• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Surabaya ke pertempuran lagi

D

i Surabaya mula-mula bekerja di toko buku Van Dorp. Pekerjaan saya sebagai pegawai rendahan di toko buku ini juga tidak lama (tiga bulan). Tidak betah, karena sering disuruh mengantar bungkusan-bungkusan buku kepada pemesan-pemesan. Kadang-kadang terpaksa menggunakan sepeda yang ada gerobaknya di belakang, untuk mengangkut karton-karton yang berisi buku-buku atau barang cetakan. Orang-orang Belanda yang mengurusi toko buku ini umumnya memperlakukan saya dengan baik (mungkin karena saya bisa berbahasa Belanda), tetapi mengayuh sepeda-gerobak sepanjang jalan Tunjungan atau jalan-jalan besar lainnya, ada perasaan malu juga. Dalam hati: saya pernah jadi guru dan pernah bertempur melawan Tentara Sekutu, mengapa jadi begini?

Karena itu saya melamar lagi ke Onderwijse Dienst Jawa Timur (Dinas Pengajaran) untuk mengajar lagi. Rupanya administrasi pemerintahan waktu itu sudah berjalan baik. Sebab ketika mendapat panggilan, Hoofd-opziener (Pengawas Kepala) mengatakan bahwa dalam berkas-berkas saya ada laporan dari Dinas Pendidikan di Malang bahwa saya mempunyai persoalan ketika bekerja di Sekolah Rakyat Bandarangin (di Malang). Ia mengatakan bahwa saya bisa diterima untuk bekerja lagi di sebuah Sekolah Rakyat, tetapi ia memberi pesan supaya apa yang terjadi di Malang jangan diulangi lagi.

Selama bekerja di Malang dan kemudian di Surabaya, selalu ada perasaan bahwa saya sudah mengkhianati perjuangan.

Perasaan ini selalu terbawa-bawa. Ketika ada sahabat dekat di SMP Kediri bersama istrinya juga datang dari “pedalaman” (daerah RI) ke Surabaya, untuk menjadi guru Sekolah Rakyat juga, maka saya merasa lega juga. Sebab teman lama ini termasuk pengurus IPPI Jawa Timur. Untuk jangka waktu yang singkat, kami bertiga tinggal serumah.

Pekerjaan mengajar di Sekolah Rakyat ini juga tidak lama, hanya beberapa bulan saja. Pada tanggal 18 Desember 1948 Yogya diserbu oleh pasukan payung Belanda yang diikuti oleh penyerbuan Tentara secara besar-besaran. Di koran-koran Belanda dan di radio tersiar kabar bahwa Bung Karno dan pemimpin-pemimpin RI lainnya ditangkap, untuk kemudian diungsikan ke pulau Bangka. Terjadi lagilah pergolakan dalam hati saya. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Semangat mudalah rupanya waktu itu yang berbicara dan mengambil keputusan.

Saya membuat tulisan beberapa halaman, di jelaskan dalam tulisan ini bahwa saya sudah mengambil keputusan untuk berjuang lagi dan meninggalkan pekerjaan sebagai guru.

Tulisan ini kemudian saya bawa ke Tumpang. Saya katakan kepada paman-paman dan nenek bahwa saya akan menggabungkan diri kepada teman-teman yang sedang melawan Belanda, entah di mana. Kepada paman-paman dipesankan supaya tulisan itu disampaikan kepada bapak ibu di Nganjuk, yang waktu itu masih dalam kekuasaan RI. Saya ingat bahwa paman terkejut membaca tulisan ini (dan takut), karena tulisan itu mengandung kalimat-kalimat yang bersifat kata-kata perpisahan: perkataan rela mati, dsb., dsb.

Inilah merupakan kunjungan yang terakhir ke Tumpang, sampai saya singgah lagi sepuluh tahun kemudian dengan istri

saya tahun 1959, ketika kami mengadakan perjalanan bulan madu dan sowan bapak ibu di Blitar. Buat saya Tumpang menempati tempat yang khusus dalam hati, walaupun jarang mengunjungi nenek. Sebab lahir di Pakis, dekat Tumpang ini, dan pada suatu kali, ketika masih kecil, pernah diajak oleh bapak mengunjungi rumah tempat lahir saya itu.

Sesudah menitipkan tulisan itu kepada keluarga Tumpang, dengan sepeda saya menuju daerah Kediri, dengan melewati jalan-jalan kecil yang berdekatan dengan Krian, Mojokerto, Jombang. Saya menuju daerah Kediri, karena menduga bahwa teman-teman yang sedang berjuang, terutama Tentara Pelajar (TRIP), ada di daerah ini. Dalam suasana perjuangan melawan Belanda ketika itu, untuk menginap bukanlah soal. Di tiap kelurahan bisa saja menginap, tanpa bayar. Sebab, sejak revolusi pecah, orang hilir mudik. Ada yang mengungsi, ada yang berjuang. Bahkan, makan juga tidak terlalu susah. Bukan main solidaritas dan sumbangan rakyat waktu itu. “Orang kota,” atau yang kelihatan terpelajar, mendapat penyambutan yang baik di desa-desa.

Betul saja dugaan saya. Ketika sudah meninggalkan daerah Jombang mau menuju daerah Kediri, saya dapat mengetahui (sudah lupa bagaimana caranya) bahwa di dekat Cukir ada markas pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Saya mendekati markas itu, dan bertemulah dengan teman-teman lama dari SMP Kediri, yang waktu itu meneruskan perjuangan. Di antaranya ada juga yang ikut pertempuran 10 November di Surabaya. Dengan sendirinya, dengan gembira saya disambut oleh mereka, ketika menyatakan ingin menggabungkan diri dengan mereka.

Saya berkumpul dengan mereka tidak lama, tidak sampai sebulan. Tetapi sempat mengikuti operasi penyerangan kilat kota

Jombang. Jarak dari markas kami sampai kota Jombang kira-kira 20 km. Persenjataan kami cukup baik waktu itu, ada mitraliur 12,7 juga, di samping masing-masing memanggul karaben atau stengun. Saya kebagian karaben. Kami berangkat sore hari dengan jalan kaki. Diperhitungkan bahwa serangan harus diadakan pagi-pagi sekali, sekitar jam 4 atau 5 pagi. Pasukan yang dikerahkan jumlahnya sekitar 40 orang. Operasi kilat waktu itu dimaksudkan untuk mengacau jaluran besar Surabaya-Kertosono, yang merupakan urat nadi lalu lintas yang penting untuk Tentara Belanda.

Untuk melaksanakan operasi kilat itu, kami berjalan semalam suntuk sampai pagi hari. Dalam kegelapan yang kadang-kadang diseling dengan lampu senter, kami berjalan dengan ngantuk ketika sudah lewat tengah malam. Ada yang berjalan sambil setengah tidur. Rupanya bisa juga begitu. Berjalan secara otomatis dan tanpa kesadaran, walaupun tidak lama.

Tembak menembak ini tidak sampai setengah jam. Tetapi kami berada di pinggiran kota Jombang sampai beberapa jam (sebelum dan sesudah serangan). Kemudian, karena sudah makin siang, pasukan diperintahkan cepat-cepat untuk mundur meninggalkan kota Jombang dan mengaso di suatu desa yang jauh dari jalan yang bisa dilewati mobil. Siang harinya kami tinggal di desa itu, untuk berlindung. Karena, tidak baik melakukan perjalanan di siang hari, untuk menghindari pesawat terbang musuh dan juga supaya jangan ketahuan terlalu banyak oleh penduduk desa-desa yang kami lewati.

Beberapa waktu setelah melancarkan serangan kilat ke Jombang teman-teman TRIP merencanakan meninggalkan Cukir untuk pindah lagi ke daerah lain. Pada waktu itulah saya mengambil keputusan lain, setelah banyak berpikir. Apa akan

terus mengikuti pasukan?

Disamping itu, terdengar berita bahwa Tentara Belanda makin jauh menggerogoti daerah-daerah RI. Saya juga dengar kemudian bahwa pak guru Masadjar, yang saya pondoki bertahun-tahun, tewas di Kediri ketika Tentara Belanda memasuki kota itu. Pada suatu hari saya memberitahu teman-teman di TRIP bahwa saya tidak meneruskan ikut mereka. Pada masa-masa itu, begitu itu bisa saja. Orang mau berjuang ya disambut, kalau sudah tidak mau lagi ya boleh saja.

Keinginan untuk kembali ke rumah bapak ibu di Nganjuk sudah kecil sekali, karena bayangan kesulitan ekonomi bagi rumah tangga bapak ibu dan situasi di “pedalaman” waktu itu.

Saya ingin mencari pengalaman-pengalaman baru dan lapangan yang lebih luas untuk kehidupan selanjutnya di kemudian hari. Saya bertekad untuk melawat jauh. Maka berangkat lagilah saya dengan sepeda kembali ke Surabaya, tetapi dengan tekad untuk tinggal sebentar saja di situ. Di Surabaya mencari keterangan-keterangan tentang kemungkinan pergi ke Jakarta dengan kapal laut.

Tidak lama kemudian, saya membeli tiket kapal KPM di kelas geladak untuk menuju Jakarta, juga bersama sepeda saya. Ini terjadi sebelum penyerahan kedaulatan kepada RI dalam bulan Desember 1949. Maka mulailah halaman-halaman baru dalam sejarah hidup saya, setelah masa empat tahun yang penuh dengan gejolak semangat muda dan sering mengandung bahaya, yaitu masa muda yang diliputi oleh suasana revolusi yang menggelora waktu itu.