• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan di PWAA dan PWI Pusat

K

onferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta (24 April-1 Mei 1963) telah menghasilkan terbentuknya Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA). Telah ditentukan bahwa sekretariatnya terdiri dari perwakilan persatuan wartawan dari lima negara Asia dan lima negara Afrika. Dari Afrika telah terpilih: Aljazair, Mali, Afrika Selatan , Tanzania, dan Ginea. Dari Asia: Indonesia, Srilanka, Siria, RRT dan Jepang. Kedudukan sekretariat telah ditentukan di Jakarta. Dan sekretaris jenderal-nya yang dipilih waktu itu adalah Djawoto, yang mewakili Indonesia.

Sejak terbentuknya PWAA, maka saya tetap terus aktif dalam sekretariat dengan tugas utama mengurusi keuangan serta urusan-urusan sehari-hari yang bersangkutan dengan para Sekretaris PWAA yang menetap di Jakarta. Waktu itu, ada sekretaris-sekretaris dari Afrika Selatan (Lionel Morrison), Siria (Aboukos), Srilanka (Manuweera), Jepang (Ichihei Sugiyama), RRT (Yang Yi) . Mereka tinggal, atas biaya PWAA, di Press House (Wisma Warta) yang terletak di Jalan Thamrin, dekat Hotel Indonesia. Wisma Warta ini sekarang sudah dibongkar dan dijadikan Hotel Grand Hyatt. Sekretariat PWAA menyewa ruangan besar dalam Wisma Warta ini.

Untuk pekerjaan sekretariat direkrut tenaga-tenaga yang cukup banyak, antara lain untuk menangani tugas sebagai interpreter (Inggris, Perancis, dan Arab), bagian keuangan, bagian

majalah (Inggris dan Perancis). Di antara staf sekretariat terdapat: Ny. Urip, Ashari, Adnan Basalamah. Untuk keperluan sekretariat ada mobil tersendiri. Di samping itu, ada tenaga-tenaga sukarela, yang sering datang ke sekretariat untuk ikut menangani macam-macam hal, antara lain S.Tahsin, Hasyim Rachman, Tom Anwar, Joesoef Isak dan lain-lain.

Sebagai penanggung jawab keuangan PWAA dan penghubung dengan sekretaris-sekretaris luar negeri, saya setiap hari berkantor di sekretariat. Urusan sehari-hari cukup banyak, dari yang serius sampai hal-hal yang “tetek-bengek.” Maklumlah, kelakuan orang macam-macam, dan permintaan para sekretaris luar negeri juga kadang-kadang tidak mudah untuk dipenuhi. Sebab, sering sekali sekretariat PWAA dan sekretaris-sekretarisnya mendapat undangan untuk menghadiri berbagai resepsi dari kedutaan-kedutaan yang begitu banyak di Jakarta. Hubungan dengan pejabat-pejabat Kementerian Luar Negeri di Pejambon waktu itu erat sekali (antara lain, dan terutama sekali, dengan Ganis Harsono).

Bagi saya, pekerjaan di sekretariat PWAA cukup menarik. Saya sepenuhnya bisa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa-kerja sehari-hari (working language) dengan para sekretaris. Dengan Aboukos dari Siria saya gunakan bahasa Perancis yang masih dalam tingkat rendah waktu itu. Dengan pekerjaan di sekretariat ini, saya dapat memperluas pandangan mengenai berbagai soal Asia-Afrika, yang waktu itu sedang mengalami pergolakan-pergolakan besar. Semua ini merupakan perbekalan yang penting, ketika kemudian saya bertugas sebagai Kepala Sekretariat PWAA di Peking, sesudah terjadinya G30S.

Selama menangani pekerjaan di PWAA saya pernah bertugas untuk keliling ke negeri-negeri Arab bersama Aboukos (sekretaris

dari Siria), Ashari (dari Palembang), dan Adnan Basalamah (penterjemah bahasa Arab). Kami kunjungi waktu itu negeri Mesir, Siria, dan Irak.

Aboukos waktu itu merupakan tenaga aktif dalam rangka perjuangan negeri-negeri Arab untuk membela perjuangan rakyat Palestina. Dan PWAA telah mengambil berbagai keputusan tegas untuk memihak rakyat Palestina melawan Israel. Demikian juga mengenai perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam melawan Apartheid.

Kemudian, pada suatu waktu saya juga pernah mengunjungi negeri-negeri Afrika bagian Timur untuk mengkonsolidasi hubungan PWAA dengan organisasi wartawan di berbagai negeri di bagian benua ini. Kami bertiga berangkat bersama Yang Yi (sekretaris dari RRT) dan Fransisca Nasution sebagai penterjemah. Dalam perjalanan yang cukup lama ini telah kami kunjungi: Mesir, Sudan, Uganda, Tanzania (termasuk Zanzibar), Somalia, dengan menginap beberapa hari di Ethiopia dan Kenya (Nairobi). Waktu itu, di mana-mana kami menyaksikan bahwa wartawan-wartawan dan pejabat-pejabat penting di berbagai negeri ini menaruh respek kepada politik luar negeri Indonesia, dan bahwa nama Presiden Soekarno memang dihormati oleh banyak orang di banyak negeri.

Konferensi Bandung selalu dikaitkan dengan Indonesia dan Soekarno. Sebagai orang Indonesia, saya merasa sangat bangga. Saya masih ingat bahwa untuk perjalanan ke Afrika bagian Timur ini, artikel-artikel saya telah disiarkan oleh Kantor Berita Antara, dan dimuat oleh berbagai suratkabar di Indonesia.

Setelah dipilih sebagai bendahara PWI Pusat, kesibukan-kesibukan setiap hari makin bertambah. Sebab, kegiatan di PWAA

(tanpa gaji) dan di PWI Pusat (juga tanpa gaji) saya lakukan sambil merangkap pekerjaan sebagai Pimpinan Redaksi Ekonomi

Nasional. Dari sinilah saya mendapat gaji. Karena itu, saya

berusaha bekerja seperti biasa setiap hari. Karena koran Ekonomi

Nasional harian sore, maka pekerjaan saya yang utama adalah

pagi hari, sampai “naiknya” pers di tengah hari. Pekerjaan pagi hari ini adalah menyeleksi berita-berita untuk diedit lebih lanjut oleh rekan-rekan lainnya, mengadakan sidang-sidang redaksi, dan membikin editorial.

Pekerjaan sebagai bendahara di PWI Pusat saya lakukan setelah berkantor beberapa jam di PWAA, biasanya menjelang sore hari. Dengan melakukan kegiatan sehari-hari semacam itu, maka boleh dikatakan bahwa kehidupan sehari-hari antara tahun 1963 sampai September 1965 adalah amat padat, karena harus berkantor secara rutin tiap hari di tiga tempat, bahkan di empat tempat (walaupun tidak setiap hari, yaitu di kantor redaksi majalah Pembangunan). Di samping itu, masih ada lagi beraneka-ragam kegiatan (resepsi di berbagai kedutaan, rapat-rapat politik, dan kegiatan-kegiatan penting lainnya). Oleh karena banyaknya kegiatan-kegiatan semacam itu, dalam waktu yang lama sekali, saya sering pulang ke rumah selalu malam sekali.

Semua tugas penting ini saya lakukan ketika umur saya sudah menginjak antara tiga puluh lima sampai tiga puluh tujuh tahun. Karena suasana politik di Indonesia waktu itu sarat dengan perjuangan untuk pembebasan Irian Barat, pengganyangan proyek Malaysia, pengembangan solidaritas perjuangan rakyat Asia-Afrika dan lain-lain, maka kehidupan saya sebagai wartawan juga sangat erat terkait dengan persoalan-persoalan itu semua.