• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Asal dan Prinsip Destinasi

Dalam dokumen PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (Halaman 44-54)

E. Konsep PPN dalam Perdagangan Internasional

E.2. Prinsip Asal dan Prinsip Destinasi

Berdasarkan prinsip asal (origin principle), PPN dikenakan atas produksi yang dilakukan di dalam negeri, tanpa melihat di mana barang dan/atau jasa tersebut dikonsumsi.82 Dalam prinsip asal, PPN akan dikenakan atas ekspor barang dan/atau jasa selama diproduksi di dalam negeri dan atas impor barang atau jasa yang berasal dari luar negeri tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif 0%.

Prinsip asal hanya dapat diterapkan oleh beberapa negara dengan sistem pajak dan tarif yang sama serta ditujukan untuk menghindari adanya distorsi atas kompetisi.83 Sementara itu, pada kondisi ketika tarif pajak berbeda, prinsip asal akan mengakibatkan kompetisi pajak maupun kompetisi pasar yang dapat mendistorsi kondisi ekonomi.84

81 OECD, International VAT/GST Guidelines (2017).

82 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Op.Cit.,183.

83 Robert F. van Brederode, Op.Cit., 206.

84 Borbala Kolozs, Op.Cit.., 206.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

Di sisi lain, prinsip destinasi (destination principle) mengenakan PPN atas konsumsi yang dilakukan di dalam negeri, tanpa melihat dari mana barang dan/atau jasa tersebut berasal. Dalam prinsip destinasi, PPN dikenakan atas impor barang dan/atau jasa yang dimanfaatkan di dalam negeri dan atas ekspor barang dan/atau jasa yang dimanfaatkan di luar negeri tidak dikenakan PPN atau dikenakan dengan tarif 0%. Penerapan prinsip destinasi ditegaskan oleh Lejeune, Daou-Azzi, dan Powel bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi yang harus dipungut berdasarkan prinsip destinasi.85 Prinsip destinasi telah diterapkan di banyak negara dan telah direkomendasikan oleh World Trade Organization.86 Selain itu, oleh karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri maka terdapat ketentuan umum yang mengatur bahwa PPN harus dikenakan berdasarkan prinsip destinasi.87

Pada dasarnya, penerapan prinsip destinasi untuk perdagangan internasional berupa barang berwujud relatif lebih mudah karena barang berwujud bersifat nyata sehingga mudah mengidentifikasi di mana barang tersebut dikonsumsi.

Akan tetapi, penerapan prinsip destinasi untuk perdagangan internasional atas jasa dan juga barang tidak berwujud sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan penerapan ketentuan PPN pada masing-masing yurisdiksi, yang dalam beberapa kasus menyebabkan terjadinya pajak berganda atau tidak ada pajak sama sekali.88

Untuk menghindari pajak berganda atau tidak ada pajak sama sekali tersebut, OECD telah menyusun International VAT/GST Guidelines guna memberikan panduan dalam menerapkan prinsip destinasi pada pemungutan PPN atas perdagangan internasional jasa dan barang tidak berwujud. Selain itu, Guidelines dirancang untuk memastikan bahwa penyerahan dalam transaksi internasional hanya dikenakan pajak pada satu yurisdiksi, yaitu yurisdiksi tempat konsumsi dilakukan.89 Tujuannya, untuk memastikan bahwa prinsip netralitas dalam pengenaan PPN tetap terjaga.

Guidelines 3.1. menyebutkan sebagai berikut:90

85 Ine Lejeune, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel, “The Balance Has Shifted to Consumption Taxes – Lesson Learned and Best Practices for VAT,” dalam Value Added Tax and Direct Taxation: Similarities and Differences, ed. Michael Lang, et. al.

(Amsterdam: IBFD, 2009), 86.

86 Borbala Kolozs, Op.Cit., 211.

87 Ine Lejeune, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel, Op.Cit., 86.

88 Ibid.

89 OECD, Consumption Tax Trends 2010: VAT/GST and Excise Rates, Trends and Administration Issues (Paris: OECD Publishing, 2011), 9.

90 OECD, International VAT/GST Guidelines (2017)

BAB 1:

Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) “For consumption tax purposes internationally traded services and intangibles should be taxed according to the rules of the jurisdiction of consumption.”

Pertama, untuk tujuan pengenaan pajak atas konsumsi jasa dan barang tidak berwujud dalam perdagangan internasional, seharusnya dikenakan pajak sesuai aturan di yurisdiksi tempat jasa atau barang tidak berwujud tersebut dikonsumsi. Apabila prinsip destinasi berjalan sebagaimana mestinya maka netralitas dapat tercapai karena PPN hanya akan dikenakan kepada pihak yang mengkonsumsi barang tidak berwujud atau jasa tersebut.

Guidelines 3.2. menyebutkan sebagai berikut:91

“For the application of Guideline 3.1, for business-to-business supplies, the jurisdiction in which the customer is located has the taxing rights over internationally traded services or intangibles.”

Kedua, dalam skema business-to-business (B2B), yurisdiksi tempat konsumen berada berhak mengenakan pajak atas jasa atau barang tidak berwujud yang dikonsumsi. Penentuan lokasi pihak yang mengkonsumsi dapat ditentukan dengan melihat di mana perusahaan tersebut berada atau di mana kegiatan usaha perusahaan dijalankan.

Guidelines 3.3. menyebutkan sebagai berikut:92

“For the application of Guideline 3.2, the identity of the customer is normally determined by reference to the business agreement.”

Ketiga, penentuan pihak yang melakukan konsumsi dapat dilakukan dengan melihat pada perjanjian (kontrak) bisnis yang dilakukan. Perjanjian bisnis biasanya terdapat unsur pihak-pihak yang mengadakan perjanjian serta hak dan kewajiban masing-masing pihak sehubungan dengan jasa dan barang tidak berwujud yang akan diberikan atau diterima. Elemen lainnya yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi perjanjian bisnis diantaranya adalah korespondensi, faktur penjualan, instrumen pembayaran, dan tanda terima.

Guidelines 3.4. menyebutkan sebagai berikut:93

“For the application of Guideline 3.2, when the customer has establishments in more than one jurisdiction, the taxing rights accrue to the jurisdiction(s) where the establishment(s) using the service or intangible is (are) located.”

Keempat, berdasarkan ketentuan di atas, apabila konsumen memiliki tempat pendirian atau kedudukan di lebih dari satu yurisdiksi maka hak pemajakan berada pada yurisdiksi di mana pemanfaatan jasa atau barang tidak

91 OECD, International VAT/GST Guidelines (2017).

92 OECD, International VAT/GST Guidelines (2017).

93 OECD, International VAT/GST Guidelines (2017).

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

berwujud dilakukan. Dalam menentukan tempat dilakukannya konsumsi jasa atau barang tidak berwujud, dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:94

(i) Direct use approach

Dalam pendekatan pemanfaatan langsung, pengenaan PPN dialokasikan kepada yurisdiksi tempat konsumen menjalankan kegiatan konsumsinya.

Pendekatan ini dapat digunakan dalam kondisi pihak yang memanfaatkan jasa atau barang tidak berwujud dapat ditentukan secara langsung.

Namun, pendekatan ini tidak dapat diaplikasikan dalam kondisi pihak yang memanfaatkan jasa atau barang tidak berwujud tidak dapat ditentukan. Pendekatan ini juga tidak dapat diterapkan terhadap transaksi pemanfaatan jasa atau barang tidak berwujud yang terjadi di lebih dari satu yurisdiksi (multiple use).

(ii) Direct delivery approach

Dalam pendekatan penyerahan langsung, pengenaan PPN dialokasikan kepada yurisdiksi tempat jasa atau barang tidak berwujud dikirimkan oleh penyedia jasa atau barang tidak berwujud. Pendekatan ini dapat dilakukan dalam kondisi lokasi pemanfaatan merupakan lokasi jasa atau barang tidak berwujud tersebut dikirimkan.

(iii) Recharge method

Metode ini dapat diterapkan ketika jasa atau barang tidak berwujud dimanfaatkan pada lebih dari satu yurisdiksi (multiple use). Sebagai contoh, untuk perusahaan multinasional yang menjalankan fungsi sentralisasi maka metode ini dapat diterapkan.

Sama halnya dengan Guidelines 3.4, dalam VAT Directive yang merupakan ketentuan bersama terkait PPN di Uni Eropa, juga terdapat ketentuan yang digunakan dalam menentukan tempat dilakukannya konsumsi. Untuk menentukan tempat konsumsi, VAT Directive menggunakan konsep yang disebut dengan ketentuan tempat penyerahan (place of supply rules) sebagai konsep yang digunakan untuk menentukan lokasi dilakukannya konsumsi.

Digunakannya konsep tempat penyerahan dalam menentukan lokasi dilakukannya konsumsi ini terkait dengan adanya kesulitan penerapan prinsip destinasi untuk perdagangan internasional atas jasa dan barang tidak berwujud. Kesulitan ini dapat menyebabkan terjadinya pajak berganda atau tidak ada pajak sama sekali yang pada akhirnya dapat mendistorsi kegiatan

94 Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 6 tentang Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

BAB 1:

Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ekonomi sebagaimana dinyatakan oleh Ine Lejeune, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel sebagai berikut:95

“The place of supply rules are normally designed to address those issues and ensure that VAT is not levied to distort economic activity.”

Ketentuan dalam VAT Directive yang mengatur mengenai tempat penyerahan terdapat dalam Pasal 44 yang berbunyi sebagai berikut:

“The place of supply of services to a taxable person acting as such shall be the place where that person has established his business. However, if those services are provided to a fixed establishment of the taxable person located in a place other than he place where he has established his business, the place of supply of those services shall be the place where that fixed | establishment is located.

In the absence of such place of establishment or fixed establishment, the place of supply of services shall be the place where the taxable person who receives such services has his permanent address or usually resides.

Berdasarkan Pasal 44 VAT Directive di atas, ketentuan tempat penyerahan adalah sebagai berikut:

(i) Tempat penyerahan jasa adalah tempat pihak yang memanfaatkan jasa mendirikan kegiatan usahanya.

(ii) Akan tetapi, apabila jasa diserahkan ke tempat lainnya ,selain tempat di mana pihak yang memanfaatkan jasa mendirikan kegiatan usahanya, maka tempat lainnya tersebut yang ditentukan sebagai tempat dari penyerahan jasa.

(iii) Apabila tidak terdapat tempat sebagaimana dijelaskan dalam poin (i) dan (ii) di atas maka tempat penyerahan jasa ditentukan dari alamat tetap dari pihak yang memanfaatkan jasa atau tempat pihak yang memanfaatkan jasa tersebut biasanya berada.

Ketentuan dalam Pasal 44 VAT Directive di atas memperlihatkan dengan jelas penerapan prinsip destinasi terhadap pengenaan PPN atas jasa, yaitu jasa dikenakan di tempat pihak yang memanfaatkan jasa berada. Namun di beberapa negara, pengenaan PPN atas jasa dilakukan di tempat pihak yang memberikan jasa berada. Padahal, menurut Ine Lejeune, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel, pengenaan PPN dengan mengacu pada keberadaan dari pihak yang memberikan jasa adalah tidak benar.96 Karena, pengenaan PPN yang mengacu pada tempat keberadaan dari pihak yang memberikan jasa tidak sesuai dengan prinsip destinasi yang menghendaki PPN dikenakan di negara tujuan, bukan negara asal.

95 Ine Lejeune, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel, Op.Cit., 86

96 Ibid.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

Penerapan prinsip destinasi tidak perlu dipertanyakan lagi dan sudah seharusnya selalu menjadi dasar dalam menyusun kebijakan PPN sebagai upaya menghilangkan distorsi atau diskriminasi dalam perdagangan internasional.97 Pada akhirnya, penerapan prinsip destinasi dapat mewujudkan netralitas dalam pengenaan PPN.

Selain sejalan dengan prinsip netralitas, penerapan prinsip destinasi juga mendukung daya saing ekspor dalam konteks perdagangan internasional.

Frenkel, Razin, dan Sadka membuktikan dengan model matematis bahwa penerapan prinsip destinasi memastikan harga produk yang diekspor merupakan harga kompetitif yang mampu menjaga permintaan produk tersebut dalam pasar internasional.98 Di sisi lain, penerapan prinsip asal menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen menjadi lebih tinggi sehingga akhirnya menyebabkan permintaan akan produk tersebut bergeser kepada negara lain yang menawarkan harga lebih rendah.

97 Ibid, 87.

98 Untuk pembuktian secara matematis dapat dilihat dalam Jacob Frenkel, Assaf Razin, dan Efraim Sadka, “International Taxation in an Integrated World,” NBER Working Paper, No.

3540 (1992): 14-19.

BAB 1:

Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Referensi Buku:

Ardiyanto, Suwito. Dasar-Dasar Kepajakan Negara. Jakarta: Kursus Pegawai Administrasi atas Negeri 3, 1981.

Ebrill, Liam et al. The Modern VAT. Washington: IMF, 2001.

Ecker, Thomas. A VAT/GST Model Convention. The Netherlands: IBFD, 2013.

Englisch, Joachim. “VAT/GST and Direct Taxes: Different Purposes.” Dalam Value Added Tax and Direct Taxation: Similarities and Differences, ed. Michael Lang, Peter Melz, dan Elenor Kristoffersson. Amsterdam: IBFD, 2009.

James, Kathryn. The Rise of Value-Added Tax. New York: Cambridge University Press, 2015.

Kolozs, Borbala. “Neutrality in VAT.” Dalam Value Added Tax and Direct Taxation:

Similarities and Differences, ed. Michael Lang, et al. Amsterdam: IBFD, 2009.

Lejeune, Ine, Jeanine Daou-Azzi, dan Mark Powel. “The Balance Has Shifted to Consumption Taxes – Lesson Learned and Best Practices for VAT.” Dalam Value Added Tax and Direct Taxation: Similarities and Differences, ed. Michael Lang, et al. Amsterdam: IBFD, 2009.

Nerudova, Danuse dan Jan Siroky. “The Principle of Neutrality: VAT/GST v. Indirect Taxatuon.” Dalam Value Added Tax and Direct Taxation: Similarities and Differences, ed. Michael Lang, et al. Amsterdam: IBFD, 2009.

Nightingale, Kath. Taxation Theory and Practice 4th Edition. England: Pearson Education Limited, 2002.

OECD. International VAT/GST Guidelines. Paris: OECD Publishing, 2017.

OECD. Consumption Tax Trends 2010: VAT/GST and Excise Rates, Trends and Administration Issues. Paris: OECD Publishing, 2011.

OECD. Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A comparative Survey and Evaluation. Prancis: OECD, 1998.

Pato, Antonio Calisto dan Marlon Marques. Fundamentals of VAT. Middletown, 2014.

Quan Min, Chan. The Essential Guide to Malaysia GST. Singapore: John Wiley & Sons Singapore Pte. Ltd, 2015.

Sastrohadikoesoemo, Soerjono. Beberapa Catatan Pajak-Pajak di Indonesia. Jakarta:

PT Gunung Agung Tbk, 2004.

Schenk, Alan dan Oliver Oldman. Value Added Tax: A Comparative Approach. United Kingdom: Cambridge University Press: 2007.

Soelarno, Slamet Pajak Pembangunan I (Bogor: PT Saung Indah), 18

Sullivan, Clara K. The Tax on Value Added. New York: Columbia University Press, 1996.

Soebakir Moch. “Transformasi Direktorat Jenderal Pajak.” Dalam Pajak Kepemimpinan & Masa Depan Lintas Generasi, ed. Edi Slamet Irianto. Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I.

Soemitro, Rochmat. Pajak Pertambahan Nilai. Bandung: PT Eresco, 1990.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

Tait, Alan A. Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington:

International Monetary Fund, 1988.

Terra, Ben. “Sales Taxation: The Case of Value added Tax in the European Community.” Dalam Series on International Taxation No. 8. Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers.

Tim Surabaya Post. “Benarkah PPN Ibarat Buah Simalakama (I).” Dalam Bunga Rampai: Pajak di Mata Rakyat. Jakarta: Yayasan Bina Pembangunan, 1986.

Thuronyi, Victor. Comparative Income Tax. The Hague: Kluwer Law International, 2003.

Thuronyi, Victor. Tax Law Design and Drafting, Volume 1. International Monetary Fund, 1996.

van Brederode, Robert F. Systems of General Sales Taxation: Theory, Policy, and Practice. Leiden: Kluwer Law International, 2009.

Vanistendael, Frans. “Neutrality and the Limits of VAT.” Dalam Selected Issues in European Tax Law: The Legal Character of VAT and the Application of General Principles of Juctice, ed. Dirk Albregtse dan Han Kogels. The Hague: Kluwer Law International, 1999.

Artikel:

AT, Salamun. “Penjelasan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang.” Kompas, 21 April 1984.

Bawazier, Fuad. “Reformasi Pajak di Indonesia.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8, April 2011, 1.

Cnossen, Sijbren. “Global Trends and Issues in Value Added Taxation.” International Tax and Public Finance, Vol. 5, No. 3, 1998.

Darussalam. “Menyoal Penamaan Pajak Pertambahan Nilai.” Bisnis Indonesia, 6 Oktober 2017.

Frenkel, Jacob, Assaf Razin, dan Efraim Sadka. “International Taxation in an Integrated World.” NBER Working Paper, No. 3540 (1992).

van Brederode, Robert F. dan Markus Susilo. “The VAT in the Arab Countries of the Gulf Cooperation Council.” International VAT Monitor (Volume 28), November 2017.

van Doesum, Ad dan Gert-Jan van Norden. “The Right To Deduct under EU VAT.”

International VAT Monitor, September/Oktober 2011.

Keen, Michael dan Ben Lockwood. “Is The VAT a Money Machine.” National Tax Journal, Vol. LIX No. 4, Desember 2006.

Internet:

“Chapter Eight: Value-Added Tax”. Internet. Dapat diakses melalui:

https://govinfo.library.unt.edu/taxreformpanel/final-report/TaxPanel_8-9.pdf.

Cnossen, Sijbren. “The Technical Superiority of VAT over RST.” HeinOnline 4 Austl.

Tax F. 419, (1987): 424. Internet. Dapat diakses melalui:

http://heinonline.org.

BAB 1:

Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Endhoven, Arjan. “The Silver Lining: The impact of an ageing population on the global property market,” BDO Global. Internet. Dapat diakses melalui:

https://www.bdo.global/en-gb/blogs/real-estate-construction-blog/november-2016/the-silver-lining-the-impact-of-an-ageing-populat.

OECD. “Annex A Consumption Tax Trends 2016: VAT/GST Excises Rates Trends and Policy Issues.” Internet. Dapat diakses melalui:

http://www.keepeek.com/Digital-Asset- Management/oecd/taxation/consumption-tax-trends-2016_ctt-2016-en#.WaTCs5MjF-U.

PwC. “Japan: Corporate-Other Taxes.” Internet. Dapat diakses melalui:

http://taxsummaries.pwc.com/ID/Japan-Corporate-Other-taxes.

Yoshikawa, Hiroshi. “Japan’s ageing population and public deficits.” EastAsia Forum.

Internet. Dapat diakses melalui:

http://www.eastasiaforum.org/2012/06/21/japans-aging-population-and-public-deficits/.

Peraturan:

Republik Indonesia. Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran.

______. Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan.

______. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahaan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

______. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tahun 1959 Nomor 20 dan 24.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

Ruang Lingkup

Dalam dokumen PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (Halaman 44-54)