• Tidak ada hasil yang ditemukan

Independensi Sertifikasi Guru 22

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 112-116)

Peningkatan profesionalisme guru yang coba diatur dalam Undang Undang No. 14 Tahun 2005 (terutama Pasal 15 dan 52) tentang Guru dan Dosen menjadi topik hangat di berbagai media massa dan forum diskusi. Pemberdayaan profesi guru melalui

kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik

diyakini menjadi langkah strategis untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UU Guru dan Dosen, Pasal 8). Irsyad Ridho (Kompas 20 Februari 2006) mengkhawatirkan orientasi komodifikasi UU Guru dan Dosen berupa uji kompetensi guru dan sertifikasi guru dan dosen.

Harapan besar disandarkan pada LPTK (lembaga pendidikan guru) untuk ikut menentukan arah kebijakan pendidikan. Namun disinyalir banyak LPTK justru sedang sibuk bersaing dan berusaha merebut bagian kue anggaran dari program pendidikan profesi/kompetensi dan sertifikasi. Senyampang Peraturan Pemerintahnya sedang disusun, perlu ada sistem monitoring dan evaluasi desain dan pelaksanaan program sertifikasi dan uji kompetensi guru.

Kualifikasi akademik

Pasal 9 menyatakan ”kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D4).” Pasal ini bisa ditafsirkan bahwa guru boleh menempuh program studi non-kependidikan asalkan sudah mencapai S1 atau D4. Memang kenyataannya di lapangan, banyak guru tidak menempuh studi di LPTK. Pemberlakuan pasal ini bisa ditujukan kepada para guru lulusan non-kependidikan yang sudah mengabdi sebelum disahkannya UU Guru dan Dosen. Namun untuk masa yang akan datang, seharusnya para lulusan SMA atau SMK yang ingin menjadi guru menyiapkan diri sejak awal dengan memulai studi di LPTK.

Pembatasan ini bukan hanya untuk menghindari persaingan antara lulusan LPTK dengan lulusan program studi non LPTK plus sertifikat pendidik tapi juga untuk menyiapkan para calon pendidik secara lebih matang dan profesional. Jika penguasaan materi di

LPTK masih diragukan, seharusnya LPTK didorong untuk membenahi diri dan meningkatkan penguasaan bidang studi untuk para calon guru bidang studi.

Kompetensi

Pasal 10 berbunyi ”kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.” Pendidikan profesi ini seyogyanya tidak dibatasi pada masa pendidikan formal selama di LPTK. “Untuk menjadi guru yang bermutu, berkualitas dalam banyak hal, perlu jam terbang dan pengalaman di lapangan” (Paul Suparno). Jadi pendidikan profesi ini mestinya meliputi pre-service training untuk para calon guru di LPTK dan in-service training untuk semua guru secara berkesinambungan. Uji kompetensi memang bukan barang sekali jadi. Pada masa pre-service training, LPTK bisa memberikan dan sekaligus menguji kompetensi para calon guru. Tentunya kurikulum LPTK perlu dibenahi agar lebih relevan dengan kebutuhan nyata di sekolah-sekolah. Selain itu, uji kompetensi yang dilakukan di LPTK ini hanya awal dari suatu perjalanan panjang dalam profesi guru.

Selanjutnya pada masa in-service training, pimpinan sekolah dan guru pamong bisa berperan membina dan menilai guru. Secara struktural, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai pengawas yang salah satu tugasnya membina dan menilai sekolah. Namun pada saat ini, ada banyak keraguan terhadap kompetensi, integritas, dan dedikasi para pengawas. Perlu ada koordinasi antara LPTK, sekolah, Dinas Pendidikan, LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan), dan lembaga independen untuk uji kompetensi terhadap guru pada masa in-service.

Sertifikasi

Pasal 11 mengatur “sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi.” Pasal ini memuat ketidak-jelasan yang sangat tinggi dan memang masih akan diatur dengan PP. Berbagai pertanyaan muncul. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi? Apakah itu program persiapan sebelum menempuh ujian sertifikasi? Ataukah ujian sertifikasinya itu sendiri? Apakah setiap

LPTK yang terakreditasi bisa memberikan program sertifikasi? Jika hanya beberapa LPTK yang bisa memberikan sertifikasi, apa alasan penunjukan oleh pemerintah? Bagaimana pemerintah bisa memastikan tidak ada potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penunjukan ini?

Secara desain, dua prinsip harus dijalankan agar program sertifikasi ini benar-benar akan bisa menghasilkan guru berkualitas. Kedua prinsip ini mensyaratkan adanya pembatasan antara ujian sertifikasi itu sendiri dengan program persiapannya. Pertama, ujian sertifikasi harus dilaksanakan oleh lembaga independen yang tidak terikat dengan LPTK atau institusi pendidikan manapun. Jika ada pakar dari LPTK yang dilibatkan dalam lembaga independen ini, seharusnya pakar tersebut menghentikan keterikatannya dengan LPTK dan sekolah paling tidak selama masa jabatan dalam lembaga independen yang menguji sertifikasi para guru. Prinsip ini penting untuk menjaga integritas dan kredibilitas ujian sertifikasi guru. Jalan pintas untuk memperdagangkan tunjangan profesi harus ditutup rapat. Kedua, dengan asumsi kerja Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi bisa dihargai, pemerintah dapat memberikan kebebasan kepada setiap LPTK yang sudah terakreditasi untuk menawarkan program persiapan sertifikasi secara transparan. Biarkan masyarakat guru menggunakan kebebasan untuk memilih program profesi guru dan LPTK yang mereka anggap bermutu dan bisa membantu mereka lulus dalam ujian sertifikasi.

Persaingan secara transparan, objektif, dan akuntabel akan mendorong LPTK untuk berlomba-lomba membenahi diri dan meningkatkan mutu dalam proses yang adil, sehat, dan jujur. Kebebasan ini juga perlu diberikan jika nantinya pemerintah akan memberikan tunjangan program sertifikasi kepada para guru. Besaran tunjangan ini bisa saja diseragamkan tapi biarlah LPTK menentukan harga mereka sendiri dan guru menggunakan kebebasan untuk menentukan di LPTK mana dia akan menggunakan subsidi dana program sertifikasi itu. Toh, pilihan guru akan membawa implikasi bagi dirinya sendiri dan penentuan program serta harga oleh LPTK juga demikian karena yang melakukan ujian sertifikasi adalah lembaga independen yang integritas serta kredibilitasnya tidak bisa ditembus baik oleh guru

yang mengejar tunjangan profesi maupun oleh LPTK yang mengejar subsidi dana program sertifikasi. Pada akhirnya, jika kedua prinsip ini tidak bisa dihormati dan birokrat pendidikan tergoda untuk memproyekkan program sertifikasi dengan menunjuk rekanan tertentu, tujuan pendidikan nasional menjadi taruhannya.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 112-116)