak membayarnya uang lembur seperti ditetapkan dalam Pasal 15 dan 16. Betapapun pergumulan untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi guru sebagai pekerja, yang membedakan guru yang sejati dengan yang tidak adalah bagaimana mereka masing-masing memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalaninya sebagai suatu panggilan hidup sedangkan yang lainnya melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah. Di antara kedua model ini tentunya ada gradasi dan dinamika pertumbuhan atau kemerosotan.

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menafikan hak atas kesejahteraan bagi para guru atas nama panggilan hati (agar pemerintah dan sebagian pengelola sekolah bisa terus bertindak

semena-mena terhadap guru). Pada ujung yang lain dari itikad baik para penyusun UU Guru dan Dosen untuk memberikan perlindungan hokum bagi guru adalah kemungkinan penyalahgunaan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut oleh sebagian guru untuk menutupi kekurangan kompetensi dan dedikasi. Berbagai kebebasan dalam hak professional guru seperti yang diatur dalam Pasal 8, misalnya, akan sangat mudah dimanfaatkan oleh guru yang tidak bertanggung jawab jika pelaksanaan undang-undang ini di tingkat sekolah tidak disertai dengan mekanisme yang jelas. Intinya, jangan sampai undang-undang guru ini bukannya melindungi guru-guru yang layak mendapatkan penghargaan malah menjadi alat bagi beberapa guru yang pandai memanfaatkan suatu produk hukum untuk kepentingan pribadinya. Jika hal ini terjadi, suatu itikad baik malah akan menodai dunia pendidikan dan membawa dampak serius bagi proses pendidikan anak karena bagaimanapun guru seharusnya masih menjadi figur yang digugu lan ditiru.

Bahwa guru punya peran sangat penting dan harus dihargai tidak saya gugat. Agar pendidikan bisa memanusiakan manusia dan memperlakukan peserta didik sebagai subjek, guru sebagai pendidik terlebih dahulu harus diperlakukan sebagai subjek. UU Guru dan Dosen sudah berusaha memberikan perlindungan dan penghargaan yang lebih pantas kepada guru sebagai pekerja. Akan tetapi, segala upaya untuk menempatkan guru sebagai subjek sebaiknya tidak dilepaskan dari tujuan akhir untuk kepentingan peserta didik. Jangan sampai pelaksanaan Undang-Undang guru—dengan segala itikad baiknya—menempatkan guru yang berhadapan dengan pemerintah atau pengelola sekolah dalam relasi buruh-majikan tanpa ada perhatian memadai terhadap tujuan akhir, yakni memanusiakan peserta didik.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 108-112)