• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan Harian PENERANGAN di Padang

D

alam tahun 1956 diterima berita bahwa di Padang ada satu suratkabar yang memerlukan penggantian pimpinan redaksi. Suratkabar itu namanya Harian

Penerangan, milik seorang keturunan Tionghoa, Lie Oen Sam, yang

menjadi pengurus Baperki (organisasi yang mayoritasnya adalah orang-orang keturunan Tionghoa). Ketika saya dijajagi apakah saya mau menanganinya, maka saya terima juga, walaupun dengan agak ragu-ragu. Sebab, waktu itu, di daerah-daerah sudah mulai terdengar suara-suara yang anti-Pusat atau anti-Soekarno. Di samping itu, sering terdengar juga, bahwa hidup di daerah Minangkabau tidaklah mudah bagi seorang pendatang, kalau tidak pandai-pandai membawakan diri. Mengingat itu, jauh sebelum berangkat, saya minta nasehat-nasehat kepada seorang yang berasal dari Minangkabau, yaitu bekas Komisaris Besar Polisi dalam masa-masa revolusi di Sumatera Barat, Bachtaruddin. Banyak nasehat-nasehatnya yang kemudian sangat membantu pekerjaan saya di Padang.

Maka berangkatlah saya pada suatu hari dalam tahun 1956 dengan pesawat terbang ke Padang, suatu daerah yang belum pernah saya kenal sama sekali waktu itu. Jelaslah waktu itu bahwa pekerjaan sebagai pimpinan redaksi suatu suratkabar harian merupakan tantangan baru.

Saya memulai pekerjaan sebagai wartawan dalam tahun 1950, dan enam tahun kemudian sudah memimpin suratkabar.

Kehidupan sebagai wartawan di Padang tidaklah mudah, dan ternyata kemudian juga mengandung berbagai risiko, ketika meletus Dewan Banteng dan pemberontakan besar-besaran dengan diproklamasikannya PRRI. Pemberontakan PRRI terhadap pemerintah pusat ( Jakarta) dengan mendirikan pemerintah tandingan merupakan kontra-revolusi yang mendapat bantuan dari kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat, waktu itu.

Saya berumur dua puluh tujuh tahun (menginjak dua puluh delapan tahun) ketika memikul tanggung jawab sebagai pimpinan redaksi suratkabar daerah. Penerbitan ini oplahnya kecil sekali waktu itu, sekitar 1500 sampai 2000 eksemplar. Mesin cetaknya (mesin Babcock, namanya) sudah kuno, dan memasukkan kertas ke mesin haruslah satu per satu. Saya masih ingat nama tukang cetaknya, yaitu pak Pado, orang Minang yang sudah agak tua, dan baik hati. Percetakannya hanya punya satu mesin intertype, yang sudah amat tua juga, sehingga sebagian huruf-huruf (dari timah) yang dipakai untuk mencetak suratkabar itu haruslah disusun dengan tangan.

Wakil Pimpinan Redaksi suratkabar ini adalah seorang anggota partai PSI, demikian juga korektornya. Bagian administrasinya dirangkap oleh bagian percetakan. Koran ini sudah terbit sejak Padang masih diduduki oleh Belanda. Pemiliknya, Lie Oen Sam, adalah orang Katolik yang baik, yang menjadi pengurus Baperki Sumatra Barat. Orang tuanya tadinya memiliki tanah dan rumah yang cukup banyak di kota Padang ini. Hubungan saya dengan dia baik sekali. Sampai sekarang pun saya masih ingat akan kebaikan hati dia, ketika bersama-sama menghadapi berbagai situasi sulit selama masa-masa Dewan Banteng dan PRRI. (Kemudian, ketika sudah ada di Paris, saya

mendengar bahwa ia meninggal di Belanda karena sakit). Dalam situasi yang sulit dewasa itu, saya bekerja keras untuk memajukan suratkabar ini, dengan bekerja dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam (deadline dan koreksi terakhir jam 6-7 sore, dan dicetak malam hari sampai pagi). Sentimen daerah yang dikobarkan waktu itu, agitasi anti-Pusat yang makin lama makin santer, dan suara-suara anti-PKI yang makin tajam, amatlah menyulitkan saya. Waktu itu, suratkabar lainnya di Padang, yang bernama Haluan, telah mensinyalir opini umum tentang kedatangan saya di Padang dengan memuat berita bahwa Harian

Penerangan diganti pimpinannya oleh Umar Said yang pernah

bekerja di Harian Rakjat.

Untuk berusaha memajukan suratkabar, Harian Penerangan membentuk perkumpulan sastra dan seni “Arena Muda” (yang diasuh oleh anak-anak IPPI, antara lain Mawie Ananta Djoni). Dan ketika terusan Suez diserang Israel, juga menampung pendaftaran pemuda-pemuda yang ingin sukarela ikut dalam perang melawan Israel. Situasi dalam tahun 1956 sudah mulai panas. Aksi-aksi perlawanan atau pembangkangan Dewan Banteng (di Sumatera Barat), Dewan Garuda (di Sumatera Selatan) dan Dewan Gajah (di Sumatera Utara) makin menjurus ke arah pemberontakan. Dewan-dewan ini, yang didirikan oleh perwira-perwira Angkatan Darat merupakan tulang punggung bagi gerakan-gerakan di daerah-daerah, yang pada waktu itu mengajukan tuntutan macam-macam kepada Pemerintah Pusat, dengan alasan-alasan politik dan ekonomi. Sebenarnya, di belakang itu semua, adalah komplotan besar-besaran antara kekuatan reaksioner di dalam negeri dan kekuatan asing, untuk melawan politik Presiden Soekarno dan melawan PKI.

Dalam keadaan yang demikian saya masih dapat pergi ke Jakarta beberapa kali sampai tahun 1957. Teman-teman di Jakarta pada waktu itu juga sudah ada yang mulai menyatakan kekuatiran mereka terhadap keselamatan saya. Tetapi saya kembali juga ke Padang. Untuk menghadapi situasi yang terasa menyempitkan itu dan untuk mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya, saya makin hati-hati dalam pekerjaan sehari-hari.

Memimpin suratkabar yang pro Pemerintah Pusat di tengah-tengah “pusat pemberontakan” adalah pekerjaan yang memakan syaraf sehari-hari waktu itu. Banyak orang tahu, terutama pimpinan kekuasaan daerah, bahwa saya mempunyai pendirian politik yang pro-Pusat. Menjelang proklamasi PRRI, isi suratkabar secara setapak demi setapak saya ubah. Apalagi setelah terdengar bahwa orang-orang PKI mulai ditangkapi, dan bahkan wanita-wanita Jawa yang jualan jamu pun mulai ditahan, maka saya “banting setir.”

Pernyataan-pernyataan Pemerintah Pusat tidak saya muat lagi. Ataupun kalau dimuat, selalu disertai komentar, atau diubah isinya. Umpamanya: “pemerintah pusat dengan licik dan gegabah menyatakan . . . ,” atau “Karena takut menghadapi tuntutan yang adil Dewan-dewan daerah, maka . . .”

Pada tanggal 10 Februari 1958, sebagai persiapan dan alasan untuk melancarkan gerakan separatis, Letkol Achmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng melancarkan ultimatum kepada Pemerintah Pusat dan menuntut supaya Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo 5 X 12 jam. Ultimatum ini kami muat secara besar-besaran dalam Harian Penerangan. Pemerintah Pusat bertindak tegas menghadapi ulimatum ini. Letkol A. Husein dan perwira-perwira penting lainnya dipecat, dan Komando

Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) dibekukan dan dinyatakan langsung ada di bawah komando KSAD.

Gerakan-gerakan separatis ini menjadi makin lebih nyata dengan diproklamasikannya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Letkol A. Husein. Sebagai pimpinan PRRI diangkat Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan jabatan Perdana Menteri, dibantu oleh tokoh-tokoh PSI dan Masjumi.