P
ada suatu waktu saya kembali ke rumah bapak ibu di Nganjuk. Pekerjaan bapak sebagai guru waktu itu sudah pindah, dari desa Karangsemi ke dalam kota Nganjuk, di salah satu SMP. Keadaan ekonomi secara keseluruhan waktu itu sulit. Demikian juga halnya rumah tangga bapak ibu. Karena, bapak ibu terpaksa menerima dua kemenakan jauh yang sudah ditinggalkan bapak ibu mereka (karena meninggal). Adik-adik juga memerlukan biaya sekolah dan lain-lain keperluan. Terasa sekali, melihat cara berpakaian bapak ibu dan makanan sehari-hari di rumah, bahwa keadaan sulit sekali.Pada suatu hari, saya melihat pemandangan menyedihkan yang menggugah hati. Kutang ibu kelihatan robek-robek. Ia mengatakan bahwa untuk membikin kutang yang baru sangat sulit waktu itu. Saya menangis, dia juga, di depan bapak. Saya tidak bicara banyak, tetapi di dalam hati sudah bertekad bahwa saya harus mandiri, dan jangan jadi beban lagi. Ini berarti bahwa saya tidak akan meneruskan sekolah ke Jogya lagi, dan harus mencari jalan untuk hidup sendiri.
Entah bagaimanapun. Tetapi, kerja apa? (Umur saya waktu itu sudah sembilan belas tahun). Saya meninggalkan Nganjuk, kemudian ke Blitar, ke rumah nenek di Pasarlawas. Di sini keadaan juga sama saja, bahkan lebih sulit lagi. Ini terjadi kira-kira pertengahan 1947, ketika terjadi aksi polisionil ke-I dari Tentara Belanda. Blitar masih belum diduduki, tetapi orang sudah banyak yang menduga bahwa itu akan terjadi tidak lama lagi. Kemudian
dengan bersepeda pergi ke rumah nenek - dari keluarga ibu - di Tumpang (dekat Malang), tempat berkumpul banyak paman-paman dan saudara-saudara, yang datang mengungsi dari mana-mana. (rumah nenek di Tumpang cukup besar). Di situlah saya mendengar bahwa istri salah satu paman sedang dirawat di rumah sakit Malang, ketika Malang diserang dan diduduki Tentara Belanda. Seluruh keluarga Tumpang sangat khawatir tentang keadaan bulik (ibu-cilik, tante) saya ini.
Saya menawarkan diri untuk mengambil bulik dari rumah sakit Malang untuk dibawa ke Tumpang. Banyak orang yang tidak setuju. Karena bapak ibu saya termasuk dihormati oleh keluarga Tumpang, dan saya termasuk anak yang disayangi oleh keluarga besar pihak ibu. Karena itu, mereka tidak rela jika terjadi apa-apa atas diri saya.
Tekad saya untuk menyelamatkan bulik besar sekali waktu itu. Dengan sepeda, saya lewati kota-kota kecil dan desa menuju Malang, antara lain Pakis, Wendit, Blimbing. Makin dekat dengan kota Malang makin banyak penjagaan pos Tentara Belanda. Entah karena saya dianggap masih kecil, atau tidak mempunyai gaya dan wajah sebagai pemberontak, maka bisa saja saya melewati pos-pos Belanda ini, dengan kadang-kadang mengambil jalan kecil-kecil dan melingkar. Akhirnya, saya bisa membawa bulik, dengan susah payah, ke Tumpang. Saya masih ingat bahwa kejadian ini merupakan peristiwa penting untuk keluarga Tumpang waktu itu. Saya dianggap pahlawan oleh mereka. Apakah “nyawa ekstra” yang saya dapat dari pertempuran Surabaya ada perannya di sini? Entahlah.
Kemauan untuk mandiri dan jangan jadi beban bapak ibu dalam situasi ekonomi yang sulit waktu itu telah mendorong saya untuk mencari pekerjaan di Malang, yang baru saja diduduki
Tentara Belanda. Situasi pemerintahan yang masih kacau waktu itu memungkinkan saya untuk dengan mudah mendapat pekerjaan sebagai guru sekolah rakyat. Waktu itu, sekolah-sekolah baru dibuka kembali, dan terdapat kekurangan tenaga guru. Karena itu, ketika saya mendaftarkan diri di kantor pendidikan, dengan mudah saya diterima.
Mulailah sejak itu (mulai umur sembilan belas tahun), saya hidup untuk pertama kali dengan mendapat gaji sendiri, dengan mengajar di sekolah rakyat di Bandarangin (dekat sektor kota Malang yang indah, yang waktu itu dikenal sebagai Bergenbuurt, daerah gunung). Mula-mula mengajar di kelas dua, untuk anak-anak kecil. Kemudian mengajar ilmu bumi di kelas 5. Saya senang dengan tugas yang baru ini. Karena dengan anak-anak yang sudah agak besar, saya dapat bercerita tentang berbagai kota di Jawa dan Sumatera, dengan pengetahuan atau pengalaman yang sudah saya alami (harap ingat cerita tentang kotak kaleng yang disodorkan di sepanjang jalan kereta api Surabaya-Semarang-Jakarta-Bandung-Jogya, dan perjalanan ke Sumatera).
Mengajar di Sekolah Rakyat di Bandarangin itu tidak lama, kira-kira hanya enam bulan. Karena ada pertentangan pendapat dengan kepala sekolah, saya minta berhenti. Ia tidak setuju dengan cara saya mengajar murid-murid yang dianggap terlalu bebas dan ada bau-baunya perjuangan. (Rupanya pengaruh belajar di Taman Madya ada juga). Setelah berhenti, saya pindah ke Surabaya, untuk mencari pekerjaan baru.
Selama bekerja di Malang dan Surabaya, di daerah pendudukan Belanda, dengan sendirinya saya terpisah dari suasana perjuangan di daerah RI. Pada waktu itu terjadi berbagai peristiwa penting bagi sejarah Indonesia, antara lain:
Linggajati di Istana Rijswijk di Jakarta (sekarang Istana Merdeka), antara delegasi Indonesia (Sutan Sjahrir, Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani) dan delegasi Belanda (Schermerhorn, Van Mook dll).
Pada tanggal 4 Mei 1947, Negara Pasundan diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa, yang oleh Belanda disokong menjadi Presidennya. Di Kalimantan Barat, Van Mook mendudukkan Sultan Pontianak Hamid Algadri II sebagai Kepala Daerah Istimewa Borneo Barat.
Sementara itu, pada tanggal 5 Mei 1947, pemerintah RI memutuskan untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjata rakyat. Waktu itu, di samping Tentera Rakyat Indonesia (TRI) terdapat laskar-laskar rakyat yang macam-macam. Kekuatan-kekuatan bersenjata ini akhirnya dilebur menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 3 Juni 1947.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan besar-besaran dan serentak terhadap daerah-daerah RI. Di pulau Jawa Belanda mengerahkan tiga divisi dengan perlengkapan perang yang modern. Di Jawa Timur dikerahkan satu divisi. Serangan Belanda ini dinamakan Aksi Militer Belanda Pertama.