• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi NAD, Kepulauan Nias (Provinsi Sumut), Daerah Istimewa

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 119-124)

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN 35

33. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi NAD, Kepulauan Nias (Provinsi Sumut), Daerah Istimewa

Yogyakarta, dan Jawa Tengah, dan Daerah Pascabencana Lainnya

Dalam menangani berbagai kejadian bencana alam pemerintah terus berupaya untuk mengatasinya, baik melalui bantuan tanggap darurat, maupun rehabilitasi dan rekonstruski sarana dan prasarana yang rusak. Sementara dalam mengantisipasi potensi risiko bencana di masa mendatang, Pemerintah juga terus berupaya dan berkomitmen dalam peningkatan aspek penanganan bencana, baik

melalui peningkatan kapasitas kinerja kelembagaan penananganan bencana, pengurangan risiko bencana, maupun peningkatan sarana dan prasarana sistem mitigasi bencana.

Terkait dengan permasalahan dalam perlaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias (Provinsi Sumatera Utara) antara lain belum tuntasnya penanganan para korban bencana untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak huni. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi di NAD dan Nias masih belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di lapangan serta berbagai permasalahan lainnya. Hasil terpenting yang dicapai saat ini adalah bahwa Rencana Induk telah disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias.

Meskipun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi belum sepenuhnya selesai, berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005 juncto. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005, BRR NAD-Nias akan mengakhiri masa tugasnya pada April 2009. Dalam rangka pengalihan tugas kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi secara fungsional kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah saat ini tengah dipersiapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pengakhiran Masa Tugas BRR NAD-Nias dan Peraturan Presiden tentang Kesinambungan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Sejalan dengan itu, kegiatan pengalihan aset yang telah dihasilkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias juga sedang dilaksanakan secara bertahap, dengan mengacu kepada peraturan khusus yang diterbitkan untuk mengatur tata cara serah terima dan pengelolaan aset negara melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD-Nias. Untuk menjamin kesinambungan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaberakhirnya tugas BRR NAD-Nias, diperlukan tindak lanjut berupa strategi pelaksanaan yang didasarkan kepada Rencana Induk yang telah mengalami perubahan untuk selanjutnya dijabarkan ke dalam rencana pembangunan daerah yang terintegrasi dan komprehensif.

Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, selama dua tahun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi

pascagempa bumi, telah dapat dituntaskan penyediaan perumahan dan infrastruktur permukiman, sarana prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan pemerintahan. Namun, masih terdapat beberapa hal yang belum sepenuhnya dituntaskan, yaitu pemilihan perekonomian masyarakat, khususnya dalam aspek permodalan, alat produksi, dan jaringan ke pasar. Untuk itu, Pemerintah akan terus memperhatikan pemulihan sektor perekonomian di wilayah pascabencana, termasuk menata kembali mekanisme penataan dan pengelolaan aset kekayaan negara pascarehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana. Dengan berakhirnya masa tugas Tim Koordinasi Penanganan Rehabilitasi dan Rekonstruksi DIY dan Jawa Tengah (Tim Keppres No. 9/2006) pada awal Juli 2008, koordinasi untuk keberlanjutan pembangunan pascarehabilitasi dan rekonstruksi di DIY dan Jawa Tengah sepenuhnya akan dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing.

Dalam upaya pengurangan risiko bencana, Pemerintah tetap konsisten untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2006—2009, yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh pemerintah di tingkat daerah melalui penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB). Sejak tahun 2007, Pemerintah secara terus-menerus memasukkan aspek penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Lebih jauh lagi, sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, diterbitkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya telah dijabarkan ke dalam tiga peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Untuk mengatur kelembagaan dalam penanggulangan bencana, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang merupakan peningkatan dan penguatan status kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat nasional, dari sebelumnya yang bersifat adhoc

yang lebih struktural dan memiliki fungsi yang lebih luas, tidak hanya dalam melakukan koordinasi dalam penanggulangan bencana, tetapi juga menjalankan fungsi komando saat tanggap darurat dan fungsi pelaksana dalam pengurangan risiko dan penaggulangan pascabencana.

Sebagai tindak lanjut penerbitan RAN-PRB 2006—2009 dan UU Nomor 24 Tahun 2007, Pemerintah telah menjabarkannyake dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) PRB dan pengembangan sistem peringatan dini bencana (disaster early warning system); pengembangan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia dalam mitigasi bencana Disater Management System; peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana; pendayagunaan penataan ruang nasional dan daerah yang berbasis pengurangan risiko bencana; pelatihan penanggulangan bencana berbasis masyarakat; pelaksanaan gladi/simulasi kesiapsiagaan; penyusunan rencana penanggulangan bencana; penerapan standar teknis, terutama dalam kaitan mitigasi, sistem peringatan dini dan pembentukan pusat-pusat pengendali operasi penanggulangan bencana; dan pengembangan sistem logistik bencana untuk mengakses segala bentuk bantuan dari dan ke sumber bencana dan pusat-pusat distribusi logistik secara efektif dan efisien.

Dalam kaitannya dengan penanganan luapan lumpur Sidoarjo, masalah utama yang dihadapi adalah timbulnya keresahan masyarakat korban di dalam dan di luar wilayah terdampak, yang diakibatkan oleh hilangnya kesempatan kerja, hancurnya rumah dan harta benda, terganggunya kegiatan belajar-mengajar, kerusakan infrastruktur, terutama infrastruktur jalan (jalan tol dan arteri) dan jalan kereta api. Dampak yang besar juga dihadapi oleh kegiatan ekonomi setempat, bukan saja kegiatan ekonomi di sekitar Sidoarjo saja, melainkan juga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi regional di Provinsi Jawa Timur pada umumnya.

Kebijakan Pemerintah terkait dengan penanganan semburan lumpur Sidoarjo tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang telah melakukan tugasnya untuk penyelamatan penduduk di sekitar lokasi semburan, menjaga infrastruktur dasar, dan penyelesaian masalah semburan, dengan

memperhitungkan risiko lingkungan seminimal mungkin. Berdasarkan Keppres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggungan Lumpur Sidoarjo, penanganan luapan lumpur Sidoarjo telah dilanjutkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dalam tahun 2009, BPLS akan melakukan penanganan luapan lumpur secara lebih efektif dan benar sehingga memberikan rasa aman kepada masyarakat dan meminimalkan kerusakan lingkungan.

BAB 2

PENINGKATAN RASA PERCAYA DAN HARMONISASI

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 119-124)