• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi dan Keterjangkauan Pendidikan Tinggi 27

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 133-137)

Pada tingkat makro, pendidikan tinggi mempunyai peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia. Secara pragmatis-ekonomis, pendidikan tinggi akan mengembangkan komunitas warga terdidik, terampil, berbudaya dan berakhlak mulia untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang semakin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia. Pada tingkat individual, pendidikan tinggi merupakan salah satu rute yang bisa diambil warga masyarakat untuk mempertahankan atau meningkatkan status dan kelas sosio-ekonomi.

Penempatan permasalahan dalam perspektif berbagai kepentingan dapat membantu memberikan alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi.

Pusaran kepentingan

Komplikasi dalam pembuatan dan implementasi kebijakan pendidikan tinggi—tampak dalam dinamika pro-kontra yang berakhir pada pembatalan UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). DPR dan Pemerintah (Kemendikbud) sebagai pemegang kewenangan berupaya melegalisasi kewenangan pengaturan tata kelola pendidikan tinggi dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. . Rully Chairul Azwar, anggota Komisi X DPR RI menyebutkan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) sebagai alasan pengesahan UU Pendidikan Tinggi ini. Kalangan akademisi mencemaskan UU Pendidikan Tinggi yang baru akan berakhir pada pengebirian otonomi dalam pengelolaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Potensi intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi

dikhawatirkan seperti soal kurikulum, pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat akan menghambat inovasi, kreativitas, dan keunggulan akademik. Bahkan sebagian dari kalangan akademisi ini “merindukan” kembali UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP yang dianggap lebih membawa semangat otonomi. Kalangan akademisi ini juga berupaya menepis kekhawatiran masyarakat bahwa otonomi universitas akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu (Sulistyowati Irianto, 2012). Meskipun terdapat upaya pembatalan UU Pendidikan Tinggi oleh beerbagai kalangan, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak pembatalan UU Pendidikan Tinggi pada tanggal 30 April 2014 di hadapan para penggugat yang merupakan kumpulan dari berbagai kalangan akademisi.

Sementara itu, kalangan warga masyarakat (mahasiswa dan sebagian akademisi yang lain) mencemaskan implementasi otonomi sebagai pengurangan akses bagi masyarakat miskin. Wacana “kastanisasi” oleh Darmaningtyas, dkk. dan penolakan terhadap penyeragaman oleh kalangan perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi motor dalam proses pembatalan Undang Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau BHP. Komisi X DPR memberi tagline yang terdengar populis yakni MPR (Melindungi

Stakeholders, Pro Rakyat, dan Relevan) untuk UU Pendidikan Tinggi yang baru. Untungnya, MK menyatakan bahwa UU BHP tidak selaras dengan UUD 1945 dan UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dengan demikian membatalkan UU BHP pada tanggal 31 Maret 2010. Dengan demikian, masih ada harapan bagi para siswa di seluruh Indonesia untuk mendapatkan fasilitas pendidikan tinggi yang layak tanpa harus terbebani biaya sekolah yang dirasa cukup memberatkan.

Pendanaan dalam kepentingan keterjangkauan dan mutu

Pada dasarnya pengelolaan perguruan tinggi harus berdasarkan prinsip nirlaba, akuntabilitas, dan transparansi. Negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, kehidupan seluruh bangsa Indonesia, bukan segolongan tertentu. Karena itu, banyak pihak yang beranggapan, sudah selayaknya pemerintah bertanggung jawab atas pembiayaan PTN, setidaknya mencegah terjadinya privatisasi dan/atau

komersialisasi pendidikan tinggi, sehingga calon dari keluarga miskin tidak terpinggirkan. Namun realita keterbatasan anggaran pemerintah serta komitmen pendidikan dasar untuk semua dan pengalokasian yang lebih besar untuk pendidikan dasar dan menengah menyebabkan pilihan-pilihan yang sulit bagi perguruan tinggi. Dalam era keterbatasan ini, kompetisi untuk merebut sumber-sumber dana dari masyarakat menjadi makin marak. Pada masa pra-BHMN (Badan Hukum Milik Negara), kompetisi hanya terjadi secara kasat mata di kalangan PTS. Namun kini, PTN pun terseret dalam kompetisi ini. Bahkan beberapa PTN tidak segan-segan membuka cabang di kota lain dengan mengirim dosen terbang. Ketika pendidikan tinggi sudah menjadi komoditas, diskriminasi terhadap kalangan miskin akan terjadi secara sistematis dan legal. Pendidikan tinggi yang pro-rakyat menjadi sebuah keharusan mengingat salah satu strategi pembangunan nasional yang didengung-dengungkan adalah pro-rakyat.

Otonomi perguruan tinggi memang menjadi hakikat yang tidak bisa diganggu gugat demi penjaminan mutu dan pencapaian keunggulan. Ini membutuhkan biaya besar. DPR dan Pemerintah sudah menunjukkan niat mulia untuk mengatur dan memastikan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) bisa diatasi. Namun pasal-pasal dalam UU Pendidikan Tinggi justru berlebihan dalam pengaturan sehingga memang layak untuk dibatalkan. Kebebasan dalam pengelolaan akademik maupun non akademik dalam perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus dijamin dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kekhawatiran terhadap PTS “kelas Ruko” yang dilontarkan oleh kalangan PTN terlalu berlebihan karena seiring dengan berjalannya waktu dan pendewasaan masyarakat, PTS semacam ini pada akhirnya harus mengambil pilihan membenahi dan meningkatkan diri atau tumbang dalam persaingan dengan PTS lain dan PTN. Alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi adalah alokasi dana beasiswa oleh suatu badan yang terpisah dari PTN. Bisa saja para Rektor PT terpilih (negeri maupun swasta) menjadi bagian dari badan ini namun penyaluran dana tidak seperti block grant yang diberikan langsung kepada PTN.

Mahasiswa dari PTN maupun PTS terpilih bisa mengajukan dan mendapat beasiswa atau pinjaman berdasarkan prestasi dan/atau kebutuhan. Dana disalurkan ke akun mahasiswa di PT dan hanya bisa digunakan untuk biaya pendidikan. Praktik ini dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Singapura. Bahkan beberapa korporasi di Indonesia juga sudah menjalankan program beasiswa ini sebagai bagian CSR (Corporate Social Responsibility). Pada akhirnya solusi ini akan membantu sebagian permasalahan keterjangkauan tanpa intervensi terhadap otonomi perguruan tinggi dalam pencapaian keunggulan akademik. Selain itu, solusi ini juga akan menerobos dikotomi PTN-PTS dan menempatkan tanggung jawab pendidikan tinggi secara bersama-sama oleh negeri dan swasta secara adil dan kompetitif.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 133-137)