Lingkup Teritorial Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Konsep PKP
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
A. Konsep PKP
Lingkup subjektif dari sistem PPN di dunia sangat bergantung pada konsep PKP. Konsep PKP merupakan kriteria yang sangat fundamental dalam PPN.
Oleh karena konsep ini bersifat fundamental dan memiliki konsekuensi tersendiri di bidang keuangan, konsep PKP harus jelas dan tidak memiliki makna yang ambigu.1 Bahkan Doesum, Kesteren, dan Norden menyebutkan bahwa konsep PKP harus didefinisikan seluas-luasnya sehingga PPN mempunyai ruang lingkup yang cukup luas untuk mencakup semua tahap produksi, distribusi, dan penyediaan jasa.2
Dalam literatur berbahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk menjelaskan PKP adalah “taxable person”. Istilah ini digunakan di beberapa negara, termasuk negara-negara Uni Eropa.
Istilah PKP (taxable person) dalam PPN digunakan untuk dapat dibedakan dengan person dalam arti wajib pajak (taxpayer). Karena, untuk tujuan PPN, kedua istilah tersebut mempunyai arti dan fungsi yang berbeda. Atau dengan kata lain, istilah PKP dengan wajib pajak merupakan dua terminologi yang berbeda sehingga penggunaannya tidak dapat dipertukarkan.3
1 Aleksandra Bal, “The Vague Concept of “Taxable Person” in EU VAT Law,” International VAT Monitor, September/Oktober 2013.
2 Ad van Doesum, Herman van Kesteren, dan Gert-Jan van Norden, Fundamentals of EU VAT Law (The Netherland: Kluwer Law International BV, 2016), 53.
3 David William, “Added Tax,” dalam Tax Law Design and Drafting Chapter 6, Value-Added Tax, ed. Victor Thuronyi (Washington D.C.: International Monetary Fund, 1996), 175.
BAB 4
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
Dalam VAT Directive, definisi PKP dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) VAT Directive sebagai berikut:4
“any person who, independently carries out in any place any economic activity specified…., whatever the purpose or result of the activity.”
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) VAT Directive, yang dimaksud dengan PKP adalah setiap person yang menjalankan kegiatan ekonomi secara independen di mana pun, tanpa memperhatikan tujuan dan hasil dari kegiatan yang dilakukan tersebut.5
Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (2) VAT Directive menetapkan daftar kegiatan apa saja yang termasuk dalam kegiatan ekonomi, yang antara lain mencakup semua kegiatan produsen, pedagang, dan person yang menyerahkan jasa, termasuk kegiatan pertambangan, pertanian, dan kegiatan profesi. Dalam daftar tersebut juga disebutkan bahwa eksploitasi dari aset berwujud dan tidak berwujud dengan tujuan memperoleh penghasilan yang berkesinambungan juga digolongkan sebagai kegiatan ekonomi. Konsekuensinya, penjualan atas hasil aset berwujud, seperti penjualan kayu yang dihasilkan dari hutan milik sektor swasta yang dilakukan secara terus menerus, dianggap sebagai kegiatan eksploitasi. Oleh karenanya, kegiatan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi.6
VAT Directive juga menetapkan pengecualian dari PKP. Misalnya, otoritas pemerintahan dan badan yang diatur oleh hukum publik bukan merupakan PKP apabila kegiatan dari otoritas atau badan tersebut sehubungan dengan kegiatan publik. Pertanyaanya, bagaimana dengan person lainnya, selain pemerintah, yang melakukan kegiatan publik? Apakah person tersebut merupakan PKP?
Terkait dengan isu ini, dalam kasus yang terjadi di Belanda, The European Court of Justice (ECJ) memutuskan bahwa jasa yang diberikan oleh notaris dan juru sita yang berstatus sebagai petugas independen (bukan pegawai negeri) merupakan kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, notaris dan juru sita tersebut dapat digolongkan sebagai PKP karena bertindak secara independen tanpa adanya ikatan kerja.7
4 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Value Added Tax: A Comparative Approach (United Kingdom: Cambridge University Press, 2007), 94.
5 Ben Terra, “Sales Taxation: The Case of Value added Tax in the European Community,”
dalam Series on International Taxation No. 8. Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 76.
6 Michael van de Leur, “Watch Out, You May Be a Taxable Person,” International VAT Monitor, September/Oktober 2013.
7 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Op.Cit., 94.
BAB 4:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam VAT Directive, PKP memiliki arti yang sangat luas, yaitu PKP tidak hanya terbatas pada person yang didirikan atau bertempat tinggal di negara-negara Uni Eropa atau person yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Pemberian interpretasi yang luas dari konsep PKP dan kegiatan ekonomi ini sesuai dengan tujuan dari PPN sebagai pajak atas konsumsi yang bersifat umum.8
Beberapa negara memiliki pengertian tersendiri mengenai PKP. Misalnya, di United Kingdom (UK). Di UK, PKP didefinisikan sebagai person yang telah terdaftar atau yang wajib untuk mendaftarkan diri (registered person). Dengan demikian, konsep PKP dalam ketentuan PPN di UK tidak dapat lepas dari penentuan apakah person tersebut telah atau wajib terdaftar. Hal yang sama juga berlaku di Afrika Selatan dan Australia.9
Selain itu, banyak negara mengatur bahwa agar suatu person dapat digolongkan sebagai PKP, person tersebut harus melakukan penyerahan yang dikenakan PPN sampai dengan batasan jumlah tertentu, yang penyerahan tersebut berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan usaha yang dijalankannya. Batasan tersebut dapat berbeda-beda di setiap negara. Misalnya, terdapat negara yang menggunakan jumlah omzet atau keuntungan sebagai batasan. Adanya ketentuan ini menyebabkan tidak semua person yang melakukan kegiatan penyerahan atau penjualan yang dikenakan PPN dapat dianggap sebagai PKP.
Lebih lanjut, William berpendapat bahwa dalam mendefinisikan PKP, ketentuan perundang-undangan PPN suatu negara harus mencakup semua person yang dibentuk berdasarkan hukum dari negara tersebut dan person tersebut harus menjalankan segala jenis kegiatan ekonomi. Oleh karenanya, teks dari undang-undang yang menjelaskan definisi PKP harus disusun sedemikian rupa. Dengan menyusun pengertian PKP secara komprehensif, isu-isu terkait PKP diharapkan dapat diatasi. Misalnya, penentuan apakah kemitraan dan asosiasi dapat digolongkan sebagai PKP.10
Dalam ketentuan PPN di beberapa negara, kemitraan dan asosiasi dianggap sebagai PKP sepanjang mereka menjalankan kegiatan ekonomi. Pendapat ini sebagaimana pernyataan Calmac yang mendefinisikan PKP sebagai berikut: “A
8 Aleksandra Bal, Op.Cit.
9 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Op.Cit., 94.
10 David William, Op.Cit.,176.
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
taxable person is an individual, partnership, company or such like that provides taxable goods and services within his business.”11
Kemitraan dianggap sebagai bentuk yang terpisah dari mitranya.
Konsekuensinya, semua penyerahan dan perolehan barang dan/atau jasa dianggap dilakukan oleh kemitraan. Meskipun secara hukum, yang melakukan penyerahan adalah mitranya.
Beberapa negara juga memperbolehkan atau mewajibkan setiap cabang dari suatu perusahaan dianggap sebagai PKP yang terpisah. Dengan demikian, penyerahan yang terjadi antar cabang merupakan penyerahan yang terutang PPN. Selain itu, terdapat pula ketentuan yang memperbolehkan grup perusahaan (perusahaan induk dan perusahaan anak) untuk didaftarkan dan dikukuhkan sebagai satu PKP sehingga penyerahan yang terjadi di dalam grup perusahaan tersebut tidak dianggap sebagai penyerahan yang terutang PPN.12 UU PPN di Indonesia juga memberlakukan ketentuan pengukuhan PKP grup perusahaan. Namun, terbatas hanya terhadap cabang, yaitu cabang dari suatu perusahaan dapat memilih apakah akan dikukuhkan sebagai satu PKP (berdiri sendiri) atau menjadi satu PKP dengan induknya.13 Dengan demikian, ketentuan ini tidak berlaku terhadap perusahaan anak.
B. Kualifikasi sebagai PKP14
Berdasarkan pengertian PKP yang terdapat dalam VAT Directive, PKP memiliki elemen dasar sebagai berikut:15
(i) person;
(ii) menjalankan kegiatan ekonomi (economic activity);
(iii) di tempat manapun (in any place);
(iv) secara independen (independently).
11 Diana Maria Calmac, “The Mechanics and Effects of MTIC Fraud,” Msc. Economics and Business Administration, Concentration International Business, Copenhagen Business School, (Oktober 2012): 5.
12 David William, Op.Cit.,176.
13 Lihat Pasal 1A ayat (1) huruf ‘f’ dan ayat (2) huruf ‘c’ UU PPN.
14 Pembahasan mengenai kualifikasi sebagai PKP ini erat kaitannya dengan penjelasan mengenai persyaratan untuk menjadi PKP sebagaimana yang terdapat dalam poin B.4 Bab 2 dari buku ini. Oleh karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai PKP, pembahasan pada poin ini harus dibaca bersamaan dengan poin B.4 Bab 2 dari buku ini.
15 Ad van Doesum, Herman van Kesteren, dan Gert-Jan van Norden, Op.Cit., 54.
BAB 4:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) Keempat elemen ini mempunyai peranan penting dalam menentukan apakah person dapat dianggap sebagai PKP atau tidak. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing elemen di atas.16
(i) Person
Sebagaimana yang telah dibahas dalam Bab 2 tentang Ruang Lingkup PPN, pengertian person sangatlah luas. Pengertian person mencakup siapapun dengan atau tanpa bentuk atau status hukum. Akibatnya, status PKP tidak bergantung pada bentuk usaha atau status hukum tertentu.
Dengan demikian, meskipun suatu bentuk usaha tidak diakui sebagai
“legal person” berdasarkan hukum yang berlaku, bentuk usaha tersebut tetap dapat dianggap sebagai person dari sudut pandang PPN dan berpotensi untuk dikategorikan sebagai PKP.
Konsekuensinya, person yang bekerja secara independen (wiraswasta), badan hukum swasta dan publik, serta joint ventures dan kemitraan (partnership) dapat dikategorikan sebagai PKP.
(ii) Menjalankan Kegiatan Ekonomi (economic activity)17
Berdasarkan pengertian PKP dalam VAT Directive, PPN hanya dikenakan atas transaksi yang terkait dengan kegiatan ekonomi dari PKP yang melakukan penyerahan. Sebagai contoh, apabila pengusaha menjual sebuah mobil bekas, harus ditentukan terlebih dahulu apakah penjualan tersebut dilakukan oleh pengusaha sebagai kegiatan pribadinya (misal, karena mobil tersebut dibeli dan digunakan untuk tujuan pribadi) atau apakah penjualan tersebut dilakukannya sebagai kegiatan usahanya (misal, mobil dibeli dan digunakan semata-mata untuk tujuan usaha).
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sangat penting untuk menginterpretasikan istilah ‘kegiatan ekonomi’ secara luas karena apabila istilah kegiatan ekonomi diinterpretasikan secara terbatas, terdapat kemungkinan transaksi-transaksi tertentu tidak dapat dikenakan PPN. Interpretasi terbatas ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan PPN untuk mengenakan pajak atas semua penyerahan barang dan jasa.18
Pengertian dari istilah kegiatan ekonomi tidak selalu sama. Namun, berdasarkan pengertian kegiatan ekonomi dalam Pasal 9 VAT Directive, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
16 Ibid, 53-81.
17 Pengertian dari kegiatan ekonomi dapat dilihat pada Bab 2 tentang Ruang Lingkup PPN.
18 Ad van Doseum dan F. Nellen, VAT in a Day (The Netherlands: Kluwer, 2013), 16.
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
a. suatu kegiatan dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi hanya apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan;
b. suatu kegiatan dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi hanya apabila kegiatan tersebut dilakukan atas dasar ‘nilai’;
c. kegiatan ekonomi tidak selalu merupakan kegiatan yang bertujuan memperoleh keuntungan atau laba. Artinya, tujuan dan hasil dari kegiatan yang dilakukan tidak relevan dalam menentukan apakah suatu kegiatan merupakan kegiatan ekonomi atau bukan. Hal yang relevan dalam menentukan status PKP adalah sifat dari kegiatan itu sendiri;
d. kegiatan ekonomi harus merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur. Oleh karena itu, kegiatan yang bersifat tidak terduga (incidental) atau kegiatan yang dilakukan sesekali tidak dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi;
e. eksploitasi merupakan bentuk khusus dari kegiatan ekonomi.
Contoh dari jenis kegiatan ini adalah pemberian pinjaman, penyewaan barang bergerak dan barang tidak bergerak, serta lisensi hak paten;
f. kegiatan ekonomi dianggap telah dimulai sejak kegiatan tersebut dipersiapkan. Oleh karenanya, pembelian aset perusahaan untuk kegiatan operasional harus dianggap sebagai kegiatan ekonomi;19 g. suatu person dapat menjalankan dua jenis kegiatan secara
bersamaan, yaitu kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan ekonomi.
Misalnya, badan hukum publik yang menjalankan kegiatannya sebagai otoritas publik seringkali terlibat dalam kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi merupakan elemen penting dari konsep PKP.20 Person yang tidak melakukan kegiatan ekonomi tidak dapat berstatus sebagai PKP. Memberikan jawaban yang salah atas pertanyaan apakah suatu person menjalankan kegiatan ekonomi atau tidak sehingga berujung pada kesalahan dalam menyimpulkan status PKP, dapat mengakibatkan timbulnya konsekuensi keuangan yang besar bagi person tersebut. Oleh karenanya, kepastian hukum mengenai konsep PKP sangat penting untuk diciptakan.21
19 Aleksandra Bal, Op.Cit.
20 Murray L. Weidenbaum dan Ernest S. Christian, Jr, “Introduction: If, When You Say
“Consumption Tax,” You Mean…,” dalam The Value Added Tax: Orthodoxy and New Thinking, ed. Murray L. Weidanbaum, David G. Raboy, Ernest S. Christian, Jr. (US: Kluwer Academic Publisher, 1989), xvi.
21 Aleksandra Bal, Op.Cit.
BAB 4:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) (iii) Di Tempat Manapun (in any place)
Penentuan apakah suatu person merupakan PKP atau bukan, tidak bergantung pada kewarganegaraan yang dimiliki oleh person tersebut.
Artinya, sepanjang person telah memenuhi syarat sebagai PKP di suatu negara, person tersebut harus diperlakukan sebagai PKP tanpa memperhatikan kewarganegaraan dari person tersebut. Sebagai contoh, perusahaan manufaktur mobil dari Mesir yang didirikan dan melakukan kegiatan usaha di Jerman dapat dianggap sebagai PKP di Jerman sepanjang perusahaan tersebut memenuhi persyaratan sebagai PKP berdasarkan Pasal 9 VAT Directive.
Status PKP juga tidak bergantung pada tempat di mana kegiatan usaha didirikan. Karena, fokus utama dari sistem PPN adalah pada penyerahan yang dilakukan oleh PKP (objek PPN), bukan pada PKP yang melakukan penyerahan tersebut (subjek PPN). Dengan demikian, pertanyaan mengenai di mana penyerahan dikenakan PPN lebih relevan dibandingkan pertanyaan mengenai di mana PKP harus dikenakan PPN.
Meskipun tempat pendirian kegiatan usaha tidak relevan dalam penentuan status PKP, konsep tempat pendirian memiliki kaitan erat dalam menentukan tempat penyerahan sehingga dapat diketahui negara mana yang berhak memungut PPN atas suatu penyerahan, khususnya dalam transaksi lintas batas.22
Penerapan konsep tempat pendirian dalam menentukan tempat penyerahan dapat dilihat pada ketentuan VAT Directive yang mengatur mengenai tempat penyerahan jasa lintas batas. Misal, sehubungan dengan penyerahan jasa antar pengusaha (B2B services), sangat penting untuk mengetahui di mana penerima jasa didirikan. Sementara, dalam hal penyerahan jasa antara pengusaha dan konsumen (B2C services), lokasi kegiatan usaha dari pihak yang menyerahkan jasa harus diketahui sehingga dapat ditentukan negara mana yang berhak mengenakan PPN atas penyerahan tersebut.
(iv) Secara Independen (independently)
Berdasarkan penjelasan mengenai istilah “secara independen” dalam Pasal 10 VAT Directive, person yang terikat pada pemberi kerja atas dasar kontrak kerja antara karyawan dan pemberi kerja atau oleh ikatan hukum lainnya tidak dapat dianggap sebagai person yang menjalankan kegiatan ekonomi secara independen.
22 Pembahasan lebih lanjut mengenai tempat penyerahan (place of supply) terdapat dalam Bab 6 tentang Tempat Terutang PPN.
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
Kriteria ini telah lama menjadi perdebatan dalam ECJ. Namun, dalam rangka menentukan apakah person bertindak secara independen atau tidak, ECJ juga mempertimbangkan ada atau tidaknya risiko ekonomi yang ditanggung oleh person tersebut atas kegiatan yang dilakukannya.
Apabila terdapat risiko ekonomi yang ditanggung oleh person atas kegiatan yang dilakukannya, dapat disimpulkan bahwa person tersebut menjalankan kegiatan ekonomi secara independen.