K
etika turun dari kapal KPM di pelabuhan Tg Priok, dengan membawa sepeda dan satu koper kecil, tentu saja timbul pertanyaan: mau ke mana? Memang, pernah saya menginap beberapa hari di salah satu rumah di Sawah Besar, menjelang pergi ke Sumatera beberapa tahun sebelumnya. Tetapi, alamatnya sudah lupa dan juga tidak ada kontak lagi dengan pengurus API yang mengirim kami (dua pemuda dari Kediri), ke Sumatera.Saya naikkan saja sepeda dan kopor kecil ke dalam kereta api yang menuju Meester Cornelis (Jatinegara). Memang ada persediaan uang sedikit waktu itu, yaitu sisa dari gaji menjadi guru, yang dihemat-hemat. Seturun dari kereta api di Meester Cornelis, saya bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitar setasiun di manakah ada penginapan yang murah. Memang logisnya, atau biasanya, di dekat setasiun selalu ada hotel atau penginapan.
Kebetulan sekali, di dekat setasiun ada hotel atau rumah penginapan yang bernama “Penginapan Surakarta.” Pemiliknya seorang wanita janda yang berasal dari Solo dan sudah lama tinggal di Jakarta, namanya ibu Sri (entah Sri apa selanjutnya). Kepada ibu Sri saya katakan bahwa saya datang dari Surabaya, dan pernah bekerja sebagai guru, dan datang ke Batavia (Jakarta, sekarang) untuk mencari pekerjaan. Karena itu saya minta diberi kamar yang semurah-murahnya.
Untuk malam itu, dan beberapa malam kemudian, saya dibolehkan tidur di atas tikar di lantai, di ruangan luar (jadi bukan di kamar). Beberapa hari berjalan begitu. Pada satu saat, karena kesibukan dia dan pegawainya sedang tidak ada, saya dimintai tolong untuk menerima tamu dan mengisi buku tamu. Melihat tulisan tangan saya baik, ia mengatakan bahwa selanjutnya saya bisa menginap di “hotel” itu (selalu di lantai dan di luar kamar) tanpa bayar, sampai saya mendapat pekerjaan.
Kadang-kadang, umumnya pada malam hari, ada MP Belanda (polisi militer) yang datang ke rumah penginapan (waktu itu masih belum penyerahan kedaulatan) untuk memeriksa apakah ada “teroris” (maksud mereka pejuang-pejuang RI) yang menginap. Karena saya bisa bahasa Belanda, maka saya disuruh oleh ibu Sri untuk menghadapi polisi militer Belanda itu. Lama-lama saya mendapat kepercayaannya, dan sering disuruh mengecapkan buku tamu ke Kantor Polisi Meester Cornelis. Saya kemudian dianggap sebagai pekerja rumah penginapan itu, dengan diberi makan dan uang saku. Dan kalau ada kamar yang kosong, saya boleh tidur di dalamnya (tidak di lantai luar lagi). Tetapi, kadang-kadang juga saya disuruh mencuci kain seprei tempat tidur yang dipakai oleh tamu-tamu. Dan ini pekerjaan yang tidak saya sukai. Sebab, walaupun penginapan ini bukan penginapan pelacuran, tetapi sering juga ada tamu-tamu yang membawa wanita. Sudah tentulah saya tidak puas dengan hidup secara demikian.
Namun, saya senang juga tinggal di penginapan ini, karena bisa bertemu dan berkumpul dengan sejumlah pejuang-pejuang dari daerah “pedalaman” (Tentara Pelajar, pasukan KRIS dan lain-lain) yang juga terpaksa menginap dengan cara-cara yang murah. Di antara mereka terdapat teman lama saya Idham Idris, yang
kemudian bekerja di Kementerian Penerangan, dan pernah sama-sama ikut mendarat di pulau Ambon dalam rangka operasi militer untuk menumpas RMS.
Sambil menunggu kesempatan yang lebih baik, saya meneruskan belajar di Taman Madya bagian bahasa, di Jalan Garuda (Kemayoran), untuk menyambung pelajaran di Jogya, yang terputus karena situasi. Ini berjalan tidak lama. Sebab, tekad untuk mencari pekerjaan lain makin mengeras. Kemudian saya berhasil diterima bekerja di kantor agen KPM di Tanjong Priok, sebagai pegawai bagian arsip. Ini juga karena bisa berbahasa Belanda. Sehabis kerja kantor di KPM, saya masih selalu kembali di rumah penginapan Surakarta ini, untuk meneruskan pekerjaan menerima tamu dan lain-lain.
Kesempatan tinggal di rumah penginapan Surakarta ini saya pergunakan secara intensif sekali untuk belajar bahasa Inggris, sambil bekerja di KPM di Tanjong Priok. Mengapa? Karena pekerjaan di bagian arsip kantor agen KPM ini tidak menyenangkan sama sekali. Sangat menjemukan. Menguasai secara baik bahasa Inggris ini merupakan tekad keras dan kegiatan utama sehari-hari dan setiap ada waktu yang terluang. Waktu itu saya berpendapat bahwa sesudah penyerahan kedaulatan kepada RI, peran bahasa Belanda akan makin berkurang.
Setelah merasa cukup untuk menguasainya, pada suatu hari saya melamar pekerjaan di Kantor Penghubung Angkatan Laut Amerika di Jalan Raden Saleh. Pada hari itu jugalah saya dites (percobaan) oleh salah seorang Amerika petugas kantor, dengan disuruh menterjemahkan bahan-bahan mengenai laut sekitar Jawa, dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris. Dari hasil percobaan itu saya diterima untuk bekerja sementara, dengan tugas menyelesaikan penterjemahan bahan-bahan mengenai laut
sekitar pulau Jawa itu. Pekerjaan itu selesai dalam tiga bulan. Setelah selesai pekerjaan penterjemahan itu, saya minta suatu surat keterangan bahwa sudah pernah bekerja di kantor itu. Ternyata kemudian bahwa surat keterangan dalam bahasa Inggris dan dicap oleh United States Naval Liaison Office itu sangatlah berharga.
Dengan terus menjadikan penginapan Surakarta sebagai pangkalan, saya mencari pekerjaan lain. Dengan membawa surat keterangan Kantor Penghubung Angkatan Laut itu saya melamar pekerjaan di kantor suratkabar Indonesia Raja, di Jalan Pecenongan 48. Dalam wawancara dengan Mochtar Lubis diajukan olehnya berbagai pertanyaan. Saya ceritakan bahwa pernah belajar di Taman Madya di Jogya dan pernah ikut Tentara Pelajar dan pengalaman-pengalaman lainnya.
Tentulah sangat gembira hati saya waktu itu bahwa lamaran akhirnya diterima olehnya. Ini terjadi dalam tahun 1950. Maka mulailah sejak itu kehidupan dalam jurnalistik, yang masih saya teruskan di Paris, hampir setengah abad kemudian, dengan di sana-sini diselipi oleh kegiatan atau profesi lainnya. Profesi kewartawananlah yang kemudian menjadi bagian yang utama dalam sejarah hidup saya, yaitu, kehidupan yang ternyata penuh dengan peristiwa dan pengalaman yang macam-macam, seperti yang diuraikan dalam bagian-bagian berikutnya dalam catatan