• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pekerjaan di suratkabar EKONOMI NASIONAL

S

etelah mengalami masa-masa yang sulit dan mengandung berbagai risiko di Padang, maka periode ketika bekerja sebagai Pemimpin Redaksi harian Ekonomi Nasional di Jakarta adalah periode yang padat, dan mencakup berbagai peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan saya selanjutnya.

Mula-mula, suratkabar Ekonomi Nasional dicetak di percetakan tua “Pemandangan” yang terletak di dekat Pasar Senen. Koran ini hanya empat halaman, seperti halnya kebanyakan suratkabar pada waktu itu, dan staf redaksinya hanya beberapa orang. Pemimpin Umumnya adalah Suleiman Sutadiredja. Kami bekerja keras untuk memajukan suratkabar ini dalam kondisi yang sulit. Karena percetakan tua, jadi hasil cetakannya juga kurang baik. Di samping itu, ada problim keuangan. Saya selalu kerja malam dan sering pulang pagi.

Lebih dari satu tahun kami bertahan terus. Akhirnya ditemukanlah jalan untuk keluar dari kesulitan ini. Suratkabar

Ekonomi Nasional kemudian tergabung dalam grup Suryapraba/ Wartabhakti. Sejak itu, suratkabar ini dicetak juga dalam

percetakan yang termasuk modern waktu itu, yang terletak di Jalan Asemka (Kota). Iklan bertambah, demikian juga oplahnya. Kemudian staf redaksi kami bertambah juga, antara lain dengan masuknya Kadi N. Arif dan Chris Hutabarat. Ekonomi Nasional adalah koran sore, dan dicetak jam satu siang. Kami mulai bekerja pagi sekali (jam tujuh).

Suratkabar ini dilarang terbit beberapa hari setelah terjadinya G30S. Waktu itu saya ada di Aljazair.

Kepindahan ke Jakarta ini kami beritahukan juga kepada bapak ibu di Blitar. Dan supaya bapak ibu bisa mengikuti pekerjaan saya, maka kepadanya dikirimkan koran setiap hari. Ini juga merupakan salah satu cara untuk membikin senang hati mereka. Dalam tahun ini jugalah lahir Iwan, di klinik Dr Suharto di Jalan Kramat Raya. Saya masih ingat ketika mengantar istri dengan becak, ketika ia merasa sudah dekat melahirkan. Waktu itu, kami tinggal di jalan kecil di Kepu Selatan (dekat Pasar Senen), di satu rumah yang dikontrak beberapa tahun. Bersama kami juga tinggal bapak ibu mertua dan adik-adik. Gaji saya waktu itu tidaklah begitu besar, dan kehidupan sehari-hari kami sederhana saja.

Antara 13-16 Agustus tahun 1963 diselenggarakan Kongres ke-II PWI seluruh Indonesia di Jakarta, yang melahirkan Pengurus Pusat PWI yang baru. Dalam komposisi yang baru ini telah

terpilih Karim D.P. (sebagai Ketua Umum), Mahbub Djunaedi Soepeno dan Soewarno (Ketua), Satyagraha (Sekjen) dan saya sebagai Bendahara. Kompo-sisi kepengurusan yang demikian itu adalah sebagai manifestasi penerapan poli-tik Bung Karno, yang waktu itu menganjurkan pengga-langan kekuatan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komu-nis), termasuk di bidang pers (media massa).

Sejak menjadi Pemimpin Redaksi Ekonomi Nasional inilah saya mulai sering ke luar negeri. Saya sering sekali, secara berturut-turut, men-dapat undangan untuk menghadiri berbagai

International Fairs (Leipzig di

RDD, Brno di Cekoslowakia, Plovdiv di Bulgaria, Poznan di Polandia) atau undangan-undangan lainnya. Umpama-nya, pernah diundang oleh Kementerian Luar Negeri Inggris untuk mengunjungi

Inggris, dan kemudian juga Jerman Barat, dan Belgia. Pernah terjadi bahwa dalam satu tahun saya pergi keluar negeri tiga kali.

Ketika anak laki-laki yang pertama sudah agak besar, istri bekerja di bagian iklan di Wartabhakti. Ini berjalan hampir dua tahun. Mula-mula, ia sering saya bonceng dengan scooter (merknya “Rabbit”). Kemudian ia dijemput dengan mobil pegawai. Saya sering meng-ajaknya menghadiri ber-bagai peristiwa penting (resepsi-resepsi di berbagai kedutaan, acara-acara di Istana Negara dan Istana Bogor, pengumpulan dana KWAA dan lain-lain).

Kemudian, pekerjaan di

Ekonomi Nasional ini juga saya

rangkap sebagai pimpinan majalah ekonomi

Pemba-ngunan, yang berkantor di

Jalan Kebon Sirih. Karena saya juga merangkap jabatan bendahara PWAA, maka

kesibukan sangat padat sekali. Sebab, boleh dikatakan setiap hari saya harus bekerja di tiga kantor: Ekonomi Nasional, PWI Pusat dan PWAA. Beberapa hari sekali saya mengunjungi juga kantor majalah Pembangunan. Di samping itu juga bertugas, seminggu sekali, mengajar di Akademi Jurnalistik “Abdul Rifai.” Scooter Rabbit itu (buatan Jepang) sangat membantu pekerjaan yang sibuk sekali setiap harinya.

Selama bekerja di Ekonomi Nasional saya juga pernah -bersama-sama Karim D.P. (Wartabhakti), Mahbub Djunaedi (Duta

Masyarakat), Suhardi (Sulindo) - mengikuti perjalanan Presiden

Sukarno, dalam tahun 1962, ke Manila, Pnompenh dan Tokio. Kunjungan kenegaraan ke Manila dan Pnompenh itu mendapat sambutan hangat. Di Istana Malacanang, Presiden D. Macapagal mengadakan resepsi besar-besaran, setelah pembicaraan kedua kepala negara tentang Maphilindo selesai (Maphilindo: gagasan kerjasama antara Malaysia, Philipina dan Indonesia, dalam bidang politik dan ekonomi). Di Pnompenhlah kami menyaksikan betapa Pangeran Norodom Sihanouk waktu itu menunjukkan penghargaan atau hormatnya yang amat tinggi kepada Presiden Soekarno. Anggota-anggota rombongan - termasuk para wartawan - mendapat tanda kehormatan dari Ratu Kosamak (ibu Pangeran Sihanouk) berupa medali mas.

Saya bekerja di harian Ekonomi Nasional dalam situasi politik dalam negeri yang mengalami perobahan-perobahan besar. Untuk menghadapi situasi tidak stabil yang disebabkan oleh sistim demokrasi liberal dan terancamnya persatuan dan kesatuan bangsa, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD-S(ementara). Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal

dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) kemudian dijadikan oleh MPRS sebagai Haluan Negara. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk kabinet yang dipimpinnya sendiri. Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perancang Nasional dibentuk, dengan anggota-anggotanya ditunjuk oleh Presiden. Menurut UUD 1945, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada MPRS, sebagai ganti Konstituante. Sejak itulah berlaku di Indonesia sistim Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1960 DPR hasil pemilihan umum dinyatakan bubar dan dibentuklah DPR Gotong Royong. Dalam DPRGR ini ketiga partai terbesar PNI, NU dan PKI mendapat suara yang terbanyak, yang kemudian oleh Presiden Soekarno disebut sebagai kekuatan golongan Nasakom.