S
elama hari-hari pertama di Peking, saya dan teman-teman Indonesia lainnya, selalu dengan tekun mengikuti berita-berita mengenai tanah air, terutama lewat radio Voice of America, BBC, Radio Australia, radio NHK dll. Kami ikuti dengan sedih berbagai berita tentang penangkapan dan pembunuhan yang makin banyak dilakukan di mana-mana di seluruh tanah air, dan tindakan-tindakan lainnya oleh militer di bawah pimpinan Soeharto.Kami dengar bahwa akhir Oktober masih bisa juga diselenggarakan di Jakarta Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (yang sudah direncanakan sejak lama, di mana saya menjadi bendaharanya). Kemudian, kami mengetahui dari cerita-cerita berbagai kenalan yang menghadiri konferensi itu (antara lain Rewi Alley, orang Selandia Baru yang sudah puluhan tahun tinggal di Tiongkok dan Willy Harianja, teman Indonesia yang tadinya termasuk pimpinan SOBSI) tentang betapa tegangnya suasana selama konferensi, yang berlangsung di Hotel Indonesia. Konferensi internasional ini masih bisa dibuka oleh Presiden Soekarno, dalam keadaan yang sudah makin kacau, karena banyaknya penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI dan ormas.
Tidak lama kemudian terdengarlah berita bahwa para Sekretaris PWAA (waktu itu: Manuweera dari Srilanka, Chen Chuanpi dari Tiongkok, Aboukos dari Siria, Morrison dari Afrika
Selatan, Sugiyama dari Jepang) berpendapat bahwa dengan tindakan-tindakan penguasa militer terhadap sejumlah petugas sekretariat PWAA dan rekan-rekan wartawan Indonesia yang erat hubungannya dengan PWAA, maka situasi di Indonesia sudah tidak memungkinkan lagi bagi organisasi ini untuk menjalankan fungsinya seperti yang sudah-sudah. Sebab, secara garis besar, tujuan perjuangan PWAA adalah sejalan dengan -bahkan mendukung aktif - politik Presiden Soekarno. Namun, sekarang Presiden Soekarno mengalami berbagai kesulitan.
Satu demi satu mereka meninggalkan Jakarta, dan ada yang langsung menuju Tiongkok (Sugiyama, bersama istri dan anaknya). Pegawai-pegawai sekretariat berusaha menghilang untuk menyelamatkan diri dari penangkapan. Setelah Chen Chuanpi (wakil Tiongkok di Sekretariat) juga meninggalkan Jakarta dan kembali ke Peking, ia lebih jelas menceritakan kepada kami semua kejadian-kejadian yang menyangkut Sekretariat PWAA.
Pada waktu itulah ia menyerahkan sebuah foto kedua anak laki-laki kami yang waktu itu masih memakai celana pendek (Iwan umur empat tahun, dan Budi umur satu tahun lebih).
Ketika menulis bagian tulisan ini, saya tanyakan kepada istri bagaimana asal-usul foto yang saya terima di Peking itu, ia menceritakan yang berikut: Sekretaris PWAA dari Jepang, Sugiyama, ketika bertemu dengan istri di Wisma Warta mengatakan bahwa ia beserta istri dan anaknya akan meninggalkan Jakarta. Sugiyama bertanya apakah ada foto dua anak kami, karena ia nantinya akan bisa meneruskannya kepada saya. Kemudian ia tidak bertemu lagi dengan Sugiyama, tetapi dengan seorang Tiongkok (penterjemah bahasa Inggris di PWAA) yang mengatakan supaya foto itu diserahkan kepada
kantor-berita Xinhua di Jalan Tanah Abang Bukit. Akhirnya, sampai jugalah foto itu di Peking, yang kemudian menjadi simpanan saya yang berharga selama bermukim di Tiongkok.
Setelah para sekretaris luar negeri PWAA meninggalkan Jakarta, dan situasi makin menunjukkan bahwa Sekretariat PWAA tidak dapat dipertahankan lagi di Indonesia yang mengalami perobahan besar-besaran, maka kami bicarakan dengan Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok untuk memindahkannya ke negeri lain. Pernah ada pikiran untuk memindahkannya ke Pnompenh (Kamboja). Ternyata bahwa pikiran ini dianggap tidak ideal. Kemudian diusulkan untuk dipindah ke Peking saja. Sebabnya, antara lain, ialah adanya Djawoto di Peking. Ia adalah Sekjen PWAA yang diangkat oleh KWAA tahun 1963. Namun, kemudian ia diangkat oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Duta Besar RI di Peking. Sejak itu, kedudukan Sekjen PWAA digantikan oleh Joesoef Isak.
Dengan perspektif ini, dan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya, Djawoto menanggalkan jabatannya sebagai Duta Besar RI, dan tidak mau memenuhi perintah Kementerian Luar Negeri untuk kembali ke Jakarta. Beberapa bulan kemudian, diselenggarakanlah konferensi pleno Sekretariat PWAA (sebelas negeri Asia-Afrika) di Peking. Dalam konferensi ini telah diambil berbagai keputusan, antara lain meresmikan kembali Djawoto sebagai Sekjen, dan juga pindahnya Sekretariat ke Peking. Waktu itulah saya ditetapkan sebagai Kepala Kantor Sekretariat PWAA.
Pekerjaan sebagai Kepala Kantor Sekretariat, di bawah pimpinan Sekjen, bermacam-macam: mengatur rapat-rapat, mengkoordinasi pekerjaan sekretariat, ikut mengurusi kebutuhan kehidupan sekretaris-sekretaris (Manuweera, Aboukos,
Sugiyama, Morrison dan Gora Ibrahim dari Afrika Selatan, Kajunjumele dari Tanzania), bertindak sebagai master of ceremony dalam pertemuan-pertemuan penting yang diselenggarakan oleh PWAA. Dalam hal ini, saya lama sekali bekerja sama dengan Yang Yi, sekretaris Tiongkok yang pernah bekerja di kantor PWAA di Jakarta beberapa tahun.
Kantor Sekretariat PWAA mula-mula diadakan di Hotel Peking yang terletak tidak jauh dari Tian An Men. Kami mula-mula juga tinggal di Hotel ini selama beberapa tahun. Akhirnya di pindah di Chiaotaokou, di suatu kompleks di mana tinggal juga para sekretaris luar negeri PWAA.
Penghidupan kami termasuk istimewa waktu itu. Seperti halnya gaji expert asing lainnya (umpamanya: Anna Louis Strong dari Amerika, Muller dari Jerman, Israel Epstein dari Amerika, Rewy Alley dari Selandia Baru dll), gaji kami amat besar waktu itu, bahkan jauh lebih besar dari menteri-menteri Tiongkok. Gaji saya 550 Yuan, demikian juga Soepeno. Djawoto mendapat gaji sekitar 700 Yuan (untuk sekedar perbandingan, waktu itu gaji resmi Mao Tsetong adalah sekitar 350 Yuan dan Perdana Menteri Chou Enlai sekitar 300 Yuan).
Kepindahan PWAA ke Peking yang disebabkan perobahan besar situasi di Indonesia, telah mendorong organisasi internasional ini untuk menjadi penentang Orde Baru-nya Soeharto, sambil terus menggalang solidaritas perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika dan Asia dalam menentang imperialisme dan neo-kolonialisme. Namun, karena seluruh Tiongkok sedang dilanda oleh Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP), yang menimbulkan beraneka-ragam ekses, maka kegiatan-kegiatan PWAA ini juga mengalami berbagai hambatan atau kesulitan. Di samping itu, PWAA telah kehilangan sumber inspirasinya atau
motor-spiritualnya yang utama, yaitu Bung Karno dan Konferensi Bandung. Karena, Bung Karno telah dilikwidasi oleh Soeharto dan pendukung-pendukungnya.