Lingkup Teritorial Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Konsep Umum
A. Konsep Umum
Ben Terra menjelaskan bahwa terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik mengenai ruang lingkup PPN, antara lain sebagai berikut:1
(i) Ruang lingkup PPN tidak mempermasalahkan siapa yang menjadi PKP, di mana PKP tersebut tinggal, atau lokasi tempat tetap dari PKP tersebut.
Sepanjang PKP menjalankan kegiatan ekonomi secara independen, konsep PPN akan berlaku atas kegiatan ekonomi yang dilakukan PKP.
(ii) Akan tetapi, kegiatan ekonomi ini menjadi tidak relevan apabila kegiatan ekonomi yang dilakukan merupakan penyerahan barang atau jasa yang tidak memiliki ‘nilai’.
(iii) Kedua poin di atas menjadi tidak relevan apabila kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh PKP terjadi di luar lingkup teritorial PPN yang telah ditetapkan oleh suatu negara. Karena, untuk dapat dikenakan PPN, suatu kegiatan ekonomi harus dilakukan di dalam wilayah teritorial dari suatu negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkup teritorial PPN merupakan salah satu kriteria dalam menentukan apakah suatu transaksi merupakan transaksi yang dikenakan PPN atau tidak. Khususnya bagi transaksi lintas batas, yaitu ekspor dan impor. Karena, penentuan apakah suatu transaksi merupakan ekspor atau impor sangat bergantung pada pengertian lingkup teritorial PPN suatu negara. Oleh karena itu, sangat penting bagi suatu negara
1 Ben Terra, “Sales Taxation: The Case of Value added Tax in the European Community”, dalam Series on International Taxation No. 8 (Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers), 77.
BAB 3
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
untuk mengatur mengenai lingkup teritorial PPN dalam ketentuan peraturan perundang-undangan PPN.2
PPN merupakan pajak tidak langsung yang berfokus pada transaksi atau penyerahan. Dengan demikian, kriteria utama yang menentukan lingkup teritorial pengenaan PPN adalah dengan mengacu pada lokasi terjadinya transaksi. Apabila suatu transaksi terjadi di dalam wilayah teritorial negara, transaksi tersebut dapat dikatakan masuk dalam ruang lingkup transaksi yang dikenakan PPN.3
Hampir seluruh negara telah memiliki ketentuan yang rinci untuk mengidentifikasi lokasi terjadinya transaksi. Misalnya, lokasi dari transaksi penjualan domestik, impor, atau ekspor. Ketentuan inilah yang akan membatasi sejauh mana yurisdiksi pengenaan PPN suatu negara dapat diterapkan sejalan dengan lingkup teritorial PPN yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan PPN negara tersebut.4
Perlu diperhatikan bahwa tiap negara bebas menentukan wilayah mana saja dalam negaranya yang masuk dalam lingkup teritorial PPN dan mana yang tidak. Sebagai contoh, Uni Eropa telah mengatur secara jelas lingkup teritorial PPN melalui VAT Directive. Berdasarkan VAT Directive, lingkup teritorial PPN Uni Eropa terdiri dari tiga wilayah geografis yang berbeda:
(i) Wilayah teritorial dari negara anggota Uni Eropa yang bersangkutan;
(ii) Wilayah teritorial Uni Eropa. Oleh karena tidak ada batasan sehubungan dengan penyerahan barang yang terjadi antarnegara anggota Uni Eropa, PPN di Uni Eropa tidak mengenal ekspor dan impor antarnegara anggota.
Adapun penyerahan barang antarnegara anggota tersebut dinamakan transaksi intra komunitas (intra-community transaction);
(iii) Pengertian ekspor dan impor adalah transaksi dengan negara yang tidak tergabung dalam Uni Eropa (non-Uni Eropa).
Selain mengatur mengenai wilayah teritorial untuk tujuan PPN, VAT Directive juga menetapkan wilayah mana saja yang dikecualikan dari lingkup teritorial PPN Uni Eropa. Uniknya, pengecualian ini terdiri dari dua bentuk, yaitu negara bagian dan wilayah dari suatu negara anggota Uni Eropa.
2 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Value Added Tax: A Comparative Approach (United Kingdom: Cambridge University Press, 2007), 35.
3 David William, “Added Tax” dalam Tax Law Design and Drafting Chapter 6, Value-Added Tax, ed. Victor Thuronyi (Washington D.C.: International Monetary Fund, 1996), 170-171.
4 Alan Schenk dan Oliver Oldman, Op.Cit., 35.
BAB 3:
Lingkup Teritorial Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Contoh dari negara bagian yang tidak dianggap sebagai wilayah teritorial Uni Eropa untuk tujuan PPN adalah Andorra, Pulau Faroe, Greenland, Wilayah Luar Prancis, Netherland Antilles, San Marino, dan Kota Vatikan.5 Sementara itu, wilayah dari suatu negara anggota yang tidak termasuk dalam lingkup teritorial PPN Uni Eropa dapat dilihat melalui Gambar 3.1 berikut:
Gambar 3.1: Wilayah dari Suatu Negara Anggota yang Tidak Dianggap sebagai Wilayah Teritorial Uni Eropa untuk Tujuan PPN
Sumber: Antonio Calisto Pato dan Marlon Marques, Fundamentals of VAT (Middletown, 2014), 36.
Contoh lain, Meksiko mengatur lingkup teritorial untuk tujuan penerapan PPN melalui Federal Tax Code. Berdasarkan ketentuan ini, PPN hanya dikenakan atas transaksi tertentu yang dilakukan di teritorial nasional Meksiko sebagaimana didefinisikan dalam Federal Tax Code. Pasal 8 Federal Tax Code. Kemudian, menjelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan lingkup teritorial untuk tujuan PPN, yaitu dengan mendefinisikan istilah “Meksiko, “negara”, dan “teritorial nasional”. Termasuk, dalam lingkup teritorial PPN di Meksiko adalah zona ekonomi eksklusif (ZEE).6
Sama halnya dengan Meksiko, Malaysia telah mengatur bahwa semua penyerahan yang terjadi di Malaysia dianggap sebagai penyerahan yang dikenakan PPN. Lingkup teritorial untuk tujuan PPN di negara tersebut
5 Antonio Calisto Pato and Marlon Marques, Fundamentals of VAT (Middletown, 2014), 35.
6 Jun de la Cruz Higuera Ornelas, “VAT Global Trends: What Are the Lessons To Be Drawn for Mexico,” International VAT Monitor, Juli/Agustus 2017, 292.
(Siprus)
Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai
Negara X (Prinsip Asal) Negara Y (Prinsip Destinasi)
Ekspor hasil
produksi Impor dari
Negara X
Pajak Berganda
dikenakan PPN dikenakan PPN
tidak dikenakan PPN
Tidak ada pemajakan sama sekali Ekspor hasil
produksi Impor dari
Negara Y
Negara X (Prinsip Asal) Negara Y (Prinsip Destinasi)
mencakup semua negara bagian dan wilayah Malaysia, wilayah perairan dan dasar laut Malaysia, serta lapisan bawah tanah dari wilayah perairan tersebut.7 Dalam konteks transaksi lintas batas, terdapat dua prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan lingkup teritorial PPN, yaitu prinsip destinasi dan prinsip asal.8 Kedua prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pemungutan PPN yang digunakan banyak negara dalam perdagangan internasional. Namun, keduanya memiliki konsep pemungutan yang saling bertentangan9 sehingga interaksi antar keduanya dapat berpotensi menyebabkan timbulnya pajak berganda (double taxation) atau tidak ada pemajakan sama sekali (non-double taxation). Untuk memahami penjelasan ini, dapat dilihat pada contoh yang diilustraksikan melalui Gambar 3.2 berikut.
Gambar 3.2: Isu Pajak Berganda dan Tidak Ada Pemajakan Sama Sekali dari Adanya Perbedaan Penerapan Prinsip Pemungutan PPN
Sumber: diolah oleh Penulis.
7 Chan Quan Min, The Essential Guide to Malaysia GST (Singapore: John Wiley & Sons Singapore Pte. Ltd, 2015), 46-47.
8 David William, Op.Cit., 171.
9 Lihat Bab 1 tentang Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) poin E.2.
tidak dikenakan PPN
BAB 3:
Lingkup Teritorial Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dari Gambar 3.2 di atas, diketahui bahwa Negara X merupakan negara yang menerapkan prinsip asal, sedangkan Negara Y merupakan negara yang menerapkan prinsip destinasi. Berdasarkan prinsip pemungutan PPN yang diterapkan masing-masing negara, ekspor barang dari Negara X ke Negara Y akan dikenakan PPN di kedua negara tersebut sehingga terjadi pajak berganda.
Namun sebaliknya, ekspor barang dari Negara Y ke Negara X tidak dikenakan PPN, baik di Negara X maupun di Negara Y. Kondisi ini menyebabkan tidak ada pemajakan sama sekali atas ekspor barang tersebut.
Belum adanya kesepakatan internasional dalam menentukan prinsip pemungutan mana yang harus dianut suatu negara, merupakan salah satu alasan isu pemajakan berganda atau tidak ada pemajakan sama sekali ini muncul dalam penerapan PPN atas transaksi lintas batas. Akan tetapi, meskipun belum terdapat kesepakatan internasional mengenai penerapan prinsip pemungutan pajak di atas, pada praktiknya lebih banyak negara yang mengadopsi prinsip destinasi dibandingkan prinsip asal. Berdasarkan prinsip ini, PPN pada umumnya dikenakan dengan dua ketentuan berikut:10
(i) ketentuan yang mengenakan PPN atas semua transaksi di dalam negeri;
(ii) ketentuan yang mengenakan PPN atas semua transaksi yang menyangkut impor ke dalam negeri.
Selain itu, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga telah berupaya untuk mengatasi isu terkait pajak berganda dan isu tidak ada pemajakan sama sekali yang terjadi pada transaksi lintas batas ini, yaitu dengan mengembangkan suatu pedoman yang disebut dengan International VAT/GST Guidelines. Pedoman ini memberikan basis yang unik untuk pembuatan standar internasional dalam rangka penerapan PPN atas transaksi lintas batas di masa yang akan datang.11