• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa remaja di Kediri

K

ediri merupakan bagian dari hidup yang penting bagi saya. Karena berbagai hal, yang antara lain seperti yang diuraikan di bawah ini. Selama sekolah di SMP mulai tahun 1942 (Chugakkoo, dalam bahasa Jepangnya ), usia saya menginjak remaja.

Untuk memasuki SMP ini, juga kali ini, bapak mengantar saya untuk dipondokkan kepada guru Muhammadiyah Kediri, yang kemudian menjadi guru di SMP Kediri. Namanya Masadjar. Ia adalah anak seorang guru yang tinggal di Malang, teman bapak saya. Mondok di rumah pak Masadjar ini membuka hati saya kepada berbagai hal. Dia adalah pendidikan HKS (Hollandsche

Kweekschool, semacam Sekolah Guru Atas) di Bandung. Ia adalah

bujangan tua, mempunyai langgam hidup yang rapih, berdisiplin, dan disenangi oleh murid-murid.

Ketika ia tahu bahwa saya tidak makan daging, maka ia membuka diri bahwa ia juga vegetarier (vegetarian) dan bahwa ketika sekolah di HKS ia sudah tertarik kepada Theosofie. Ia sering bercerita tentang loge Theosofie di Bandung, tentang gurunya (orang Belanda) yang theosoof juga, tentang tokoh-tokoh Theosofie yang terkenal seperti Dr. Annie Besant, Blavatsky, Krishnamurti. Banyak buku-buku karangan mereka ini (dalam bahasa Belanda) menjadi bacaan saya. Saya mulai melakukan samadi (kontemplasi dan konsentrasi) dan menaruh perhatian kepada masalah-masalah kebatinan.

bicara-bicara tentang masalah-masalah yang menyangkut pergerakan kebangsaan. Perlakuannya terhadap saya sangat baik, dan menganggap seperti adiknya sendiri saja. Mungkin ini disebabkan oleh hubungan antara bapaknya dan bapak saya. Kehidupan saya sebagai anak sekolah yang “mondok” di rumah gurunya, dengan sendirinya berjalan amat teratur.

Selama belajar di SMP Kediri inilah saya rajin belajar bahasa Jepang. Karena, sejak belajar di kelas terakhir di Sekolah Rakyat di Nganjuk, saya sudah tertarik kepada bahasa ini. Di Sekolah Rakyat inilah saya mengenal huruf Jepang Katakana dan kemudian

Hiragana. Ada nyanyian-nyanyian Jepang yang saya sukai waktu

itu, dan yang sampai lama sekali masih saya ingat (bahkan sampai sekarang, lima puluh tahun kemudian!).

Kemajuan saya dalam belajar bahasa Jepang sangat menonjol di SMP Kediri. Karenanya, saya pernah menjadi juara bahasa Jepang untuk Kediri-Syuu (Keresidenan Kediri). Bantuan guru bahasa Jepang di SMP ini, yaitu pak Suwandi Tjitrowasito, besar sekali. Saya sering sekali ke rumahnya. Atas pengaturannyalah saya sering diundang ke rumah opsir-opsir Jepang yang bertugas di bidang sipil (orang-orang Jepang yang memakai tanda bunga Sakura), untuk berbicara dalam bahasa Jepang.

Waktu itu, idaman saya ialah menjadi jurubahasa. Karena itu saya belajar hanashikata (cara berbicara) dan chujuri-kata (cara mengarang). Di samping itu, entah berapa huruf Jepang (Hon-ji) telah saya hafal waktu itu. Begitulah, masa-masa di SMP Kediri saya lalui, sampai kelas tiga. Sementara itu, di SMP Kediri juga diajarkan olahraga yang mirip latihan perang-perangan (kyooren). Juga sering diadakan kinroo-hooshi (semacam kerja sukarela). Ini sesuai dengan program umum dalam pendidikan dan pengajaran zaman pendudukan tentara Jepang waktu itu.

Pada permulaan pendudukan Jepang propaganda mereka adalah bahwa perang yang dilancarkan Jepang adalah untuk membebaskan benua Asia dari kekuasaan Barat, untuk membentuk “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Untuk ini diperlukan Jepang sebagai pimpinannya. Maka dilancarkanlah slogan “Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia.” Bung Karno dan Bung Hatta, yang dibebaskan oleh Jepang dari tawanan Belanda, telah melakukan taktik bekerja sama dengan Jepang, dalam rangka persiapan-persiapan untuk menghadapi perkembangan selanjutnya di kemudian hari.

Tanggal 1 Maret 1943, organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk, untuk memimpin rakyat dalam rangka menghapus pengaruh-pengaruh Barat dan membangkitkan semangat untuk membela Asia Raya. Slogan lain yang sering terdengar waktu itu adalah “Inggris kita linggis, Amerika kita strika.” Saya masih ingat bahwa kadang-kadang saya membaca majalah Asia Raja yang diterbitkan di Jakarta. Guru saya, pak Suwandi Tjitrowasito sering menulis artikel dalam majalah ini. Pada waktu itu dianjurkan oleh pimpinan militer Jepang dan Putera untuk mempelajari bahasa Jepang.

Organisasi Putera waktu itu dipimpin oleh Empat Serangkai: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K. H. Mansur dan Ki Hadjar Dewantara. Organisasi yang luas dan yang tersebar sampai jauh di daerah-daerah ini merupakan alat yang baik bagi pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mempersiapkan rakyat dalam merebut kemerdekaan. Sebagian pemimpin-pemimpin Indonesia waktu itu meramalkan bahwa kemerdekaan itu bisa dicapai pada akhir Perang Dunia ke-II.

menempati keunggulan di seluruh medan perang Pasifik, dalam tahun 1941 dan 1942 mulai mengalami kemunduran-kemunduran. Untuk mempertahankan daerah yang begitu luas supaya jangan direbut oleh Sekutu, maka rakyat Indonesia dikerahkan untuk “membela diri” (yang sebenarnya adalah membantu Jepang). Macam-macam organisasi atau gerakan dibentuk oleh Jepang, antara lain, Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hookokai) dan Majlis Islam A’ la Indonesia (MIAI).

Pada tanggal 9 Maret 1943 dibentuk organisasi semi-militer di seluruh Jawa dan Sumatera, yang ditujukan untuk melatih para pemuda dari umur 14-22 tahun. Organisasi ini melebar sampai di pedesaan-pedesaan yang terkecil di Jawa. Untuk membantu tugas keamanan kepolisian dibentuk Keibodan. Dan untuk mengerahkan wanita-wanita dibentuk Fujinkai. Semuanya dikerahkan untuk membantu Tentara Jepang dalam peperangan melawan Sekutu. Pada tanggal 14 September 1944 dibentuk Barisan Pelopor, dengan dipimpin oleh Ir Soekarno. Semuanya ini merupakan gerakan besar-besaran dan latihan berskala luas bagi pemuda-pemuda Indonesia waktu itu, yang ternyata kemudian merupakan persiapan penting untuk menghadapi peristiwa-peristiwa sesudah proklamasi 17 Agustus 1945.

Ketika Jepang makin merasa bahwa perlawanan terhadap Sekutu tidak dapat dihadapi oleh tentaranya sendiri, maka dibentuklah juga tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) pada tanggal 3 Oktober 1943. Banyak calon-calon perwira telah dilatih oleh Jepang di Bogor, dan kemudian di berbagai daerah juga, untuk menjadi komandan batalyon (Daidancho), komandan kompi (Chudancho), komandan peleton (Syodancho), komandan regu (Budancho). Jepang berharap bahwa Peta akan menjadi bantuan utama bagi pasukan-pasukan Jepang. Tetapi, Peta kemudian

berobah menjadi tentara yang pada hakekatnya adalah tentara Indonesia di bawah pimpinan Jepang, dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Akhirnya, setelah 17 Agustus diproklamasikan, Peta inilah yang juga kemudian melucuti tentara Jepang di berbagai daerah, juga di daerah Kediri

Peristiwa yang saya dengar ketika masih sekolah di SMP Kediri adalah pemberontakan Peta yang terkenal di Blitar. Ini merupakan pemberontakan yang terbesar terhadap pemerintahan militer Jepang. Pada tanggal 14 Februari 1945, seorang komandan peleton (Syodancho) yang bernama Supriadi memimpin satu pemberontakan seluruh batalyon yang bertugas di Blitar (di Karesidenan Kediri ada dua batalyon Peta waktu itu). Sebab-sebab dari pemberontakan Peta Blitar adalah karena tidak tahannya prajurit-prajurit Peta melihat kesengsaraan rakyat di daerah Blitar (dan daerah-daerah lain di Karesidenan Kediri). Banyak rakyat yang mati karena kelaparan dan karena kerja paksa untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang. Di antara rakyat yang sengsara ini terdapat keluarga para prajurit Peta. Pemberontakan itu gagal karena kurangnya koordinasi dengan batalyon-batalyon lainnya, dan karena keunggulan Jepang waktu itu. Supriadi “hilang,” dan pimpinan-pimpinan pemberontakan lainnya diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.

Pemberontakan Peta di Blitar ini sangat besar pengaruhnya bagi berkembangnya (secara diam-diam) semangat anti-Jepang di kalangan masyarakat, dan terutama di kalangan pemuda di daerah Jawa Timur. Dalam suasana yang demikian inilah saya lewatkan masa remaja, selama sekolah di SMP Kediri, sampai diproklamasikannya Kemerdekaan bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945.