D
alam tahun 1962, saya bersama-sama sejumlah teman-teman wartawan lainnya (antara lain: S. Tahsin, Joesoef Isak, Tom Anwar, Hasyim Rahman) menghadiri Kongres I.O.J. (International Organisation of Journalists) di Budapest. Di Kongres I.O.J. inilah kami mengumpulkan tanda tangan dari banyak peserta kongres yang datang dari Asia-Afrika. Pengumpulan tanda tangan ini dimaksudkan untuk mendukung diselenggarakannya Konferensi Wartawan Asia-Afrika oleh wartawan-wartawan Indonesia, sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung dalam tahun 1955.Dalam situasi pertentangan ideologi (yang terjadi sejak 1960) antara Tiongkok dan Uni Soviet, inisiatif kami di Budapest ini mendapat sambutan dari delegasi Tiongkok di kongres IOJ itu dan juga dari berbagai delegasi lainnya. Setelah kongres selesai, saya dan Tahsin diundang oleh Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok (PWST) datang ke Peking untuk membicarakan lebih lanjut ide penyelenggaraan KWAA ini.
Maka berangkatlah kami berdua ke Tiongkok dengan pesawat terbang. Di Peking, kami mengadakan rapat berkali-kali dengan pimpinan PWST, antara lain Teng Kang (pimpinan kantor berita
Xinhua), Mei Yi (Direktur Radio), Li Pingchuan (PWST). Kami juga
diterima oleh Menteri Luar Negeri Chen Yi, yang menegaskan dukungan erat Tiongkok akan terselenggaranya KWAA. Suratkabar Tiongkok Renmin Ribao (Harian Rakjat) memuat foto kami berdua dengan Menlu Chen Yi di halaman pertamanya.
Menjurut rencana kami waktu itu, KWAA itu perlu diadakan dalam tahun 1963 di Jakarta. Waktu yang tersedia memang sempit sekali, sedangkan untuk mengadakan konferensi internasional yang cukup besar itu diperlukan banyak persiapan. Karenanya, sekembali kami ke Jakarta segeralah PWI seluruh Indonesia mengadakan langkah-langkah. Sesuai dengan situasi politik dan opini umum waktu itu, ide penyelenggaraan KWAA ini (antara 24 April-1 Mei 1963) mendapat sambutan pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) dan berbagai partai dan organisasi.
Setelah diadakan rapat-rapat berkali-kali di antara para anggota grup IOJ dan berbagai anggota PWI cabang Jakarta (yang diketuai oleh Joesoef Isak) maka terbentuklah Panitia Pusat KWAA. Panitia Pusat KWAA ini diketuai Djawoto, sebagai seorang wartawan senior yang terkemuka, dan juga Ketua PWI Pusat. Dalam berbagai kegiatan yang diadakan Panitia Pusat KWAA ini juga ikut serta secara aktif Koerwet Kartaadiredja, mantan wartawan yang dekat dengan lingkungan Bung Karno. Saya dipilih menjadi Bendahara Panitia Pusat KWAA ini, yang waktu itu berkantor di Press House (Wisma Warta) di dekat Hotel Indonesia.
Oleh karena kesibukan-kesibukan yang padat, maka beberapa minggu sebelum berlangsungnya KWAA, kami terpaksa tidur di Press House. Pekerjaan saya sebagai Bendahara KWAA waktu itu selalu mengadakan rapat-rapat dengan berbagai seksi Panitia (penerimaan tamu, transport, penterjemahan, makanan, dan lain-lain) untuk: membikin rencana pengeluaran, mengkontrol keluar-masuknya uang. Banyak sekali teman-teman wartawan Jakarta yang dikerahkan untuk menangani berbagai seksi ini, antara lain: Hasyim Rachman, Tom Anwar, S. Tahsin, Kadir Said, Zain Nasution dan lain-lain.
KWAA dalam tahun 1963 merupakan peristiwa penting dalam sejarah kewartawan Indonesia. Namun, karena politik Orde Baru, peristiwa ini telah sengaja dibikin “kecil” selama puluhan tahun. Padahal, KWAA pernah menjadi event nasional yang besar. Cabang-cabang PWI di seluruh Indonesia membentuk Panitia KWAA setempat di seluruh negeri yang ditugaskan mengumpulkan dana dan kampanye mobilisasi pendapat umum. Simpati yang luas pada ide KWAA ini didorong oleh situasi dalam negeri dan juga situasi politik internasional pada waktu itu.
Presiden Soekarno mengucapkan Trikomando Rakyat (Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961 yang isinya:
1. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Pada tanggal 11 Januari 1962, Presiden membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima. Dalam bulan Februari 1962 Komando Mandala mulai menggerakkan pasukan-pasukan untuk memasuki Irian Barat lewat laut, dan dalam bulan Maret diterjunkan pasukan payung. Akhirnya, Belanda melihat bahwa tidaklah mungkin untuk selanjutnya menghadapi pasukan-pasukan Indonesia. Karenanya, pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani di New York oleh Belanda dan Indonesia suatu persetujuan yang menyatakan bahwa 1 Mei 1963 wilayah Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia dengan syarat adanya pemilihan
atau penentuan pendapat rakyat.
Sementara itu, campur tangan Amerika di Vietnam Selatan makin menyolok. Pertentangan antara RRT dan Taiwan (yang disokong oleh Amerika Serikat) juga menajam. Presiden Soekarno mencanangkan adanya bahaya nekolim (neo-kolonialisme-imperialisme) bagi negeri-negeri Asia-Afrika yang sudah merdeka atau baru merdeka. Sudah jelas, bahwa yang disasar oleh Presiden Soekarno waktu itu adalah kekuatan-kekuatan Barat, yang secara langsung atau tidak langsung, terbuka atau tertutup, menyokong golongan-golongan atau daerah-daerah yang melawan politik Presiden Soekarno. Waktu itu, Inggris berusaha untuk menjadikan Malaysia sebagai negeri bonekanya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa KWAA secara garis besar mengemban politik yang sejalan dengan politik Presiden Soekarno dan dengan keputusan-keputusan Konferensi Bandung mengenai berbagai hal.
Berkat bantuan antusias berbagai pihak dan Panitia yang bekerja keras, KWAA berjalan dengan lancar. Suksesnya mempunyai gema yang besar, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri. Setelah selesai konferensi, Panitia KWAA minta kepada salah satu kantor akuntan di Jakarta untuk memeriksa jalannya keuangan selama persiapan dan penyelenggaraan konferensi. Ini merupakan kejadian yang termasuk “istimewa” juga pada masa itu.
Sebab, belum pernah ada tindakan semacam itu sebelumnya, yang dilakukan oleh panitia-panitia lainnya yang telah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan besar semacam itu. Hasil pemeriksaan akuntan itu, yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan KWAA berjalan baik, kemudian diumumkan secara luas di dalam pers.
Mungkin karena pengalaman ini jugalah maka ketika dalam bulan Agustus (tanggal 13-16) diadakan Kongres PWI ke 11 di Jakarta saya dipilih menjadi Bendahara PWI Pusat. Demikian juga, setelah dibentuk Panitia Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), saya juga ditunjuk menjadi Bendaharanya, bersama dengan Ridwan Basar sebagai wakil saya.