• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian tata ruang masyarakat Toro

Dalam dokumen HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT (Halaman 39-48)

SULAWESI TENGAH Esti Munawaroh1) dan Y. Purwanto2)

8) Pembagian tata ruang masyarakat Toro

Mosambulu gana - Givu Hutan olahan (oma, Balingkea, Pohawa pongko)

Kebun, ladang, padang pengembalaan

-

Nompehulu manu

- Vunca Perkampungan Pemukiman, pekarangan,

kebun, dan desa

-

Nompehulu manu

- Vunca Sawah Tempat usahatani padi

sawah

- Nompehulu manu

- Vunca Perkebunan Kebun coklat, kopi, vanili Nompehul

manu

- Vunca Sumber: modifikasi dari Golar (2006)

Pada saat pembagian tata ruang atau sistem kategorisasi ini telah terjadi perubahan yang disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik. Intervensi ekonomi pasar lebih disebabkan perubahan preferensi ekonomi masyarakat akibat permintaan yang tinggi terhadap tanaman komersial di Toro, seperti: coklat (Theobroma cacao), kopi (Coffea sp), dan vanilla. Sementara itu, tekanan politik yang terjadi di Toro didominasi oleh

masalah-masalah ketidak-seimbangan hak penguasaan dan pemilikan lahan di Toro, dan melemahnya fungsi kontrol lembaga adat terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan (Golar, 2006). Sebagai akibatnya kawasan yang seharusnya sebagai kawasan cadangan dan kawasan perlindungan mulai dirambah untuk kegiatan usahatani tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomi.

8) Pembagian tata ruang masyarakat Toro

Masyarakat Toro telah membagi kawasannya sesuai dengan fungsinya dan diatur dengan aturan adat yaitu kawasan pemukiman, kawasan usahatani, kawasan konversi lahan, kawasan hutan dan kawasan yang dlindungi dan dikeramatkan (Gambar).

Pembagian tata ruang tersebut merupakan bentuk adaptasi masyarakat dalam memanfaatkan lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhannya. Melalui pembagian tata ruang tersebut masyarakat dapat memanfaatkannya sesuai dengan peruntukannya, sehingga dapat menjamin kelestariannya. Pembagian tata ruang masyarakat Toro memiliki nilai ekologis yang baik terutama dalam membagi kawasan sesuai dengan peruntukannya meliputi kawasan untuk kegiatan produksi: pesawahan dan kebun (palidaa), kawasan pemukiman (pongata), hutan sekunder tua > 25 tahun (pangale), hutan sekunder untuk perladangan (oma), dan kawasan yang harus dikonservasi: hutan primer (wana ngkiki) dan hutan primer (wana) (lihat Gambar). Melalui pembagian tata ruang ini masyarakat Toro sejauh ini merasa tidak mengalami kerugian akibat terdegradasinya lahan. Hal yang perlu diperhitungkan dalam pembagian tata ruang adalah proporsi setiap satuan lingkungan, sehingga tidak akan mengalami kerugian akibat proporsi kawasan yang kurang memadai. Misalnya proporsi antara kawasan konservasi dengan kawasan untuk kegiatan produksi harus proporsional dengan perbandingan 1 untuk kawasan konservasi dan 10 untuk kawasan kegiatan produksi, sehingga keseimbangan lingkungan akan tetap terjaga.

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 – ISSN:978-979-028-573-6

Gambar 4. Pembagian Tata Ruang dan Pemanfaatannya (Source: Golar, 2006)

a) Kawasan Pemukiman (pongata)

Perkampungan desa Sementara wilayah pemukiman dan pertanian desa Toro merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua barisan bukit yang menjulur ke luar. Hasilnya adalah sebuah perkampungan yang mengikuti kontur fisik yang ada membentuk seupa huruf “W” apabila dilihat dari sis dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman penduduk terkonsentrasi di salah satu potongannya yang hampir simetris, sementara wilayah persawahan tersebar merata di sepanjang jari-jari huruf “W” tersebut.

Gambar 5. Kawasan Pemukiman Masyarakat Toro (Sumber: Golar, 2007)

Pekarangan masyarakat Toro merupakan sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah dan di dalamnya terdapat bangunan rumah, bangunan lumbung padi, kandang hewan dan beranekaragam jenis tumbuh-tumbuhan. Pekarangan memiliki batas yang jelas baik berupa pagar dari kayu atau berupa pohon hidup yang menjadi tanda batas diantara pekarangan yang satu dengan yang lainnya. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di pekarangan pada masa lalu adalah terdiri dari jenis-jenis tanaman buah-buahan, tanaman sayur-sayuran, tanaman obat-obatan dan pohon besar yang tumbuh secara spontan dan selanjutnya dipelihara. Misalnya jenis Ficus, jenis pinang (Areca catechu), dan jenis tumbuhan penghasil kayu berkualitas seperti Castanopsis argentea,

Lithocarpus spp, Agathis philippinensis dan Philoclados hypophyllus dan lain-lainnya. Namun

keberadaan jenis tumbuhan penghasil kayu tersebut tidak mutlak harus ada dan tergantung dari pemiliknya. Pekarangan pada masa sekarang selain terdapat berbagai jenis tanaman tersebut di atas

juga terdapat beberapa jenis tanaman hias introduksi, seperti berbagai jenis tanaman bunga dan beberapa jenis buah-buahan introduksi seperti buah durian (Durio zibethinus), gambu (Psidium

guajava), rambutan (Nephelium lappaceum), sirsat

(Annona muricata), belimbing (Averrhoa bilimbi),

mangga (Mangifera indica), pisang (Musa sp.) dan

lain-lainnya. Pekarangan mempunyai peran penting terutama peran sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat Toro karena pekarangan dapat menyediakan berbagai hasil sampingan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sayur-sayuran, tumbuhan obat-obatan, buah-buahan dan lain-lainnya. Peran sosial yang menonjol dari pekarangan adalah hasil pekarangan tidak hanya dimanfaatkan oleh keluarga pemiliknya saja tetapi juga oleh kerabat dan tetangganya. Hasil inventarisasi di desa Toro terdapat > 130 jenis tumbuhan yang terdapat di pekarangan masyarakat Toro. Jenis-jenis tumbuhan di pekarangan tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai bahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan umumnya didominasi oleh jenis-jenis tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman obat-obatan, tanaman hias dan sebagian terdapat jenis-jenis tanaman perkebunan seperti coklat dan kopi.

Pekarangan juga berfungsi sebagai tempat domestikasi berbagai jenis tumbuhan hutan yang bermanfaat, misalnya jenis pinang hutan, jenis

Ficus sp., dan berbagai jenis tanaman hias seperti

jenis anggrek dan jenis-jenis tumbuhan obat seperti

Alstonia schoolaris.

b) Kawasan Usahatani (polidaa)

Sebagian besar masyarakat di desa Toro memiliki mata pencaharian sebagai petani yang mengusahakan usahatani padi lahan basah atau pesawahan dan kebun (polidaa) atau perladangan tanaman pangan seperti jagung (Zea mays), ubikayu (Manihot esculenta), ubijalar (Ipomoea batatas), dan berbagai jenis tanaman sayuran) dan mengusahakan tanaman perkebunan dengan komoditas utama tanaman coklat (Theobroma

cacao), kopi (Coffea spp.) dan beberapa petani

masih mengusahakan tanaman vanili. Kepemilikan lahan, sebagian besar (sekitar 75 %) masyarakat Toro memiliki sawah dan kebun; sekitar 17 % masyarakat hanya memiliki lahan sawah atau ladang saja; dan sebanyak 8 % masyarakat yang hanya memiliki ladang saja. Kepemilikan lahan sangat dipengaruhi oleh stratifikasi sosial masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki keturunan “maradika” atau kelompok bangsawan memiliki lahan yang luas. Untuk masyarakat dari strata todea atau rakyat biasa memiliki lahan yang terbatas, kecuali lahan hasil pembelian. Sedangkan untuk masyarakat dari strata batua atau budak, kepemilikan lahan sangat terbatas.

Sawah dan kebun Polidaa

Pongata Pemukiman

Hutan primer, tidak boleh dibuka Habitat satwa & perlindung-an tata air. Tidak boleh dibuka Wana Wana Ngkiki Pangale Hutan sekun-der dibuka >25 thn lalu. Dibuka dgn izin adat Oma Hutan sekunder dibuka 15 tahun lalu. Dapat dibuka untuk pertanian

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 – ISSN:978-979-028-573-6

1) Pesawahan

Sudah sejak lama komunitas Toro dan desa-desa di sekitarnya mengenal budidaya padi sawah yang didukung oleh sistem irigasi yang baik dan teratur. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini pada masa lampau memiliki kebudayaan yang relatif tinggi. Sebab, sistem irigasi semacam itu hanya dimungkinkan pada suatu pemerintahan yang efektif yang sanggup memobilisir tenaga kerja yang banyak dan mampu membagi serta menata air secara teratur. Orang yang dianggap berjasa dalam mengembangkan sistem pertanian ni adalah “Balu”. Dialah orang pertama yang memperkenalkan cara bercocok tanam padi di sawah kepada rakyatnya. Selain itu Balu juga dianggap berjasa dalam mengembangkan sistem pertahanan yang kuat dengan membentuk pasukan yang terlatih berperang. Pada masa lampau, peperangan antar suku memang sering terjadi di daerah ini. Selama masa kepemimpinan Balu ini, hegemoni Kulawi menjangkau kawasan yang sangat luas, yang mencapai daerah Rampi, Seko, Rongkong dan Bada di sebelah selatan, dan Parigi di bagian Timur (Garang, 1985).

Sampai sekarangpun Toro masih merupakan daerah penghasil beras yang penting. Hingga beberapa dasawarsa silam, Toro masih terdapat lusinan varietas padi lokal yang dikenal seperti varietas: hamonu, toburasa (padi ladang) dan juga lelo kuru, halaka, kanari, gembira,

togomigi, garangka, bengawan, baraya, dan banca rone (padi sawah) yang kesemuanya ini telah

punah. Selain itu juga ada tingkalolo merah,

tingkaloko hitam, topada, sia, raki, pulut karangi, dan pulu bete (padi sawah) yang mulai jarang

diranam lagi.

Berbagai varietas lokal ini sebagiannya mulai punah sejak diperkenalkannya padi-padi varietas unggul pada tahun 1970an yang umumnya jauh lebih pendek dan memberikan hasil lebih banyak. Pertanian padi ladang bahkan telah ditinggalkan sama sekali setelah menjamurnya budidaya coklat sejak awal tahun 1990an di daerah ini. Satu-satunya padi varietas lokal yang sekarang masih sering ditanam adalah raki.

Sistem usahatani pesawahan masyarakat Toro tergolong ramah lingkungan karena sebagian besar masyarakat petani sawah menggunakan pupuk organik dalam kegiatan usahataninya. Sehingga kawasan ini dikenal sebagai penghasil beras organik.

2) Usahatani tanaman perkebunan

Usahatani tanaman perkebunan yang diusahakan masyarakat Toro adalah tanaman coklat, kopi dan vanili. Tanaman coklat ditanam secara monokultur dengan naungan pohon pelindung dan secara sistem agroforestry ditanam dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan jenis pohon penghasil kayu bakar dan kayu bahan

bangunan. Tanaman coklat pada saat ini memiliki nilai ekonomi penting bagi pendapatan masyarakat di kawasan ini. Pendapatan petani dari kebun coklat berkisar antara 30-70 % tergantung dari luasnya lahan yang mereka miliki. Luas kepemilikan lahan berkisar antara 0,5 – 10 ha (Purwanto dkk., 2012). Kebun kopi di desa Toro mulai berkurang luasannya dan sebagian telah dikonversi menjadi kebun coklat karena mereka berpendapat bahwa berkebun coklat lebih menguntungkan pada saat ini. Kegiatan perkebunan kopi dilakukan secara tumpangsari dengan jenis-jenis tanaman buah-buahan dan pohon pelindung lainnya. Sebagian masyarakat menanam kopi di antara pohon-pohon besar di kawasan konservasi, sehingga hal ini yang menimbulkan konflik dengan pengelola kawasan konservasi. Sedangkan usahatani tanaman vanili sudah mulai ditinggalkan setelah harga vanili jatuh dan dianggap tidak menguntungkan.

3) Jenis tanaman budidaya lainnya: buah-buahan

Hasil buah-buahan seperti durian (Durio

zibethinus), mangga (Mangifera indica), nangka

(Artocarpus heterophyllus) dan pisang (Musa sp.) memiliki nilai penting bagi pendapatan masyarakat di desa Toro. Walaupun hasil buah-buahannya ini sifatnya musiman, namun pada masa panen, hasilnya cukup penting bagi perekonomian rumah tangga msyarakat di desa Toro, terutama buah durian.

Sedangkan untuk jenis-jenis tanaman sayuran hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten) dan jarang dijual-belikan. Sebenarnya peluang untuk menjadi petani sayuran di kawasan ini cukup besar mengingat kawasan di desa ini memiliki potensi besar untuk pengembangan tanaman sayuran. Potensi yang lainnya adalah beternak sapi, kambing, ayam dan itik.

c) Usahatani Perladangan (Polidaa)

Menurut masyarakat Toro lahan perladangan (polidaa) adalah merupakan sebidang tanah yang berasal dari hutan yang dibuka menjadi ladang dan diusahakan berbagai jenis tanaman pangan seperti padi (Oryza sativa), jagung (Zea

mays), ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar

(Ipomoea batatas), talas (Colocasia esculenta),

kacang tanah (Arachis hypogaea) ; berbagai jenis

tanaman sayur-sayuran : cabe (Capsicum annum dan Capsicum frustescens), bawang merah (Allium

cepa), bawang putih (Allium sativum), daun bawang

(Allium sp.), labu (Lagenaria moschata), kacang panjang (Vigna unguiculata), bayam (Amaranthus spp.), dan jenis tanaman semusim lainnya, seperti tebu (Saccharum officinale), serai (Andropogon

nardus), dan lain-lainnya. Ladang pada jaman

dahulu hanya diusahakan sekali tanam yang selanjutnya lahan tersebut ditinggalkan (7-12 bulan, satu kali siklus tanam). Sehingga jenis-jenis tanaman yang diusahakan adalah jenis-jenis tanaman pangan semusim. Ladang pada masa kini

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 – ISSN:978-979-028-573-6

dapat diusahakan berkali-kali sesuai dengan tingkat kesuburan lahan. Oleh karena itu jenis tanaman budidaya yang diusahakan memiliki keanekaragaman yang lebih bervariasi dan mulai ditanami pula jenis-jenis tanaman tahunan seperti tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan. Jenis-jenis tanaman buah-buahan yang diusahakan antara lain : pepaya (Carica papaya), jambu (Psidium guajava), pisang (Musa spp.), mangga (Mangifera indica), jeruk (Citrus spp.), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan lain-lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kopi (Coffea robusta) dan coklat (Theobroma cacao).

9) Pemanfaatan dan pengelolaan SDAH

Pemanfaatkan sumber daya alam hayati, khususnya sumber daya hutan oleh masyarakat desa Toro dilakukan dengan suatu sistem yang dibangun berdasarkan kearifan lokal. Sistem pengelolaan tersebut dilakukan berdasar aturan yang dibuat oleh para pemimpin adat lokal, dimana para tokoh tersebut terbagi menjadi beberapa tingkatan antara lain Totua Ngata, Mardika Ngata dan Tina Ngata. Keberadaan sistem tata adat di desa Toro menjadi penting terkait kelestarian kawasan hutan dan sumber daya yang ada di dalam kawasan. Para tokoh lokal Totua Ngata, Mardika Ngata dan Tina

Ngata berperan besar dalam pengelolaan sumber

daya alam berdasar kearifan lokal.

Hasil inventarisasi dan identifikasi jenis tumbuhan berguna yang dimanfaatkan masyarakat Toro tercatat sekitar 300 jenis diantaranya adalah disajikan pada Tabel berikut:

TABLE IV. JUMLAH JENIS TUMBUHAN BERGUNA DI KAWASAN MASYARAKAT TORO, KULAWI Kategori pemanfaatan

tumbuh-tumbuhan Tumbuhan Berguna Jumlah Jenis

A. Tanaman budidaya (domesticated plants)

1. Makanan pokok 1 2. Makanan tambahan

2.1. Sayuran dan kacang-kacangan

12-15 2.2. Tanaman penghasil minyak 1 2.3. Ubi-ubian > 5 2.4. Rempah-rempah > 5 2.5. Bahan minuman 1-5 2.6. Buah-buahan dan biji-bijian >14 3. Makanan ternak 1 4. Penghasil latex dan resin 1 5. Penghasil serat atau karet 1

6. Stimulan 1

7. Kayu bakar > 30 8. Tanaman hias > 10 9. Tanaman aromatika dan kosmetika

2

10. Pewarna 2-3

11. Bahan adat dan ritual 3 12. Pupuk hijau - 13. Bahan alat > 3

14. Racun 1

15. Miscellaneous -

B. Tumbuhan liar

1. Bahan pangan bukan tumbuhan obat

1.1. Daun, batang dan tunas > 5 1.2. Bunga, buah dan biji-bijian >10 1.3. Ubi, rhizoma, akar - 1.4. Bumbu atau rempah-rempah

- 1.5. Bahan minuman 1 2. Penghasil latex dan resin - 3. Bahan tali - 3.1. Canes 9 3.2. Binding/weaving - 4. Bahan pewarna 2 5. Tanaman hias >5 6. Bahan serat (pakaian dan wadah)

>5 7. Bahan alat (rumah tangga, pertanian, perang)

>10 8. Bahan alat musik dan permainan 2-3 9. Tanaman aromatika dan kosmetika

5

10. Stimulan 1

11. Bahan bangunan rumah dan pondok 11.1. Rangka >50 11.2. Tiang 20-30 11.3. Atap 20-30 11.4. Dinding >10 12. Kayu bakar >40 13. Kayu komersial >60 14. Indikator ekologi 2 15. Bahan adat dan ritual 2

16. Jamur 4 17. Racun 4 17.1. Racun ikan 2 17.2. Racun lainnya 2 18. Miscellaneous - C. Tumbuhan obat >50 1. Tanaman budidaya >10 2. Tumbuhan liar >50

D. Tumbuhan mempunyai karakter khusus -

E. Tumbuhan semi-domestikasi -

Sumber: Pengamatan lapangan tahun 2012

Hasil inventarisasi jenis-jenis tumbuhan berguna di kawasan masyarakat Toro tersebut dalam Tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat Toro dalam kehidupannya masih mengandalkan dan memanfaatkan keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan dari kawasan hutan di sekitarnya. Masyarakat Toro memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti jenis rotan, damar, kayu bakar, bauh-buahan, sayuran, bahan kerajinan dan bahan obat-obatan untuk menambah pendapatannya. Disamping itu masyarakat Toro juga memanfaatkan berbagai jenis kayu bahan bangunan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pemukiman. Pengambilan jenis kayu bahan bangunan inilah yang sering menimbulkan konflik antara kawasan konservasi dengan masyarakat lokal di sekitarnya.

Hasil identifikasi dan karakterisasi keanekaragaman jenis tumbuhan berguna terdapat beberapa jenis tumbuhan berpotensi ekonomi yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi jenis

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 – ISSN:978-979-028-573-6

tumbuhan unggulan di kawasan ini, diantaranya jenis rotan, jenis buah-buahan dan lain-lainnya. (1) Kawasan Hutan Sekunder (pangale dan

oma)

Manurut masyarakat Toro, kawasan hutan sekunder terdiri atas dua kategori yaitu (1) Kawasan hutan sekunder tua bekas kebun atau ladang yang diperkirakan berumur dari 25 tahun disebut sebagai “pangale”. Satuan lingkungan ini merupakan lahan cadangan untuk pengembangan tanaman pangan; dan (2) Hutan sekunder berumur sekitar 15 tahun yang digunakan untuk dibuka kembali menjadi perladangan baru (oma). Kedua satuan lingkungan hutan sekunder ini selain digunakan sebagai cadangan lahan perladangan juga memiliki manfaat sebagai sumber kayu bakar dan hasil hutan non kayu lainnya, misalnya berbagai jenis tanaman obat, sayuran dan buah-buahan serta hasil hutan lainnya.

(2) Kawasan Hutan Primer (Wana dan Wana Ngkiki)

Hutan primer menurut kategori masyarakat Toro adalah wana dan wana ngkiki. Kedua satuan lingkungan atau tipe ekosistem ini merupakan kawasan hutan primer yang dilindungi dan dikeramarkan.

Kawasan area inti Cagar Biosfer Lore Lindu (Taman Nasional Lore Lindu) mempunyai tipe-tipe ekosistem seperti hutan pamah tropika, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan sampai hutan dengan komposisi jenis yang berbeda-beda. Beberapa flora yang ada di area ini cagar biosfer ini antara lain Pterospermum celebicum,

Cananga odorata, Manglietia sp, Dysoxylum sp., Arenga pinnata, Pigafetta filiaris, Castanopsis argentea, Lithocarpus spp, Agathis philippinensis

dan Philoclados hypophyllus. Kawasan ini selain memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi, juga memiliki keanekaragaman jenis satwa langka endemik antara lain Anoa (Anoa

depressicornis), babirusa (Babyrousa babirussa),

musang coklat sulawesi (Macrogalidia

muschenbrouki), tikus Sulawesi (Rattus celebensis),

singapuar (Tarsius spectrum), bajing perut merah

(Rubrisciurus ribriventer), dan lain-lain. Pengaruh aktivitas masyarakat terhadap lingkungan

Bentuk aktivitas masyarakat Toro terhadap

lingkungan adalah berupa eksploitasi sumber daya alam tumbuhan. Aktivitas masyarakat tersebut meliputi eksploitasi lingkungan alami dan berbagai jenis tumbuhan, dan kegiatan ekstraktivisme untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Pengaruh yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut antara lain terjadinya

perubahan satuan lingkungan alami, perubahan dinamika lingkungan dan perubahan keanekaragaman jenis tumbuhannya.

Perubahan keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan ekosistem sebagai akibat dari aktivitas masyarakat tersebut ditunjukkan oleh adanya perubahan komposisi dan struktur floristiknya. Formasi vegetasi ditransformasi, dibentuk atau musnah oleh pengaruh dari aktivitas masyarakat seperti yang ditampilkan pada tabel berikut:

TABLE V. AKTIVITAS MASYARAKAT TORO TERHADAP

HUTAN PRIMER DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN

Aktivitas di hutan primer Pengaruhnya terhadap lingkungan Meramu dan kegiatan

ekstraktivisme bahan pangan dan material dasar untuk keperluan hidup sehari-hari

Aktivitas masyarakat mempengaruhi proses regenerasi beberapa jenis tumbuhan dan berpengaruh terhadap kehidupan jenis-jenis tertentu.

Eksploitasi beberapa jenis tumbuhan penghasil kayu bahan bangunan

Berkurangnya dan bahkan hilangnya beberapa jenis penting yang memiliki nilai ekonomi di kawasan hutan yang dieksploitasi

Transformasi menjadi lahan pertanian

Terjadi perubahan populasi tumbuhan yang mendominasi lingkungan tersebut, munculnya jenis-jenis tumbuhan pioneer (heliophile) dan tumbuhan

ubiquiste.

Proses aktivitas terhadap hutan primer menyebabkan terjadinya perubahan komposisi floristik dan pengurangan jumlah jenis. Sebenarnya beberapa jenis tumbuhan hutan dapat tampil kembali bersama proses regenerasi dalam sistem perladangan berpindah, namun akibat masa pemberaannya yang semakin pendek, maka jenis-jenis tumbuhan hutan tersebut tidak cukup waktu untuk tumbuh kembali. Akibat aktivitas perladangan berpindah menstimulir munculnya koloni herba setelah kebun ditinggalkan. Pemunculan strata herba ini memberikan konstribusi keanekaragaman ekologi, walaupun pada strata ini memperlambat proses regenerasi jenis-jenis tumbuhan hutan.

Tabel berikut menunjukkan pengaruh aktivitas perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar dan akibat yang ditimbulkan.

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 – ISSN:978-979-028-573-6

TABLE VI. PENGARUH AKTIVITAS PERLADANGAN BERPINDAH DAN AKIBAT YANG DITIMBULKANNYA

Tipe

Aktivitas Lingkungan Tipe Formasi Tumbuhan Pertanian

inisial

Hutan primer

Hutan primer didominasi oleh jenis Eucalyptus deglupta, Pterospermum celebicum, Gnetum gnemon, Castanopsis

argentea, Agathis philippinensis, Meliosma sp.,

Chisocheton sp., Mallotus sp., Phoebe sp., Beilschiedia sp., Canangium odoratum, Erythrina sp., Canarium sp. dan

lain-lainnya. Perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang panjang (10 tahun) Hutan sekunder

Tumbuhan yang mendominasi:

Macaranga hispida, Canangium odoratum, Melochia sp., Macaranga

tanarius, Bochmeria sp., Acalypha sp., Canarium sp., Poikilospermum sp. dan Ficus septica, dan lain-liannya.

Perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang pendek (5 tahun) Hutan sekunder muda

Tumbuhan yang mendominasi:

Macaranga hispida, Canangium odoratum, Melochia sp., Macaranga

tanarius, Bochmeria sp., Acalypha sp., Canarium sp., Poikilospermum sp. dan Ficus septica; Sedangkan jenis herba

yang mendominasi hutan muda adalah Paspalum conjugatum,

Erechtites valerianifolia, Cosmos pinnatifida, Spilanthes acmella, Commelina sp., Panicum maximum dan Eragrotis nigra, Poligonum sp., Curanga felterrae dan

lain-lainnya. Perladangan yang dilanjutkan dengan perkebunan kopi atau coklata Hutan sekunder dengan masa bera bervariasi

Tanaman kopi, coklat, tanaman pelindung dan tanaman budidaya lainnya seperti tanaman buah-buahan: pepaya (Carica papaya), jambu biji (Psidium guajava), pisang

(Musa spp.), mangga (Mangifera indica), jeruk

(Citrus spp.), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan lain-lainnya. Sedangkan tumbuhan bawah meliputi :

Imperata cylindrica, Leersia hexandra, Paspalum conjugatum, Erechtites valerianifolia, Cosmos pinnatifida, Spilanthes acmella, Commelina sp., Panicum

maximum dan Eragrotis nigra, Poligonum sp. dan lain-lain.

Dari tabel tersebut di atas memberikan indikasi bahwa aktivitas masyarakat menyebabkan perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan yang sangat nyata. Bila hutan primer sebagai satuan lingkungan asli yang didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan hutan primer (sciaphile), maka setelah adanya intervensi masyarakat melalui berbagai aktivitas seperti berladang berpindah, peramuan, kegiatan ekstraktivisme, dan lain-lainnya,

keanekaragaman jenis tumbuhan berubah didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan pioner (heliophile) dan jenis-jenis tumbuhan ubiquiste. Pada satuan lingkungan hutan sekunder tua berumur lebih dari 10 tahun, jenis tumbuhan yang mendominasi adalah campuran antara jenis-jenis tumbuhan pioner (heliophile), jenis-jenis tumbuhan hutan primer (sciaphile) dan jenis-jenis tumbuhan

ubiquiste yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai

kemampuan tumbuh baik pada kondisi terbuka seperti tumbuhan pioner maupun dalam kondisi terlindungi seperti jenis-jenis tumbuhan hutan primer. Sedangkan satuan lingkungan hutan sekunder muda, jenis tumbuhan yang mendominasi adalah jenis-jenis tumbuhan pioner (heliophile). Walaupun beberapa jenis tumbuhan hutan primer sudah mulai tumbuh di satuan lingkungan hutan sekunder muda tetapi keberadaannya masih sedikit. Apabila masa pemberaan atau masa ladang diitnggalkan menjadi hutan sekunder tersebut waktunya semakin pendek, maka jenis-jenis tumbuhan hutan primer tersebut tidak memiliki

Dalam dokumen HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT (Halaman 39-48)

Dokumen terkait