• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi (KBMTT)

Dalam dokumen Volume 1, Tahun ISSN KATA PENGANTAR (Halaman 37-43)

MATEMATIS TINGKAT TINGGI Asep Ikin Sugandi

2. Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi (KBMTT)

Henningsen dan Stein (Kariadinata, 2006 : 23) mendefinisikan high-level mathematical thinking sebagai kegiatan berpikir dan bernalar, sedangkan Schoenfeld (Kariadinata, 2006 : 25) melukiskan

26 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung kegiatan high-level mathematical thinking and Reasoning sebagai kegiatan matematik (doing

mathematics) yang aktif, dinamik dan eksploratif.

Lebih lanjut Henningsen dan Stein (Sumarmo, 2004 : 27) mengatakan bahwa KBMTT pada hakekatnya, merupakan kemampuan berpikir non-prosedural yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut : kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya; kemampuan menggunakan fakta-fakta yang tersedia secara efektif dan tepat untuk memformulasikan serta menyelesaikan masalah; kemampuan membuat ide-ide matematik secara bermakna; kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel melalui penyusunan konjektur, generalisasi dan jastifikasi; serta kemampuan menginterprestasikan hasil pemecahan masalah bersifat masuk akal dan logis.

Shafer dan Foster (Kariadinata, 2006 : 28) membagi perkembangan kemampuan berpikir matematis siswa kepada tiga tingkatan, yaitu tingkat reproduksi, koneksi dan analisis Tingkat reproduksi merupakan tingkat berpikir paling rendah, dan tingkat analisis adalah tingkatan berpikir paling tinggi. Berikut uraian dari masing-masing tingkatan tersebut.

Tingkat reproduksi mencakup : mengetahui fakta dasar, menerapkan algoritma standar, mengembangkan keterampilan teknis; tingkat koneksi mencakup : mengintegrasikan informasi, membuat standar dalam dan antar domain matematika, menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan masalah tidak rutin, sedangkan tingkat analisis mencakup : matematisasi situasi, melakukan analisis, melakukan interpretasi, mengembangkan model dan strategi sendiri, mengembangkan argumen matematik, dan membuat generalisasi.

Webb dan Coxford (1993 : 23) menyatakan bahwa kemampuan memahami ide yang tersirat; menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi; menalar secara logic; menyelesaikan masalah; berkomunikasi secara matematik; dan mengaitkan ide matematik dengan kegiatan intelektual lainnya, tergolong pada aspek berpikir matematik tingkat tinggi.

Adapun aspek-aspek Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi, meliputi :

2.1. Pemecahan Masalah Matematik

Dalam belajar matematika, kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu hasil belajar yang ingin dicapai, dan merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh sisiwa. Pentingnya kepemilikan kamampuan pemecahan masalah pada matematika dikemukakan Branca (Sumarmo, 1994 : 45) sebagai berikut : (1) kemampuan penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, strategi dalam pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.

Berdasarkan pendapat Branca tersebut, maka kita dapat memandang pemecahan masalah dalam matematika sebagai suatu tujuan, proses dan kemampuan dasar. Adapun pemecahan masalah dalam matematika sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, 1) mengapa matematika diajarkan? dan 2) apa tujuan pengajaran matematika tersebut? Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Sumarmo (1994 : 9) adalah karena matematika merupakan bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan matematika; matematika sebagai alat untuk membangkitkan serta melatih kemampuan pemecahan masalah.

Pengertian pemecahan masalah sebagai proses, mengandung arti atau mengacu pada kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya langkah-langkah, strategi dan heuristik yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga siswa dapat menemukan jawaban dan bukan hanya pada jawaban itu sendiri. Sedangkan pemecahan masalah sebagai kemampuan dasar merupakan jawaban pertanyaan yang sangat kompleks, bahkan lebih kompleks dari pengertian istilah pemecahan masalah itu sendiri (Sumarmo, 1994 : 10).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung 27 Beberapa ahli mendefinisikan pemecahan masalah dengan cara berbeda-beda. Dahar (1996 : 123) mengatakan bahwa pecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menerapkan konsep-konsep dan aturan yang diperoleh sebelumnya. Ruseffendi (1988 : 241) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah pendekatan yang bersifat umum yang lebih mengutamakan kepada proses dari pada hasilnya, sedangkan Polya (1985 : 30) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan bigitu saja segera dicapai. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Adapun kegiatan dalam pemecahan masalah adalah :

(1) Memahami masalah (understanding the problem), hal ini meliputi : (a). apa yang diketahui ? (b). apa yang ditanyakan ? (c). apakah kondisi permasalahan yang diberikan cukup atau tidak cukup lengkap untuk mencari apa yang ditanyakan ?

(2) Membuat rencana pemecahan/merencanakan penyelesaian (devising a plan), hal ini meliputi : (a). teori apa yang dapat digunakan dalam masalah ini ? (b). apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain ?

(3) Melakukan perhitungan (carrying out the plan), hal ini meliputi : (a). pelaksanaan penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum ? (b). melakukan pembuktian bahwa langkah yang dipilih sudah benar.

(4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back), pada bagian ini lebih ditekankan bagaimana cara memeriksa jawaban yang telah didapat.

Dipandang dari jenis belajarnya, kemampuan penyelesaian masalah tergolong pada kemampuan tingkat tinggi yang antara lain memerlukan dalam kemampuan jenis belajar yang lebih rendah dan pemahaman prasyaratnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gagne (Ruseffendi, 1988) bahwa pemecahan masalah merupakan tahap belajar yang paling tinggi dan lebih kompleks. Pemecahan masalah tidak sekedar mengaplikasikan suatu algoritma, namun memuat pemahaman dan aktivitas intelektual yang bukan berupa kegiatan rutin. Dalam hubungannya dengan aktivitas intelektual tingkat tinggi. Schoefeld (Sumarmo, 1999 : 36) melukiskan pemecahan masalah sebagai suatu kegiatan yang memuat aktivitas matematika secara aktif, dinamik dan eksploratif. Tugas dinamik ini ditandai dengan adanya kegiatan seperti mencari dan menemukan pola untuk memahami struktur dan hubungan matematika, menggunakan sumber yang tersedia secara efektif dalam merumuskan dan menyelesaikan masalah, memahami idea matematika serta berfikir dan bernalar matematika. Lebih lanjut Hudoyo (1979 : 76) mengemukakan pemecahan masalah selain akan berkaitan dengan struktur mental yang dalam, prosesnya selalu menggunakan abstraksi dan generalisasi.

Dalam matematika, pemecahan masalah dapat berupa soal cerita atau soal yang tidak rutin, yaitu soal yang untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang mendalam, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan membuktikan, menciptakan atau menguji konfektur (Sumarmo, 1994). Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis logis, kreatif, dan sistematis.

Kriteria apa yang harus dimiliki oleh siswa, sehingga ia dapat dikategorikan sebagai good problem

solver dalam pembelajaran matematika ? Syudam (Kariadinata, 2006 : 32) mengajukan sepuluh

kriteria, yaitu :

(1) mampu memahami konsep dan terminologi,

(2) mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi, (3) mampu menyeleksi prosedur dan variabel yang benar, (4) mampu memahami ketidakkonsistenan konsep, (5) mampu membuat estimasi dan analisis,

(6) mampu memvisualisasika dan mengiterpretasikan data, (7) mampu membuat generalisasi,

(8) mampu menggunakan berbagai strategi,

28 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes kecemasan.

Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, diperlukan alat ukur yang berbeda dengan alat ukur untuk mengukur kemampuan kognitif yang rendah. Pemberian skor tes kemampuan pemecahan masalah berfokus kepada proses selain hasil yang didapat oleh siswa atau dengan kata lain langkah-langkah pengerjaan siswa dalam menyelesaikan soal-soal harus dihargai seadil-adilnya berdasarkan penilaian yang objektif.

2.2. Komunikasi Matematik

Pengertian komunikasi secara implisit menurut Effendy (1993 : 5) adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk membberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Di dalam berkomunikasi tersubut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada orang lain. Effendy (1993 : 6) mengemukakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan komunikasi dapat diklasifikasikan menurut kadarnya yaitu : dampak kognitif, afektif dan psikomotor.

Dalam pembelajaran, komunikasi matematika sangatlah penting dan perlu mendapat perhatian. Baroody (Asikin, 2002 : 12) mengemukakan bahwa sedikitnya ada dua alasan yang menjadikan komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu menjadi perhatian yaitu 1) matematika sebagai bahasa, bukan hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola atau menyelesaikan masalah tetapi matematika juga sebagai “an invaluable tool for communicating a variety of ideas

clearly, precisely, and succinty” dan 2) sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika,

interaksi antar siswa, antara siswa dan guru. Dalam KBK kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa.

Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang-orang dapat menyampaikan informasi dengan bahasa matematika. Depdiknas (2001 : 8) menyatakan bahwa mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis dan efisien. Lindquist (NCTM, 1989 : 2) berpendapat bahwa jika kita sepakat bahwa matematika merupakan suatu bahasan dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar dan mengakses matematika.

Kemampuan siswa dalam komunikasi matematik ada indikatornya. NCTM (1989 : 214) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi siswa dalam pembelajaran matematika dapat dilihat dari (1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendomonstrasikannya serrta menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya, untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.

Menurut Sumarmo (2002 : 15) komunikasi matematik meliputi kemampuan siswa dalam : (1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (2) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (6) Membuat konjengtur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; (7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari.

2.3. Penalaran Matematik

Istilah penalaran sebagai terjemahan dari kata “reasoning”, Shurter dan Pierce (Sumarmo, 1987 : 19) mendefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung 29 yang relevan. Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif yang biasa disebut induksi dan penalaran deduktif yang biasa disebut deduksi.

Penalaran induktif digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut penalaran deduktif.

Persamaan induksi dan deduksi adalah bahwa keduanya merupakan argumen. Argumen adalah serangkaian proposisi yang mempunyai struktur terdiri dari beberapa premis dan satu kesimpulan atau konklusi. Perbedaan antara induksi dan deduksi terletak pada sifat kesimpulan yang diturunkannya. Induksi meliputi generalisasi, analogi, dan hubungan kausal, sedangkan deduksi meliputi modus ponens, modus tollens, silogisme hipotetik, dan silogisme dengan kuantifikasi. Penalaran merupakan fondasi dalam matematika Ross (Rocmad, 2008 : 2) menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang. Penalaran matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur, menetapkan generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan (dan validasi) kesimpulan-kesimpulan logis berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya. Untuk mencapai daya matematika berbagai mode penalaran matematika dilibatkan misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive), bersyarat (conditional), perbandingan (proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan penalaran abstrak (abstract reasoning).

Menurut Sumarmo (2002 : 15) penalaran matematik meliputi : (1) menarik kesimpulan logik, (2) memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, (3) memperkirakan jawaban dan proses solusi, (4) menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, (5) Menyusun dan menguji konjektur, (6) merumuskan lawan contoh (counter examples), (7)mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen, (8) menyusun argumen yang valid, dan (9) menyusun pembuktian langsung dan menggunakan induksi matematik.

2.4. Koneksi Matematik

Koneksi matematik merupakan salah satu standar yang dikemukakan oleh NCTM (1989 : 12) yang bertujuan untuk membantuk pembentukan persepsi siswa dengan cara melihat matematika sebagai bagian terintegrasi dengan dunia nyata dan mengenal relevansi serta manfaat matematika baik di dalam maupun di luar sekolah. Begitupun kurikulum (Depdikbud, 1995 : 21) mengemukakan salah satu tujuan umum pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Berdasarkan klasifikasi NCTM mengenai koneksi matematik, diharapkan siswa mampu : a. Mengenal representasi yang ekuivalen dari konsep yang sama.

b. Mengenal hubungan prosedur satu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen. c. Menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik-topik matematika.

d. Menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu lain.

Bruner (Ruseffendi, 1991) mengemukakan bahwa dalam suatu sistem tidak ada konsep yang tak terkoneksi dengan konsep atau operasi lain karena esensi matemamatika adalah kekuatan diantara

30 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung konsep-konsepnya dan antara konsep dengan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tiap topik dalam matematika saling terkait dan antar topik selain matematika, bahkan dengan kehidupan sehari-hari.

Harris (Yaniawati, 2001) menyampaikan pendapat, “Siswa akan mengerti arti dan pentingnya pelajaran matematika yang dipelajari, jika tujuan pembelajaran dirumuskan dengan menghadirkan prinsip-prinsip dan fakta-fakta yang berhubungan satu dengan yang lainnya, kemudian dihubungkan dengan beberapa cabang pengetahuan manusia, serta mata pelajaran lainnya.

Koneksi erat kaitannya dengann pengertian (understanding, comprehension), seperti yang dikemukakan oleh Fisher (Ruspiani, 1995), “Making connection is the way we create an

understanding.” Jadi menurut Fisher, membuat koneksi adalah cara kita menciptakan pengertian.

Hal senada juga dikemukakan oleh Daniels dan Anghileri (Ruspiani, 1994 : 91), “understanding

means making connection.”, mengerti berarti membuat koneksi. Kedua pendapat ini menunjukkan

hubungan timbal balik antara koneksi dan pengertian. Untuk bisa melakukan koneksi terlebih dahulu harus mengerti dengan permasalahannya, sebaliknya untuk bisa mengerti permasalahan harus mampu membuat koneksi dengan topik-topik yang terkait.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka indikator setiap aspek berpikir matematik tingkat tinggi tersaji pada Tabel 2.1

Tabel 2.1.

Aspek Berpikir Matematik Tingkat Tinggi

serta Indikatornya (Romberg dan Chair, dalam Sumarmo, 2003)

Aspek Berpikir Matematika Tingkat Tinggi

Indikator

Pemecahan Masalah Matematik (Mathematical Problem

Solving)

a) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan matematik; b) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah

(sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika; c) Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal;

menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah dan menggunakan matematika secara bermakna.

Komunikasi Matematik (Mathematical Communication)

a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram kedalam ide matematika;

b) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda, gambar, grafik dan aljabar;

c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; membaca

dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis;

e) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan suatu definisi dan generalisasi;

f) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari

Penalaran Matematik (Reasoning)

a) Memberikan penjelasan dengan menggunakan model fakta, sifat-sifat, dan hubungan;

b) Memperkirakan jawaban dan solusi;

c) Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi;

Koneksi Matematik (Mathematical Connection)

a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami hubungan antar topik matematika;

b) Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;

c) Memahami representasi ekuivalen konsep yang sama; mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;

d) Menggunakan koneksi antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik lain.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika ProgramPasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung 31

3.

Pembelajaran Matematika Yang Humanistik

White (dalam Yuwono, 2007 : 2) menjelaskan bahwa matematika humanistik mencakup dua aspek pembelajaran, yaitu pembelajaran matematika secara manusiawi dan pembelajaran matematika yang manusiawi. Aspek pertama berkaitan dengan proses pembelajaran matematika yang menempatkan siswa sebagai subjek untuk membangun pengetahuannya dengan memahami kondisi-kondisi, baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Proses pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga intuisi dan kreativitas siswa. Pembelajaran matematika secara manusiawi akan membentuk nilai-nilai kemanusiaan dalam diri siswa dan akan menunjang bagi keberhasilan tujuan belajar siswa. Sedangkan pembelajaran matematika yang manusiawi berkaitan dengan usaha merekonstruksi kurikulum matematika sekolah, sehingga matematika dapat dipelajari dan dialami sebagai bagian kehidupan manusia. Kaitan matematika dan dunia nyata atau mata pelajaran lain perlu dijabarkan secara konkrit.

Berdasar pandangan di atas, maka dapat dijabarkan beberapa ciri umum dari pembelajaran matematika humanistik, seperti disebutkan oleh Haglund (tanpa tahun) (dalam Yuwono, 2007 : 3), yaitu:

(1) Menempatkan siswa sebagai penemu (inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta dan prosedur-prosedur;

(2) Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami masalah dan pemecahannya yang lebih mendalam;

(3) Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan pendekatan aljabar;

(4) Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu penemuan atau usaha Keras (endeavor) dari seorang manusia

(5) Menggunakan masalah-masalah yang menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended) tidak hanya latihan-latihan

(6) Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak hanya menilai siswa berdasar pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja;

(7) Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar matematika yang membentuk sejarah dan budaya;

(8) Membantu siswa melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola, termasuk aspek keindahan dan kreativitas;

(9) Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran (curiosity);

(10) Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau teknik.

Dalam dokumen Volume 1, Tahun ISSN KATA PENGANTAR (Halaman 37-43)