• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di depan pengadilan Perancis

S

ejak permulaan saya bermukim di Perancis, saya selalu berusaha untuk menerapkan prinsip berikut: sejauh mungkin dan sedapat mungkin menghindari hal-hal yang melanggar peraturan-peraturan atau hukum Perancis, apalagi yang bersifat kriminil. Terutama, waktu sedang dalam proses minta suaka politik dan belum mendapat status refugié politique.

Bahkan, kemudian, walaupun telah mendapat status réfugié

politique saya harus berusaha terus supaya jangan ada noda di

bidang hukum ketika hidup di negeri ini. Karenanya, walaupun banyak kegiatan dan hubungan-hubungan dengan berbagai kalangan di Paris, saya hindari hubungan dengan organisasi-organisasi yang, menurut dugaan, adalah “gawat” atau sedang disorot keras oleh badan-badan keamanan negara (intel atau dinas rahasia dan lain-lain). Hal ini adalah wajar. Sebab, saya menduga, bahwa karena saya pernah menyatakan bahwa saya adalah petugas di PWAA di Peking selama bertahun-tahun (atau karena sebab-sebab lainnya yang tidak saya ketahui), maka ketika minta suaka politik, terasalah bahwa pemeriksaan terhadap saya dilakukan secara agak serius.

Contohnya adalah yang berikut: Dalam interogasi itu ditanyakan siapa sajakah yang saya hubungi di Perancis? Mengapa minta suaka di Perancis? Apa saja rencana saya selanjutnya kalau nanti tinggal di Perancis? Dan negeri-negeri mana sajakah yang saya kunjungi dalam waktu-waktu terakhir

ini? Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan semacam itu adalah soal rutin saja. Adalah tugas yang wajar bagi polisi, intel, atau berbagai macam dinas rahasia suatu negara untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu soal yang dianggap penting bagi keselamatan atau keamanan negaranya.

Dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu, waktu itu saya berpendapat bahwa perlu menunjukkan diri sebagai seorang yang tidak mungkin membahayakan keamanan negara Perancis. Juga saya tegaskan bahwa walaupun pernah melakukan berbagai kegiatan politik, namun kegiatan itu adalah dalam rangka menentang rejim Soeharto dan banyak berkisar sekitar masalah-masalah humaniter. Mengenai hubungan-hubungan di Perancis saya sebutkan nama-nama petugas CCFD, Cimade, France Terre d’Asile dan lain-lain yang memang ada hubungan dengan saya, dalam rangka pengurusan permintaan suaka politik. Tentang mengapa minta suaka politik di Perancis, jawab saya adalah klasik: Perancis terkenal sebagai negeri tempat suaka.

Karena itulah, maka saya berusaha betul-betul supaya dalam berbagai kegiatan sosial dan politik tidaklah melanggar peraturan atau hukum negeri ini. Kalau pun ada, janganlah sampai bersifat kriminil. Pada umumnya, prinsip ini bisa saya pegang terus, walaupun pada suatu hari, saya (bersama seorang teman Perancis) terpaksa dihadapkan ke sidang pengadilan Perancis karena suatu perkara. Namun, walaupun dihadapkan ke pengadilan, saya tidak pernah melihatnya sebagai suatu perkara kriminal, yang bisa menyebabkan rasa malu karena telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan sebaliknya, merasa bahwa apa yang saya lakukan adalah suatu tindakan politik dan

perikemanusiaan, yang harus saya lakukan, demi kebaikan. Ceritanya singkatnya adalah sebagai berikut:

Dalam tahun 1981, ada empat teman Indonesia (dua suami istri) yang perlu minta suaka politik ke Perancis. Mereka datang dengan pesawat terbang dari Peking.

Sudah kami atur sebelumnya (lewat surat-surat) supaya saya bisa menemui mereka di daerah transit internasional di bandar udara Zurich, untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Di bagian transit internasional bandar udara Zurich inilah kami tulis surat kepada pimpinan France Terre d’Asile (Dr De Wangen) bahwa keempat teman ini akan memasuki perbatasan Perancis untuk minta suaka politik. Dalam surat yang disusun selama berjam-jam itu dijelaskan sebab-sebab dan alasan mengapa harus minta suaka politik ke Perancis. Surat itu kemudian diposkan dengan express (kilat) di bandar udara itu juga.

Sebelumnya, dengan seorang teman Perancis, Lucien Jailloux, telah kami rencanakan bagaimana cara-cara memasukkan mereka melewati daerah perbatasan antara Jerman dan Perancis. Saya kenal tempat penerobosan ini (di dekat Forbach), karena dalam tahun-tahun sebelumnya, seorang teman Indonesia lainnya juga telah diteroboskan dengan bantuan seorang petugas partai PCF-ML. Ketika itu, karena pengalaman pertama, dan situasinya juga sulit (hujan salju lebat sekali), maka operasi penerobosan untuk teman Indonesia itu dilakukan dalam suasana yang tegang sekali. Singkatnya, setelah kami berlima bisa mendarat di lapangan terbang Dusseldorf, dan kemudian berhasil melewati perbatasan, maka dengan mobil Lucien Jailloux (yang datang khusus dari Paris untuk operasi penerobosan ini) kami memasuki daerah Perancis lebih jauh.

Tetapi, keti-ka keti-kami semua sudah gembira dengan keberha-silan itu, kami kepergok mobil patroli polisi. Kami ditangkap semua, dan diperiksa. Dalam pemeriksaan itu kami jelaskan, dengan berba-gai alasan dan p e n j e l a s a n , bahwa mereka berempat itu memasuki wilayah Perancis memang tanpa visa tetapi dengan tujuan untuk minta suaka politik. Sesudah polisi memeriksa saya dengan mengajukan macam-macam pertanyaan (pekerjaan saya di Kementerian Pertanian, alamat dan lain-lain) dan konsultasi dengan Procureur de la République (Jaksa Penuntut Umum) di daerah itu, maka keesokan harinya, mereka berempat dibolehkan meneruskan perjalanan ke Paris.

Di Paris mereka melapor kepada polisi dan France Terre d’Asile, untuk mengurus segala macam kertas-kertas yang diperlukan. Sudah tentu, mereka juga mengalami interogasi dari intel polisi (Renseignements Generaux), seperti halnya peminta suaka politik lainnya.

Beberapa bulan kemudian, berkat bantuan dari Mme Boisneau di France Terre d’Asile, mereka berempat mendapat kartu dari

OFPRA yang menyatakan bahwa mereka mendapat status sebagai pelarian politik di Perancis.

Setengah tahun kemudian, dalam bulan Desember 1981, saya dan Lucien Jailloux mendapat panggilan dari pengadilan Forbach (daerah perbatasan antara Jerman dan Perancis) untuk diadili, dengan alasan bahwa kami berdua telah melanggar hukum karena memasukkan orang-orang asing ke Perancis secara tidak sah. Untuk menghadapi persoalan ini, kami minta pembelaan dari seorang pengacara (advokat) yang banyak hubungannya dengan PCF (Partai Komunis Perancis). Dalam penjelasan di depan pengadilan, baik pengacara Perancis itu maupun saya sendiri, mengemukakan berbagai alasan politik dan humaniter dalam perkara ini.

Kami menekankan bahwa memasuki wilayah Perancis tanpa visa terlebih dulu dibolehkan, untuk minta suaka politik, berhubung dengan situasi di Indonesia. Akhirnya, kami berdua dibebaskan dari tuntutan. Teman-teman Indonesia yang berempat, yang juga ikut hadir dalam sidang pengadilan itu, juga tidak mendapat tuntutan apa-apa. Karena, mereka sudah mendapat kartu réfugié, beberapa bulan sebelum sidang pengadilan ini dilangsungkan. Ini adalah pengalaman saya yang pertama kali (dan satu-satunya) dihadapkan di depan pengadilan Perancis sebagai terdakwa. Tetapi bukan karena urusan kriminil, melainkan karena urusan yang berhubungan dengan politik dan perikemanusiaan. Karena itu, saya sedikit pun tidak merasa menyesal atau “kecil hati” mengenai kejadian ini, bahkan sebaliknya. Di samping itu, dengan kejadian ini maka rasa persahabatan kami dengan Lucien Jailloux dan teman-teman Perancis di France Terre d’Asile juga makin erat.

buntutnya. Beberapa waktu kemudian, saya masih menerima panggilan dari badan kepolisian yang cukup penting (Quai d’Orfevre). Dalam pemeriksaan ini mereka menjelaskan bahwa menurut informasi yang mereka kumpulkan selama ini, saya sudah mengurusi cukup banyak orang-orang Indonesia yang memasuki Perancis. Pertanyaan mereka ialah apakah saya menerima pembayaran untuk kegiatan itu. Dalam jawaban kepada polisi yang memeriksa, saya tekankan aspek politik dan humaniter dalam urusan-urusan itu, juga dengan menunjukkan tentang apa saja yang sudah saya lakukan selama ini.

Mungkin, karena mereka juga sudah mempunyai informasi lainnya mengenai saya, interogasi itu berhenti sampai di situ saja, dan saya tidak pernah mendapat gangguan lagi.

Meninggalkan Kementerian Pertanian