• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat Penyerahan Jasa

Dalam dokumen PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (Halaman 192-200)

Tempat Terutangnya

C. Tempat Penyerahan Jasa

Untuk jasa, yang dimaksud dengan tempat penyerahan adalah tempat di mana jasa “diberikan”. Istilah dari “diberikan” ini mengacu pada tempat jasa tersebut dilakukan. Selain istilah “diberikan”, cara kedua yang digunakan dalam menentukan di mana terjadinya penyerahan jasa adalah tempat kedudukan dari pihak yang menyerahkan jasa atau tempat di mana pihak yang menyerahkan jasa berada. Negara yang menerapkan cara kedua ini, antara lain adalah UK dan Selandia Baru.

Kedua alternatif penentuan tempat penyerahan jasa di atas tidak sama sehingga identifikasi tempat penyerahan jasa yang dihasilkan keduanya akan berbeda.

Misal, A Corp, perusahaan di Negara A, menyerahkan jasa periklanan kepada B Ltd, perusahaan di Negara B. Untuk menyerahkan jasa tersebut, A Corp

17 Richard Thornton dan Thenesh Kannaa, Malaysia Master GST Guide 2017 3rd Edition (Malaysia: Commerce Clearing House Sdn Bhd, 2017), 198.

18 Wolters Kluwer dan Deloitte, Op.Cit.,66 .

19 Ibid.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

mengirimkan pegawainya ke Negara B. Dengan menggunakan aturan tempat penyerahan jasa yang mengacu pada lokasi dari pemberian jasa, tempat penyerahan jasa adalah di Negara B.

Sementara itu, apabila mengacu pada alternatif kedua yang menetapkan tempat penyerahan jasa adalah di lokasi pihak yang menyerahkan jasa, tempat penyerahan atas jasa tersebut adalah di Negara A. Adanya perbedaan tersebut ditanggapi oleh Tait dengan berpendapat bahwa penentuan tempat penyerahan jasa yang mengacu pada lokasi dari pihak yang menyerahkan jasa merupakan sesuatu yang tidak biasa dalam ketentuan peraturan perundang-undangan PPN sehingga aturan ini banyak digantikan dengan aturan tempat penyerahan jasa yang mengacu pada tempat di mana jasa “diberikan” atau “dilakukan”.

Lebih lanjut, Tait menjelaskan bahwa terdapat tiga poin yang bisa dijadikan cara untuk menentukan tempat penyerahan jasa sebagai berikut:20

(i) Penyerahan jasa yang berhubungan dengan tanah (contohnya, jasa agen real estate dan arsitek) dianggap diberikan di tempat di mana tanah tersebut berada.

(ii) Jasa pengangkutan internasional atas orang atau penumpang, dianggap diserahkan di luar wilayah teritorial negara.

(iii) Jasa yang berhubungan dengan seni, olahraga, pendidikan, dan juga jasa perpindahan barang, dianggap diserahkan di tempat jasa tersebut dilakukan secara nyata.

Dari pendapat Tait di atas dapat disimpulkan bahwa aturan tempat penyerahan jasa tidak dapat dipersamakan untuk semua jenis jasa. Aturan tempat penyerahan jasa ini harus memperhatikan karakteristik dari tiap jenis jasa serta kondisi dari transaksi yang terjadi. Suatu negara bisa menciptakan suatu aturan umum mengenai tempat penyerahan jasa. Akan tetapi, aturan umum ini harus dilengkapi dengan aturan yang berlaku khusus untuk jenis jasa tertentu yang juga mempunyai karakteristik atau kondisi khusus. Dengan cara ini, akan dihasilkan aturan tempat penyerahan jasa yang komprehensif dan jelas yang pada akhirnya dapat menghilangkan ketidakpastian dan mencegah terjadinya sengketa.

Dapat dikatakan, VAT Directive yang merupakan ketentuan PPN bagi negara anggota Uni Eropa, mempunyai aturan yang cukup komprehensif mengenai penentuan tempat terutangnya PPN atas jasa. Sejak pertama kali diperkenalkan di Eropa pada pada tahun 1968 sampai 1973, VAT Directive yang berlaku saat

20 Alan A. Tait, 371-372.

BAB 6:

Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu21 memang sudah menetapkan bahwa tempat terutangnya PPN atas jasa adalah tempat di mana jasa diberikan atau digunakan. Meskipun demikian, masing-masing negara anggota tetap memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri aturan mengenai tempat terutangnya PPN atas jasa. Oleh karena itu, aturan penentuan tempat terutangnya PPN atas jasa yang diadopsi oleh masing-masing negara anggota Uni Eropa bisa saja berbeda, misal:22

(i) Di Prancis, tempat penyerahan jasa mengacu pada tempat di mana jasa digunakan secara efektif;

(ii) Di Belgia, Luksemburg, Italia, tempat penyerahan jasa mengacu pada tempat di mana jasa digunakan secara efektif atau tempat pihak yang menyerahkan jasa mendirikan kegiatan usahanya;

(iii) Di Irlandia dan Denmark, tempat penyerahan jasa mengacu pada tempat di mana jasa dilakukan;

(iv) Di Jerman, tempat penyerahan jasa mengacu pada tempat di mana kegiatan usaha dari pihak yang menerima jasa didirikan;

(v) Di Belanda, tempat penyerahan jasa mengacu pada tempat di mana kegiatan usaha dari pihak yang menyerahkan jasa didirikan.

Adanya penetapan tempat penyerahan jasa yang berbeda-beda, menyebabkan Dewan Menteri Uni Eropa mencoba merumuskan kembali aturan tempat penyerahan jasa dengan memprioritaskan hal-hal berikut:23

(i) pemajakan atas penyerahan jasa di negara tempat jasa di konsumsi;

(ii) netralitas PPN dan tidak adanya pajak berganda;

(iii) menghindari terjadinya situasi tidak adanya pemajakan sama sekali, khususnya di negara ketiga

Dalam VAT Directive yang berlaku saat ini, aturan umum mengenai tempat penyerahan jasa dirumuskan dalam Pasal 43 VAT Directive, yaitu tempat penyerahan jasa adalah tempat pihak yang menyerahkan jasa didirikan atau memiliki tempat tetap, di mana jasa yang diserahkan berasal dari tempat tersebut.24 Namun, penentuan tempat penyerahan jasa dalam VAT Directive tetap harus memperhatikan status dari pihak yang menerima jasa, apakah PKP

21 Council Directive EEC 67/228 atau dikenal dengan Second VAT Directive.

22 Christian Amand, “VAT and The Place of Supply Services,” European Taxation, IBFD, July/August 2003, 267.

23 Ibid.

24 Oskar Henkow, Financial Activities in European VAT: A Theoritical and Legal Research of The European VAT System and The Actual and Preffered Treatment of Financial Activities (The Netherlands: Kluwer Law International, 2008), 230.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

atau bukan PKP.25 Atau dengan kata lain, penentuan tempat penyerahan bergantung pada pertanyaan apakah penyerahan tersebut adalah penyerahan antar kegiatan usaha (Business-to Business (B2B)) atau penyerahan antara kegiatan usaha dan konsumen secara pribadi (Business-to-Customer (B2C)).26 Kesimpulannya, berdasarkan pada jenis jasa yang diserahkan, berikut aturan tempat penyerahan jasa yang mungkin diterapkan menurut VAT Directive:27 (i) Aturan umum B2B yang mengatur bahwa tempat penyerahan jasa adalah

tempat pihak yang menerima jasa (PKP) mendirikan kegiatan usahanya.

Namun, apabila suatu jasa ternyata diberikan kepada tempat lain selain tempat PKP mendirikan kegiatan usahanya, tempat penyerahan atas jasa ditentukan di tempat lainnya tersebut.

(ii) Aturan umum B2C yang mengatur bahwa tempat penyerahan jasa adalah tempat pihak yang menyerahkan jasa mendirikan kegiatan usahanya. Ini berlaku sepanjang pihak yang menerima jasa bukan PKP. Apabila pihak yang menyerahkan jasa tidak mempunyai tempat kegiatan usaha atau tempat tetap lainnya, tempat penyerahan jasa ditetapkan di tempat tinggal permanen dari pihak yang menyerahkan jasa atau di tempat ia biasanya menetap.

Selain merumuskan aturan umum tentang tempat penyerahan atas jasa, VAT Directive juga telah mengatur secara khusus tempat penyerahan atas sejumlah jasa yang bersifat spesifik. Aturan khusus ini biasanya tidak mengikuti aturan umum yang berlaku. Atau, disebut juga pengecualian dari aturan umum tempat penyerahan jasa. Tabel 6.2 berikut berisi rangkuman pengecualian dari aturan umum tempat penyerahan jasa yang diatur secara khusus dalam VAT Directive:

Tabel 6.2: Aturan Pengecualian dari Aturan Umum Tempat Penyerahan Jasa yang Diatur Secara Khusus dalam VAT Directive

No. Jenis Penyerahan Tempat Penyerahan 1. Penyerahan jasa oleh perantara

dalam konteks B2C Tempat perantara bertindak atas nama pihak yang diwakilinya. Misal, sebuah agen perjalanan di United Kingdom (UK), bertindak atas nama kliennya yang juga bertempat kedudukan di UK (bukan PKP). Agen ini kemudian mengatur akomodasi hotel kliennya pada sebuah

25 Sebagai upaya menentukan apakah pihak yang menerima jasa merupakan PKP atau bukan, aturan penentuan status PKP sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4 tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus dianalisis secara seksama.

26 Tax World, “VAT: How is the place of supply of services determined?,” Internet, dapat diakses melalui https://www.taxworld.ie/vat/vat-place-supply-services-determined/.

27 Christian Amand, Op.Cit., 267.

BAB 6:

Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hotel di Spanyol. Dalam kasus ini, tempat penyerahan jasa ditetapkan di Spanyol, yaitu tempat agen tersebut bertindak atas nama klien yang diwakilinya.

2. Penyerahan jasa sehubungan

dengan harta tidak bergerak Tempat harta tidak bergerak berada.

3. Penyerahan jasa transportasi Tempat penyerahan jasa ini dibedakan berdasarkan tipe pengangkutan sebagai berikut:

(i) apabila yang diangkut adalah penumpang, tempat penyerahan jasa adalah tempat terjadinya

pengangkutan;

(ii) apabila yang diangkut adalah barang, pengecualian dari aturan umum hanya berlaku untuk penyerahan jasa pengangkutan dalam konteks B2C (untuk B2B tetap menggunakan aturan umum). Apabila penyerahan jasa transportasi terjadi antar negara anggota Uni Eropa, penyerahan dianggap terjadi di tempat keberangkatan. Sementara itu, apabila penyerahan jasa transportasi terjadi antara negara anggota Uni Eropa dengan negara lain selain negara anggota, tempat penyerahan jasa adalah tempat terjadinya pengangkutan.

4. Penyewaan alat transportasi Tempat penyerahan jasa penyewaan alat transportasi dibedakan berdasarkan lamanya masa sewa sebagai berikut:

(i) dalam kasus sewa jangka pendek, tempat penyerahan atas jasa ini adalah tempat diberikannya alat transportasi kepada konsumen;

(ii) sewa selain sewa jangka pendek, tempat penyerahan jasa adalah tempat konsumen atau pihak yang menyewa alat transportasi tersebut didirikan. Perlu diperhatikan, pengecualian ini hanya berlaku dalam konteks B2C.

Konsep dan Studi Komparasi jasa adalah tempat acara berlangsung.28 Sementara itu, dalam konteks B2C, tempat penyerahan jasa adalah tempat kegiatan secara aktual dilaksanakan.

6. Penyerahan jasa restoran dan

katering Tempat di mana jasa secara fisik dilakukan. Aturan ini tidak berlaku restoran dan katering yang terdapat di atas kapal, pesawat, atau kereta.

7. Restoran dan katering yang disediakan di atas kapal, pesawat, atau kereta yang membawa penumpang

Titik keberangkatan penumpang

8. Jasa telekomunikasi, penyiaran , dan jasa elektronik dalam

Sumber: diolah oleh Penulis dari Antonio Calisto Pato dan Marlon Marques, Fundamentals of VAT (Middletown, 2014), 65-94.

India juga merupakan salah satu negara yang sudah menetapkan secara jelas dan rinci tempat penyerahan jasa untuk tujuan PPN dalam suatu ketentuan khusus yang disebut Place of Provision of Services Rules, 2012.30 Berdasarkan aturan ini, tempat penyerahan jasa pada umumnya ditetapkan di lokasi dari pihak penerima jasa.31 Namun, apabila lokasi dari penerima jasa tidak dapat diketahui, tempat penyerahan jasa ditetapkan di lokasi pihak yang menyerahkan jasa tersebut.

28 Aturan ini terbatas hanya untuk jasa izin penyelenggaraan acara kebudayaan, kesenian, olahraga, keilmuan, entertainmen, dan acara serupa lainnya. Lihat Antonio Calisto Pato dan Marlon Marques, Op.Cit.,

29 Jasa tidak berwujud yang terdapat dalam VAT Directive adalah seperti jasa periklanan, jasa konsultasi, teknik, hukum, akuntan, keuangan, perbankan, jasa outsourcing, dan jasa lainnya. Lihat Pasal 55 VAT Directive. European Union, “COUNCIL DIRECTIVE 2006/112/EC of 28 November 2006 on the common system of value added tax,”

Internet, dapat diakses melalui

http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=OJ:L:2006:347:0001:0118:en:PDF.

30 CA Atul Kumar Gupta, GST: Concept & Roadmap (India: LexisNexis, 2015), 122.

31 Aturan ini berlaku sepanjang jasa yang diserahkan adalah jasa selain informasi online atau akses database. Lihat “Place of Provision of Services Rules, 2012,” Internet, dapat diakses melalui http://www.cbec.gov.in/resources//htdocs-servicetax/strules-place-of-provsn.pdf.

BAB 6:

Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) D. Tempat Terutangnya PPN dalam Transaksi Lintas Batas (Cross Border

Transaction)

Tait menyebutkan bahwa untuk dapat dikenakan PPN, penyerahan barang dan/atau jasa harus dilakukan di dalam suatu negara.32 Pada dasarnya, dalam konteks penerapan PPN secara domestik, pertanyaan mengenai tempat terutangnya PPN tidak relevan karena transaksi domestik hanya melibatkan satu negara atau satu yurisdiksi pajak.33 Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Terra sebagai berikut:34

“The doctrine of the place of supply in the value added tax does not play a role in transactions which are restricted to only one tax jurisdiction and persons belonging to that jurisdiction.”

(dengan penambahan penekanan) Akan tetapi, dalam transaksi lintas batas yang melibatkan dua negara atau lebih, penentuan tempat terutangnya PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa merupakan kriteria yang penting. Ini dikarenakan tempat terutangnya PPN akan menentukan yurisdiksi mana yang berhak mengenakan PPN atas transaksi lintas batas yang terjadi35 sehingga diketahui pula sistem PPN negara manakah yang diterapkan atas penyerahan barang dan/atau jasa tersebut.36 Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa penentuan tempat penyerahan dalam transaksi lintas batas memegang peranan penting dalam alokasi pajak untuk transaksi lintas batas.37

Penentuan tempat terutangnya PPN dalam transaksi lintas batas menjadi isu utama bagi sebagian besar negara yang menerapkan PPN. Di negara federal dan juga negara yang tergabung dalam Uni Eropa, isu ini mendorong negara-negara tersebut untuk saling berkoordinasi dalam penerapan PPN atas transaksi lintas batas. Contoh nyata bentuk koordinasi antar negara dalam penerapan PPN atas

32 Alan A. Tait, Op.Cit., 371.

33 Yurisdiksi pajak tidak selalu merupakan teritorial nasional dari sebuah negara.

Beberapa wilayah dalam suatu teritorial negara dapat saja dikecualikan sebagai yurisdiksi pajak. Atau dalam kasus lain, dalam satu teritorial negara terdapat berbagai yurisdiksi pajak berbeda. Misal, yurisdiksi pajak tingkat negara bagian atau tingkat propinsi.

34 Ben Terra, The Place of Supply in European VAT (United Kingdom: Kluwer Law International Ltd., 1998), 1.

35 Ini merupakan pertanyaan dasar yang muncul dalam penerapan PPN atas transaksi lintas batas sebagaimana dinyatakan oleh Peffekoven: “…the basic question is as follows:

under whose jurisdiction should international trade be placed, i.e. who should exercise the right to tax exports and imports of goods, services and capital?” Lihat Rolf Peffekoven,

“The Destination Principle and Origin Principle and Taxation in International Trade,”

University of Bochum Journal, Vol. III, 281.

36 Antonio Calisto Pato dan Marlon Marques, Op.Cit., 55.

37 Sebastian Pfeiffer, Op.Cit., 201.

Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai

transaksi lintas batas38 adalah sebagaimana yang dilakukan negara-negara Uni Eropa sehingga menghasilkan VAT Directive.

D.1. Tempat Terutangnya PPN dalam Transaksi Lintas Batas berupa Barang Berwujud

Secara umum, penentuan tempat terutangnya PPN dalam transaksi lintas batas berupa barang berwujud bukanlah sesuatu yang rumit. Karena, barang berwujud memiliki karakteristik yang keberadaannya dapat diidentifikasi dengan mudah. Meskipun demikian, masih terdapat masalah terkait penentuan tempat terutangnya PPN atas barang berwujud. Masalah yang dihadapi dalam penentuan tempat terutangnya PPN dalam transaksi lintas batas terkait dengan barang berwujud dapat diilustrasikan sebagai berikut:39 Pengusaha di Milano (Italia) menyerahkan sebuah mobil yang dipesan oleh pembeli yang tinggal di Amsterdam (Belanda). Mobil tersebut diangkut dari Milano ke Amsterdam.

Terkait penentuan tempat terutangnya PPN atas transaksi ini, terdapat dua alternatif yang dapat digunakan.

Pertama, tempat terutangnya PPN adalah di Belanda sebagai negara pengimpor.

Ini sesuai dengan karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi karena di negara inilah barang tersebut dinikmati oleh si pembeli. Namun, penetapan Belanda sebagai tempat terutangnya PPN dapat menimbulkan masalah apabila ketentuan PPN di Belanda mewajibkan pihak penjual sebagai pihak yang memungut dan menyetorkan PPN atas impor. Sementara dalam kasus ini, penjual merupakan pihak yang berada di luar yurisdiksi pemajakan Belanda.

Kedua, tempat terutangnya PPN adalah di Milano sebagai negara pengekspor.

Jadi, PPN dikenakan pajak di Italia. Namun, pengenaan PPN ini dapat menimbulkan masalah karena pengenaan PPN terjadi bukan di negara tempat barang dikonsumsi atau dimanfaatkan. Ditambah lagi, alternatif kedua ini akan semakin kompleks ketika Italia tidak menerapkan tarif 0% atas penyerahan mobil ke wilayah di luar negaranya, sedangkan Amsterdam tetap mengenakan PPN atas penyerahan mobil tersebut. Dalam kasus ini, isu pajak berganda sangat rentan terjadi.

Merespon adanya masalah penentuan tempat terutangnya PPN atas impor barang berwujud dan juga terkait dengan ekspor barang berwujud, terdapat dua aturan umum mengenai penentuan tempat terutangnya PPN dalam

38 Victor Thuronyi, Comparative Tax Law (The Netherlands: Kluwer Law International, 2003), 327.

39 Ben Terra, “Sales Taxation: The Case of Value added Tax in the European Community,”

dalam Series on International Taxation No. 8 (Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988), 99.

BAB 6:

Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) transaksi lintas batas berupa barang berwujud, yaitu aturan tempat terutangnya PPN atas impor dan ekspor.

(i) Tempat Terutangnya PPN atas Impor Barang Berwujud

Berdasarkan prinsip destinasi, tempat terutangnya PPN atas impor barang berwujud adalah di tempat di mana barang tersebut dikonsumsi. Oleh karenanya, pengenaan PPN atas impor barang berwujud tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan oleh PKP atau bukan PKP.40

Atas impor barang berwujud, PPN terutang pada saat barang telah memasuki suatu negara yang penentuannya diatur oleh ketentuan peraturan perundang-undangan Kepabeanan dan Cukai. Aturan ini tetap berlaku meskipun tidak terdapat bea masuk yang terutang. Aturan ini penting untuk mengklarifikasi ke mana tujuan barang impor serta karakteristik dari barang impor tersebut.

Tempat tujuan impor barang juga menjadi acuan bagi VAT Directive dalam menentukan tempat terutangnya PPN atas impor barang berwujud. Pasal 7 ayat (2) VAT Directive menyebutkan bahwa: “the place of import of goods is the place where the Member State within the territory of which the goods are when they enter the Community.”41

Rumusan pasal ini menunjukkan bahwa kata kunci dalam menentukan tempat terutangnya PPN atas impor barang adalah ke mana tujuan impor barang. Atau pada prinsipnya, PPN atas impor barang dikenakan di negara tempat barang dimasukkan. Sebagai contoh, penyerahan minyak dari Rusia ke Belanda akan dikenakan PPN menurut ketentuan PPN Belanda pada saat minyak tersebut melalui Kepabeanan dan Cukai Belanda.42

Pada praktiknya, PPN atas impor akan dipungut oleh otoritas kepabeanan dan cukai dan dihitung bersamaan dengan nilai kepabeanan atau cukai yang terutang.43 Hampir semua negara menerapkan praktik ini dan PPN akan dibayar oleh importir yang tercatat, yaitu bisa penjual, pembeli, atau pihak ketiga. Kecuali, di Amerika Serikat, di negara ini, otoritas kepabeanan dan cukai tidak terlibat dalam pemungutan Pajak

40 Robert F. van Brederode, Systems of General Sales Taxation: Theory, Policy and Practice (The Netherlands: Kluwer Law International, 2009), 224.

41 Ben Terra, Op.Cit., 275.

42 European Commission, “Where to Tax?,” Internet, dapat diakses melalui https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/vat/eu-vat-rules-topic/where-tax_en.

43 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Value Added Tax: A Comparative Approach (United Kingdom: Cambridge University Press, 2007), 202.

Dalam dokumen PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (Halaman 192-200)