P
rofesi kewartawanan saya dimulai di suratkabarIndonesia Raja sebagai korektor. Suratkabar ini waktu
itu baru berdiri sekitar satu tahun. Pekerjaan sebagai korektor ini memberikan kesempatan bagi saya mengenal secara permulaan berbagai segi teknik jurnalistik. Sebab dengan mengoreksi proefdruk (cetakan percobaan), secara langsung atau tidak langsung, dengan disadari atau tidak, ini dapat merupakan berbagai latihan: bahasa, lay-out, cara menyusun berita, atau mengarang artikel, dan pengetahuan umum tentang berbagai masalah.
Pekerjaan sebagai korektor ini saya lakukan berbulan-bulan, terutama di percetakan Molenaar (perusahaan Belanda) di Jalan Pintu Air. (Waktu itu di percetakan ini dicetak juga, antara lain, suratkabar berbahasa Belanda Nieuwsgier dan Pedoman). Meskipun gaji waktu itu kecil, pekerjaan di suratkabar ini menyenangkan saya. Waktu itu umur saya mencapai dua puluh dua tahun.
Apalagi, ketika saya diberi kesempatan untuk mulai membuat berita-berita kota, di samping meneruskan pekerjaan sebagai korektor. Sering sekali, terutama pada masa-masa yang lalu, wartawan-wartawan di berbagai negeri memulai profesi jurnalistik mereka dengan menjadi cub reporter atau city reporter.
Pekerjaannya ialah membuat “berita-berita kecil” mengenai berbagai kejadian di kota, umpamanya perampokan, tabrakan lalu lintas, kebakaran, upacara-upacara, banjir, dll.
Waktu itu, saya bersama-sama reporter-reporter kota dari berbagai suratkabar di Jakarta setiap pagi berkumpul di Kantor Besar Polisi Jakarta, untuk mendapat beraneka-ragam berita yang dilaporkan oleh kantor-kantor polisi di seluruh Jakarta. Dari berita-berita kepolisian ini masing-masing reporter dapat menyusun berita kecil atau panjang. Kadang-kadang, dapat juga berita kepolisian ini menjadi bahan untuk pengusutan lebih jauh bagi reporter yang bersangkutan.
Pekerjaan sebagai reporter kota waktu itu membuka kesempatan bagi saya untuk kemudian menulis berita-berita dan artikel-artikel yang menyangkut berbagai soal, kecuali tentang masalah parlemen, Istana Merdeka, atau masalah-masalah kepartaian dan politik. Untuk ini ada wartawan-wartawan lainnya yang ditugaskan. Lambat-laun bidang pekerjaan saya sebagai wartawan makin meluas. Mengadakan
interviu-interviu di berbagai Kementerian (Pertanian, Perhubungan
Laut, AURI, dan sebagainya) dan menulis artikel atau reportase, yang dibubuhi dengan nama A. Umar Said.
Pada kesempatan yang memungkinkan, sekarang ini ingin juga saya dapat melihat kembali berbagai tulisan saya yang sudah dimuat di Indonesia Raja itu. Walaupun sudah lewat lima puluh tahun, mungkin saja Museum Nasional atau perpustakaan-perpustakaan tertentu di Indonesia masih ada yang menyimpan penerbitan-penerbitan masa itu. Sebab, sampai pertengahan tahun 1953, cukup banyak tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat dalam suratkabar ini.
Di antara kenang-kenangan penting tentang pengalaman ketika bekerja di suratkabar Indonesia Raja termasuklah tugas jurnalistik untuk mengikuti operasi penumpasan RMS, ekspedisi Palang Merah Indonesia ke Indonesia Timur, dan mengikuti perjalanan Bung Karno ke Indonesia Timur. Ini terjadi dalam tahun-tahun 1950 dan 1953.
Dua wartawan suratkabar Jakarta, saya dan Subekti dari
Pedoman, dan seorang jurupotret dari Kementerian Penerangan
(Idham Idris) ditugaskan mengikuti operasi besar-besaran untuk menumpas pemberontakan RMS. Sebelum itu, dengan mendapat dukungan dari Belanda dan dengan menghasut serdadu-serdadu KNIL, Dr Soumokil memproklamasikan pada tanggal 25 April 1950 berdirinya Republik Maluku Selatan. Karena ini merupakan gerakan separatis, maka Pemerintah Pusat di Jakarta mengambil sikap tegas terhadap gerakan ini.
Pada tanggal 14 Juli 1950, pasukan-pasukan tentara Pusat mendarat di kepulauan ini. Kami mengikuti pendaratan batalyon-batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya di daerah Tulehu (pulau Ambon), sesudah berhari-hari menunggu di kapal perang. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Kawilarang. Di antara pimpinan operasi militer ini juga terdapat Letkol Daan Yahya. Sejumlah kapal perang ALRI (korvet-korvet) juga dikerahkan untuk operasi gabungan ini.
Dalam operasi inilah gugur Letkol Slamet Riyadi, yang memimpin salah satu batalyon dari Divisi Diponegoro. Saya dan Idham Idris terus mengikuti operasi ini beberapa minggu, sampai jatuhnya Benteng Paso, yang merupakan pertahanan RMS yang kuat sekali. Setelah jatuhnya pertahanan RMS lainnya di Batu Merah, kota Ambon dapat dibebaskan dari tangan RMS.
wartawan adalah ketika Markas Besar PMI, yang waktu itu dipimpin oleh Dr Sumarno, mengirimkan kapal ekspedisi PMI untuk memberi bantuan perikemanusiaan kepada penduduk di kepulauan Maluku dan daerah-daerah lain di Indonesia Timur. Waktu itu, karena adanya pemberontakan RMS, hubungan laut dengan banyak pulau-pulau terputus. Banyak pulau yang sudah empat bulan, bahkan lebih, tidak dikunjungi kapal. Karena itu, penduduk kekurangan makanan, tidak ada beras, tidak ada minyak, tidak ada sabun, tidak ada gula.
Kapal ekspedisi PMI itu (kapal besar, yang disewa dari KPM) mengelilingi pulau-pulau Buru, Seram, Banda, Aru, Kai, Tanimbar, Sawu, Roti, Flores dan lain-lainnya. Setiap singgah di pulau-pulau itu, barang-barang kebutuhan hidup yang pokok diserahkan kepada pemerintahan setempat. Dari perjalanan inilah saya melihat untuk pertama kalinya, betapa indahnya bagian Timur tanah air kita ini.
Pernah juga, dalam masa-masa itu, saya termasuk rombongan wartawan yang mengikuti perjalanan Presiden Soekarno untuk mengelilingi Indonesia Timur. Ini adalah perjalanan Presiden RI yang pertama kalinya ke bagian Timur dari tanah air kita. Karena itu, sambutan rakyat di mana-mana sangat meriah. Tempat-tempat yang dikunjungi selama perjalanan ini adalah Makasar, Ambon, Banda, Timor (dari Kupang, Presiden berkunjung juga ke Atambua dan Atapupu), Flores, Sumba, dan Bali.
Singkatnya, periode ketika saya bekerja di suratkabar Indonesia
Raja, adalah langkah permulaan dari kehidupan saya sebagai
wartawan, yang kemudian diikuti oleh tahap-tahap kehidupan lainnya yang beraneka-ragam, baik di bidang jurnalistik maupun politik.
Semasa saya bekerja di Indonesia Raja, di tanah air terjadi berbagai peristiwa yang penting-penting, sebagai kelanjutan dari terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia. Setelah melalui perundingan yang memakan waktu lama, maka kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
Negara RIS, yang presidennya adalah Bung Karno, terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu RI Yogya, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Selatan dan Sumatra Timur.
Di samping itu ada sembilan “satuan kenegaraan yang tegak sendiri,” yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Riau dan Jawa Tengah.
Negara-negara bagian dan satuan kenegaraan yang banyak itu didirikan oleh Belanda dengan maksud untuk memecah-mecah kesatuan bangsa dan memencilkan Republik Indonesia. Setelah Belanda mengakui kedaulatan RIS, maka dengan sendirinya eksistensi negara-negara bagian ini makin tidak ada artinya. Di samping itu, tuntutan rakyat dan berbagai organisasi untuk kembali ke negara kesatuan makin lama makin kuat. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali.
Dengan adanya banyak partai waktu itu, maka sistim demokrasi parlementer liberal yang meniru-niru cara Barat menyebabkan sering jatuh bangunnya secara berturut-turut berbagai kabinet, yang dibentuk atas dasar kepartaian. Pemerintahan berjalan tidak stabil, dan program kerja banyak yang tidak sempat ditangani secara tuntas, karena selalu ada rongrongan dari berbagai pihak. Kabinet Natsir (yang kebanyakan terdiri dari menteri-menteri dari golongan Masjumi)
hanya berumur enam setengah bulan (sampai 21 Maret 1951). Kabinet Sukiman (koalisi Masjumi-PNI) jatuh dalam bulan Februari 1952 (berumur hanya sepuluh bulan). Kabinet Wilopo (PNI) bisa berumur satu tahun dua bulan, dan jatuh pada tanggal 2 Juni 1953. Selama kabinet Wilopo inilah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, ketika sebagian dari pimpinan Angkatan Darat “mendemonstrasi” DPR dan Istana dengan moncong meriam.
Ketika terjadi peristiwa-peristiwa ini, saya sebagai wartawan merasakan bahwa Indonesia Raja sudah mulai menunjukkan sikapnya yang makin kritis terhadap Bung Karno. Sedangkan, saya sendiri makin banyak berhubungan dengan orang-orang dari SOBSI, Pemuda Rakjat, baik dalam kapasitas sebagai wartawan maun pun secara pribadi. Salah seorang di antara sahabat saya waktu itu adalah Soerjono, yang bekerja di majalah
Sunday Courier (Jalan Pintu Besar) yang dipimpin oleh Siauw Giok
Tjan. Kedekatan saya dengan Soerjono adalah juga karena kami sama-sama berasal dari Blitar.