• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ristek, Universitas, dan Industri

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 141-145)

Polemik keberadaan pendidikan tinggi di dalam Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak terlepas dari pemahaman terhadap alasan keberadaan serta tujuan universitas dan realita peran dan kontribusi pendidikan tinggi kepada pembangunan manusia dan bangsa. Struktur baru ini merupakan respon terhadap usulan Forum Rektor Indonesia yang, seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra, merasa terusik dan terbelenggu oleh intervensi aparatus Kemdikbud dalam pengelolaan perguruan tinggi dalam berbagai bentuknya sehingga menjadikan perguruan tinggi hanya sebagai unit pelaksana teknis (UPT).

Daoed Joesoef dalam tulisannya "Tujuan Universitas" (Kompas, 30 September 2014) mengingatkan bahwa tuntutan menghasilkan riset pada perguruan tinggi adalah salah alamat. Kontribusi perguruan tinggi adalah menghasilkan periset yang akan berkarya bagi industri dan masyarakat luas. Blogger Gurukecil menyayangkan para rektor yang sudah lupa bagaimana rasanya menjadi dosen biasa dan mengelola perguruan tinggi secara keliru sebagai birokrat.

Sementara struktur keberadaan pendidikan tinggi yang dipindahkan dari Kemdikbud ke Kemristek sudah menimbulkan perbincangan, secara "diam-diam" ada fenomena menarik yang mestinya juga menjadi materi perbincangan dan refleksi untuk menentukan dan meneguhkan arah dan tujuan universitas serta keterkaitan universitas dengan masyarakat termasuk bisnis dan industri. Dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan universitas yang didirikan oleh para pelaku bisnis dan industri termasuk konglomerasi dan BUMN.

Kemunculan Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Ciputra, Universitas Podomoro, Sampoerna School of Education, Sekolah Tinggi Semen Indonesia dan STT Telkom hanya merupakan pucuk gunung es. Banyak korporasi sudah menyerah pada situasi ketidak-siapan kerja para lulusan perguruan tinggi dan membentuk lembaga pelatihan secara khusus. Apakah fenomena ini menunjukkan merosotnya kepercayaan pihak bisnis dan industri terhadap proses dan hasil universitas, khususnya terhadap mutu dan kesiapan kerja lulusan perguruan tinggi?

Perbedaan prinsip dan praksis

Ketidak-sabaran dunia bisnis dan industri terhadap kelambanan dunia akademis dalam merespon perubahan telah berakibat pada fenomena ketidak- percayaan terhadap hasil dan proses di dunia akademis. Keterpisahan pendidikan tinggi dengan dunia bisnis dan industri ini bisa terjadi karena memang prinsip yang dianut kedua institusi dalam praksis masing masing memang berbeda. Yang dianggap penting dalam dunia bisnis dan industri adalah ketepatan dan kecepatan. Dalam kompetisi global,

ketepatan dan kecepatan dalam melakukan terobosan merupakan prasyarat bagi keberlangsungan dan pertumbuhan bisnis dan industri. Sementara itu, perguruan tinggi terikat dalam prinsip utuh, patut,

dan patuh.

Prinsip kedua dunia ini justru bisa bertentangan. Ketepatan dan kecepatan yang dibutuhkan oleh dunia bisnis dan industri berkaitan dengan tuntutan efisiensi dan laju sementara pendidikan tinggi diwajibkan oleh sistem untuk melaksanakan proses pendidikan yang utuh. Ketika korporasi menilai bahwa lulusan perguruan tinggi masih belum siap bekerja dan masih harus mengembangkan kapasitas sumber daya manusianya, mereka bisa saja membuat lembaga pendidikan dan pelatihan yang mengajarkan kompetensi tertentu yang secara spesifik dibutuhkan oleh perusahaan. Industri radio dan televisi, misalnya, bisa menilai lulusan program studi ilmu komunikasi ternyata masih belum siap bekerja sehingga perusahaan masih harus memberikan pelatihan dan pendidikan. Sementara itu, perguruan tinggi masih belum menunjukkan keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu kepatutan dan kepatuhan dengan mengubah kurikulumnya menjadi lebih spesifik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Di kalangan perguruan tinggi, tuntutan kepatutan dan kepatuhan sudah menjadi sangat normatif dan, dalam banyak kasus, membelenggu. Selain pelaksanaan tanggung jawab Tri Dharma (mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat), seorang dosen masih disibukkan dengan kelengkapan berkas-berkas pembuktian. Pada tingkat individu dosen, berkas-berkas pembuktian ini berkaitan langsung dengan imbalan finansial yang

disebut tunjangan profesi dan kenaikan jabatan akademik. Pada tingkat lembaga, dosen yang bertugas sebagai pejabat struktural terbenam dalam berkas-berkas pembuktian berupa borang-borang akreditasi. Tujuannya mungkin baik, yakni membiasakan perguruan tinggi dalam tertib administratif. Sayangnya, dalam praktiknya, kepatutan dan kepatuhan dalam sistem hanya sebatas pada pembuktian berkas. Notulen rapat, berita acara, presensi, surat tugas, laporan, MOU, sertifikat, artikel jurnal dan masih banyak lagi jenis berkas lainnya sudah membelenggu sebagian besar kaum intelektual pada plafon "Saya sudah melakukannya dengan nilai sekian sks dan ini bukti tertulisnya" dan tidak mendorong para intelektual untuk merefleksikan "Dampak apa yang sudah saya hasilkan dari kegiatan saya? Perubahan apa dalam diri anak didik saya, institusi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan masyarakat yang sudah saya hasilkan?"

Dunia akademis telah banyak dikritik sebagai pengukuh kemandegan dan gagal melakukan transformasi diri maupun transformasi lingkungan di sekitarnya. Para akademisi seringkali terjebak dalam kesombongan intelektual dan kesibukan dengan diri mereka sendiri. Sebelum dunia bisnis dan industri meninggalkan dunia akademis lebih jauh lagi, perguruan tinggi perlu membuka diri terhadap dunia luar bukan saja dalam wacana melainkan juga dalam interaksi langsung agar bisa melakukan transformasi diri dan lingkungannya. Kebutuhan dunia akademis untuk membuka diri tidak berarti perguruan tinggi menghambakan dirinya untuk menunjang keberlangsungan dunia bisnis dan industri. Perguruan tinggi dan dunia bisnis-industri mempunyai alasan keberadaan yang sama, yakni melayani kemanusiaan dan melangsungkan peradaban namun melalui peran dan kapasitas yang berbeda.

Perguruan tinggi masih menyimpan kekayaan yang bisa bermanfaat bagi dunia bisnis dan industri. Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi mempunyai rekaman collective memory, tradisi keilmuan, dan nilai-nilai keutamaan yang menjadi bagian dari materi pembelajaran. Presiden Soekarno pernah mengatakan JASMERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) jika tidak mau kehilangan arah. Perguruan tinggi juga masih

menjadi tempat formasi orang-orang muda dalam skala besar yang dibutuhkan oleh dunia bisnis dan industri.

Pertemuan para akademisi dan pelaku bisnis-industri perlu diselenggarakan secara berkala untuk saling memperkuat dan menguntungkan satu sama lain. Riset bisa menjadi jembatan antara perguruan tinggi dan dunia bisnis-industri. Namun, penempatan pendidikan tinggi bersama dengan Ristek dalam satu Kementerian semoga tidak menjadikan universitas sebagai Unit Pelaksana Teknis bagi birokrasi yang lain maupun Unit Pendukung Industri. Masyarakat akademis dan masyarakat bisnis perlu beriringan dalam perjalanan transformasi untuk membangun manusia dan bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan. Seperti kata pepatah Afrika, “jika Anda ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Jika Anda ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama teman.”

Bab 5

Pendidikan dan

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 141-145)