A
da seorang teman yang tinggal di Ngrajeg, tidak jauh dari Karangsemi. Umurnya satu tahun atau dua tahun lebih tua dari saya. Waktu itu (bulan-bulan September-Oktober tahun 1945) dia mengajak saya untuk mengumpulkan dana untuk perjoangan. Ia mempunyai pistol colt dengan sejumlah peluru. Salah satu idenya: mengumpulkan sumbangan dari penumpang-penumpang kereta api jurusan Kediri-Kertosono-Surabaya. Untuk itu, dibuatlah sebuah kotak dari kaleng, yang ditandai “Untuk perjuangan,” dan diberi gembok.Selama sebulan lebih kami berdua menjelajahi sepanjang jalan kereta api untuk menyodorkan kotak kaleng ini kepada penumpang-penumpang. Suasana revolusi dan semangat perjuangan berkobar-kobar di mana-mana, dan di mana-mana banyaklah orang yang mau memberi sumbangan. Hasilnya tidak banyak yang bisa kami serahkan kepada badan perjuangan setempat waktu itu, tetapi kami berdua dapat menjelajahi berbagai kota, dan menyaksikan suasana revolusi waktu itu. Dengan cara begini, kami berdua dapat mengelilingi sebagian dari pulau Jawa lewat jalan kereta api Utara dan Selatan. Kalau malam, kami menginap di wagon kereta api (waktu itu masih
dibolehkan) di setasiun terakhir. Ini merupakan perjalanan jauh yang pertama kali saya lakukan. Pengenalan berbagai daerah yang sedang berjuang itu juga mempengaruhi pikiran-pikiran saya selanjutnya.
Sejak itu, saya sudah mulai jarang pulang ke Karangsemi. Waktu itu, rumah Karangsemi banyak saudara bapak ibu yang secara bergiliran tinggal untuk sementara. Ada yang untuk mengungsi dari Surabaya, karena situasi tidak menentu. Sementara itu, saya selalu mondar-mandir Kediri-Blitar- Malang-Surabaya. Kalau ke Surabaya, saya menginap di rumah saudara jauh bapak saya, yang mendiami rumah kecil di dekat setasiun Gubeng Kuburan.
Selama masa-masa inilah kami mengunjungi markas BPRI (Barisan Pembrontakan Rakyat Indonesia), yang waktu itu penuh dengan pemuda-pemuda yang menyandang senapan atau pestol dan mengenakan pita (ikat kepala) Merah Putih di kepala mereka. Sekembali dari Surabaya, seorang teman sekolah di SMP Kediri mengatakan kepada saya bahwa ada utusan dari organisasi pemuda di Jakarta (Angkatan Muda Indonesia) yang membawa tugas dari Kepala Polisi Negara (Kementerian Dalam Negeri) untuk mengirimkan ke Sumatera satu rombongan pemuda dari daerah-daerah yang sedang bergolak di pulau Jawa.
Tugasnya ialah untuk membantu pengobaran semangat revolusi di Sumatera yang waktu itu juga sudah bergolak di berbagai tempat. Tentu saja, dalam suasana waktu itu kami dengan gembira menerima tawaran itu. Pertempuran-pertempuran di Surabaya yang saya saksikan dari dekat, dan perjalanan sepanjang jalan kereta api di pulau Jawa, merupakan persiapan yang baik bagi saya untuk menjalankan misi ke Sumatera ini.
Dua orang pemuda dari Kediri ini (saya dan Gatot Iskandar) kemudian menuju ke Jakarta, yang waktu itu masih dikuasai oleh Tentara Sekutu. Setelah tinggal di Sawah Besar beberapa hari, maka rombongan yang terdiri dari belasan orang ini meninggalkan Pasar Ikan dengan kapal kecil bermotor menuju Lampung. Di antara belasan orang ini terdapat Rivai Apin (yang kemudian terkenal sebagai penyair). Tetapi, tidak jauh dari pantai Utara, mesin kapal bermotor ini mengalami kerusakan. Kapal ini lama sekali terombang-ambing oleh gelombang yang cukup besar. Jangkar yang dilepaskan putus. (Dari pengalaman itulah, rupanya, lahir sajak Rivai Apin (almarhum) yang berjudul “Jangkar Putus”).
Kami terpaksa meneruskan perjalanan ke Sumatra, dengan susah payah, lewat darat dengan menerobos Banten. Daerah Banten waktu itu juga sedang dilanda suasana revolusi 17 Agustus. Rombongan kami menginap di gedung Keresidenan Banten di kota Serang dan diterima dengan hangat oleh Residen Banten waktu itu, Kyai Haji Chatib. Setelah beberapa hari mengaso di rumah Residen Banten, kami meneruskan perjalanan ke Lampung lewat Merak. Dengan perahu layar yang kecil, kami melewati Selat Sunda dan mendarat di Labuhan.
Mulailah dari sini perjalanan kami selama sebulan lebih di Sumatera. Rombongan yang belasan orang ini dibagi menjadi tiga bagian, untuk Sumatera Selatan, Sumatera Tengah dan Sumatera Utara. Saya mendapat bagian Sumatera Selatan dengan beberapa orang. Di mana-mana kami disambut baik di berbagai kota, terutama oleh bupati-bupati atau kepala-kepala kota kecil, antara lain: Teluk Betung, Kotabumi, Lubuk Linggau, Kertapati, Bukit Asam, dan berbagai kota atau distrik kecil lainnya di Lampung dan Sumatera Selatan. Waktu itu kami diberi “kartu
tugas” yang berwarna Merah-Putih dan ditandatangani oleh Kepala Polisi Negara S. Sukanto atas nama Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Kartu tugas ini “ampuh” sekali waktu itu untuk mendapat berbagai bantuan atau fasilitas.
Inilah perkenalan pertama saya dengan Sumatera. Perjalanan selama sebulan lebih ini kami lakukan dengan kereta api, bus atau truk. Makan, tempat penginapan dan uang saku tidak menjadi persoalan. Suasana revolusi yang juga melanda Sumatera Selatan (dan Lampung) waktu itu dengan hangat menyambut kedatangan rombongan pemuda dari Jawa. Mereka dengar, dari radio atau lewat saluran-saluran lainnya, tentang suasana revolusi di Jawa, tentang pertempuran-pertempuran di Surabaya, di Jawa Barat dan di berbagai daerah lainnya.
Setiba kami di kota Palembang, kami menginap beberapa hari di rumah Dr. A.K. Gani, yang waktu itu juga sering penuh dengan anak-anak muda. Kota Palembang waktu itu baru saja mengalami bentrokan-bentrokan senjata dengan pihak Tentara Sekutu (sebenarnya tentara Belanda). Saya masih ingat bagaimana kagum saya terhadap seorang staf Dr. A.K. Gani, yang dengan fasih menggunakan bahasa Inggris ketika berbicara lewat telepon dengan perwakilan Tentara Sekutu. Kesan ini mempunyai pengaruh yang besar dalam jalan hidup saya di kemudian hari.