• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ke luar negeri untuk pertama kali

P

ekerjaan sebagai wartawan di suratkabar Indonesia Raja ini menyebabkan terjalinnya hubungan dengan berbagai orang dari macam-macam golongan atau organisasi di Jakarta. Hubungan-hubungan ini kadang-kadang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan saya sebagai wartawan. Umpamanya, pernah saya diminta untuk membantu pekerjaan P4S (Panitia Persiapan Pesta Pemuda Sedunia), yang berkantor di kantor Perbepbsi (Persatuan Bekas Pejuang Bersenjata Seluruh Indonesia) di Jakarta. Waktu itu, P4S dipimpin oleh Francisca Fangiday. Ketika Pesindo mengadakan kongresnya (yang terakhir) untuk dilebur menjadi Pemuda Rakjat, saya juga diminta untuk memberi bantuan. Kongres ini diadakan di gedung Miss Tjitjih di Jalan Kramat. Beberapa malam saya ikut membantu menstensil bahan-bahan Kongres.

Dalam tahun 1953, di Wina diselenggarakan Konferensi Internasional Hak-Hak Pemuda. Konferensi internasional ini juga mengharapkan dikirimkannya suatu delegasi dari Indonesia untuk menghadirinya. Maka disusunlah nama-nama anggota delegasi Indonesia yang terdiri dari lima orang, antara lain dari bekas Pesindo, Perbepbsi, dan organisasi pemuda Murba. Saya waktu itu mewakili wartawan muda.

Kunjungan ke Wina ini tidak dalam kedudukan saya sebagai wartawan Indonesia Raja. Sebab, ketika minta cuti (tanpa gaji) kepada pemimpin redaksi (Mochtar Lubis) dengan menjelaskan bahwa saya akan menghadiri konferensi internasional di Wina

itu, ia menegaskan penolakannya. Alasannya ialah bahwa Konferensi itu adalah konferensi komunis. Ia juga menekankan bahwa kata-kata “Indonesia Raja” dalam paspor (yang saya dapat dari kantor imigrasi Jakarta) haruslah dicabut.

Karena sikapnya yang demikian itu, maka saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Indonesia Raja. Bagi saya, konferensi di Wina itu penting sekali, dan karenanya haruslah dicari segala jalan untuk bisa menghadirinya. Oleh karena itu, ketika Panitia (Indonesia) menyatakan bahwa keuangannya sempit sekali, maka saya berusaha mencari dana sendiri untuk biaya tiket pesawat terbang ke Wina itu. Untuk dapat membeli tiket pesawat terbang, saya mengadakan semacam kontrak (perjanjian) dengan pimpinan redaksi suratkabar Sin Po (yang kemudian menjadi

Wartabhakti) bahwa akan menulis sejumlah artikel mengenai

perjalanan ke luar negeri itu. Artikel-artikel tentang perjalanan ke luar negeri itu kemudian dimuat oleh Sin Po secara berturut-turut dalam tahun 1953 itu juga.

Maka berangkatlah rombongan lima orang ini dengan pesawat KLM menuju Wina. Waktu itu pesawat KLM jarak jauh masih memakai baling-baling, dan untuk pergi ke Wina perlu memakan waktu empat hari, dengan menginap di Bangkok, Calcutta, Kairo dan Zurich. Selama di Konferensi di Wina saya bertindak juga sebagai jurubahasa rombongan, karena penguasaan bahasa Inggris saya yang baik.

Konferensi internasional di Wina ini diadakan ketika di banyak bagian kota masih kelihatan gedung-gedung yang hancur karena Perang Dunia ke-II, walaupun perang sudah selesai delapan tahun.

Tanda-tanda atau sisa-sisa perang lainnya juga masih banyak. Ini adalah perjalanan saya ke Eropa yang pertama kali,

juga bagi anggota-anggota rombongan lainnya. Kami semuanya waktu itu tidak punya uang valuta asing yang cukup. Karenanya, ketika menginap di hotel di Zurich, kami hanya minum air saja. Dan ketika kami menuju Wina dengan kereta api, kami kelaparan semuanya.

Untunglah setelah tiba di stasiun Wina, kami segera diajak masuk restoran oleh panitia. Konferensi di Wina berlangsung beberapa hari. Setelah konferensi selesai, kami diberi kesempatan untuk beristirahat beberapa hari di suatu tempat peristirahatan yang namanya Semmering. Di sinilah saya buat artikel-artikel mengenai konferensi dan cerita perjalanan lainnya, yang kemudian dimuat oleh Sin Po. (Ketika saya kembali ke Jakarta, saya senang mendengar dari orang-orang yang memberikan pujian setelah membaca tulisan-tulisan saya itu). Kemudian, sebagian dari rombongan ini kembali ke Indonesia, sedangkan saya dengan seorang teman lagi (Suryono Hamzah) pergi ke Bukares.

Di Bukares kami disambut oleh Panitia Persiapan Festival Pemuda Sedunia. Di situ dibicarakan tentang persiapan turut sertanya delegasi Indonesia dalam Festival di Bukares itu. (Delegasi Indonesia terdiri dari beberapa puluh orang). Setelah Bukares, kami kembali ke Indonesia lewat Tiongkok. Perjalanan itu kami tempuh dengan kereta api. Mulamula Bukares -Moskow, dan kemudian Moskow - Peking dengan kereta api Transiberia. Bukan main lamanya naik kereta api ini. Ingat saya, kami memerlukan lima-enam hari untuk melewati Siberia menuju Irkutsk.

Setiba kami di Peking, kami menjadi tamu Liga Pemuda Komunis Tiongkok, dan diterima oleh Wu Xuechien (yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri dalam tahun 90-an )

beserta istrinya Pi Ling. Inilah perkenalan saya pertama kalinya dengan Tiongkok. Waktu itu, lapangan Tian An Men masih kecil sekali. Suasana kemenangan revolusi Tiongkok masih terasa di mana-mana. Sebab berdirinya Republik Rakyat Tiongkok baru diproklamasikan empat tahun sebelum kami datang ke Peking. Selama di Peking kami ikut serta dalam berbagai acara. Gabungan Pemuda Se-Tiongkok waktu itu sedang mempersiapkan Kongres mereka yang pertama.

Banyak dari apa yang saya lihat di Tiongkok waktu itu merupakan hal yang baru bagi saya. Kejujuran orang dalam jual-beli, kerelaan orang untuk bekerja bakti dan keramahtamahan pada tamu asing, dan kehangatan pada kami yang datang dari Indonesia. Ketika kami hendak kembali ke Indonesia, ada dua orang pemuda-pemudi yang ditugaskan khusus untuk menemani kami selama perjalanan kereta api Peking - Kanton - Lowu yang memakan lima hari. Waktu itu, kalau makan di wagon-restoran, penumpang-penumpang hanya membayar lauk saja, nasinya gratis.

Dari Kanton kami menyeberangi jembatan Lowu untuk memasuki Hongkong, yang terasa sekali sebagai “dunia yang lain” waktu itu. Kapal KPM yang bernama Tjiluwah-lah yang membawa kami kembali ke Indonesia dari Hongkong. Di kapal ini kami bertemu dengan seorang Indonesia, yang juga baru mengunjungi Tiongkok, tetapi untuk jangka waktu yang agak lama. Namanya Asmu, yang kemudian menjadi pimpinan BTI (Barisan Tani Indonesia), dan “hilang” tidak tentu rimbanya, sebagai akibat pembantaian besar-besaran dalam tahun 1965-1966 oleh aparat-aparat militer Soeharto.