• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBACA [JAWA] - Spada UNS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "MEMBACA [JAWA] - Spada UNS"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBACA [JAWA]

&

“MEMBACA”

RSITEKTUR

penulis : JOSEF PRIJOTOMO

penyunting : johannes adiyanto

Jurusan Arsitektur – FT – Unmer Malang

(2)

&

“Membaca” Arsitektur [Jawa]

penulis :

JOSEF PRIJOTOMO

penyunting :

johannes adiyanto

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Merdeka Malang

(3)

© Josef Prijotomo, April 2004 penulis :

JOSEF PRIJOTOMO, Ir, M.Arch penyunting :

Johannes Adiyanto, ST, MT

Prijotomo, Josef

Membaca [Jawa] dan “Membaca” arsitektur [Jawa] / Prijotomo, Josef – Malang; Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang, 2004

x + 244 hlm : 20 x 21 cm

ISBN

1. Arsitektur Jawa I. Judul Cetakan Pertama – Mei 2004

Penerbit Jurusan Arsitektur – FT – Unmer Malang Jl. Puncak Jaya No. 36 Malang - 65146

Telp (0341) 584293 Fax (0341) 560836 e-mail: [email protected]

(4)

“Jawa” baik sebagai budaya maupun sebagai arsitektur seakan tidak pernah kering untuk di ‘timba’ pengetahuannya. Kita dapat menyaksikan puluhan buku yang mengungkap keberadaan yang berkaitan dengan

“Jawa”, baik yang ditulis oleh ‘orang Jawa’ atau ‘orang bule’ yang telah lama di Jawa atau bahkan ‘orang asing’ yang hanya ‘tinggal’ di

perpustakaan di Leiden dan berujar tentang “Jawa”.

Buku tentang “Jawa” itu ada yang berujar ringan seperti yang diungkap oleh Umar Kayam, atau yang harus mengeritkan dahi ketika kita

membacanya seperti karya Magnis Suseno. Namun kesemuanya berujar dan bertutur tentang apa yang disebut “Jawa”.

Magnis Suseno sendiri secara santun tidak mampu mendefiniskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan “Jawa” dalam bukunya. Hal ini juga diikuti oleh Dr. Gunawan Tjahjono dalam pengantar buku

“Omah” dari Revianto dengan mengatakan “Jawa” dalam konteks buku.

Sedemikian rumitkah untuk mendefinisikan kata “Jawa” untuk membatasi kajian atau penelitian?

(5)

yang serba paradoks. Budaya “Jawa” dikatakan sebagai budaya yang istana sentris; namun ternyata ada karya sastra dari rakyat jelata, sebut saja Serat Dewa Ruci. “Jawa” memiliki karakter yang halus, sopan santun; tapi dalam karya ‘Serat Suluk Gatolotjo’, kita menemukan

‘kekurangajaran’ dan sangat bertolak belakang dengan gambaran “Jawa”

dalam benak kita. Ada istilah yang memperkuat ke-paradoks-an “Jawa”:

Ngono yo ngono nanging ojo ngono”. Atau pada tahun 1998, kejadian di kota Solo yang terjadi tindakan anarkis dalam masa awal reformasi, inikah gambaran orang “Jawa” yang halus dan sopan?

Dengan kedudukan yang sangat paradoks ini, “Jawa” sebagai budaya atau tradisi, terkadang juga mengacaukan kajian atau penelitian terhadap diri “Jawa”. Ketegasan pembatasan akan kajian terhadap

“Jawa” ini coba dihadirkan oleh Josef Prijotomo, dengan memperdalam ke-“Jawa”-an melalui ranah arsitektur. Ketegasan yang dimaksud adalah kepatuhan terhadap ranah yang digunakan untuk ‘membongkar’

“Jawa” tersebut. Hal ini perlu dipertegas sebab banyak pengkaji atau peneliti mencampuradukkan antara budaya dan arsitektur. “Jawa”

memang berada pada suatu tradisi yang paradoks, namun bukan berarti kajian atau penelitian terhadap “Jawa” juga menggunakan dua kacamata

(6)

kepatuhan terhadap ranah pengkajian atau penelitian.

Disamping masalah kerancuan kajian atau penelitian, bertutur tentang

“Jawa” sering kali terjerumus dalam keadaan yang menempatkan tradisi sebagai sesuatu yang sakral, sehingga jangankan untuk merubah,

membicarakan saja merupakan sesuatu hal yang tabu [dalam masa kampanye sering dimunculkan istilah ‘status quo’, yang mempunyai kesamaan pemahaman tapi berbeda pengertian].

Pemahaman inilah yang perlu diluruskan. “Jawa” sebagai sebuah budaya dan tradisi mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi perubahan. Segala arus budaya diluar “Jawa” diterima dan diserap secara baik, dan kemudian ‘keluar’ sebagai budaya yang “Jawa”. Di sini nampak bahwa tradisi “Jawa” adalah tradisi yang terus ‘berubah’ dan terus ‘beradaptasi’ dengan keadaan.

Dari pemahaman inilah, Josef Prijotomo melangkah. Ditunjang dengan perkembangan teori arsitektur yang tidak lagi menganut paham

‘singularitas’ (arsitektur modernisme) tapi ‘pruralitas’ (arsitektur post- modernisme ) makin lebarlah jagad kajian arsitektur terhadap “Jawa”.

(7)

“Jawa” atau sebagai “Jawa” sentris; tapi juga sebagai penggugah dan pembuka wawasan bahwa di Nusantara ini ada ‘harta karun’ yang takkan pernah habis untuk dikaji atau diteliti dan pada saat yang bersamaan,

‘harta’ ini merupakan tanggung jawab kita sebagai orang yang telah memilih arsitektur sebagai jalan hidupnya.

Jika ada batangan emas di halaman kita, Mengapa kita harus menoleh kepada besi tempa di tetangga kita?

Dan…..

Membiarkan emas kita di ‘jarah’ oleh orang lain, yang kemudian kita akan gunakan lagi sebagai perhiasan di diri kita.

Mengapa kita tidak mengolahnya sendiri?

Mengapa kita menunggu orang lain mengolahnya?

Malang, 23 April 2004 Penyunting

(8)

Pengantar

iii

Daftar Isi

vii

Bagian Satu :

1. Menyikapi Arsitektur Tradisional Jawa

sebagai sebuah wujud kebudayaan di indonesia satu – 1

2. Arsitektur Jawa: Arsitektur Dan Kebudayaan

(peluang, potensi dan masalah penelitian arsitektur jawa) satu – 11 3. Arsitektur Jawa Sebagai Kawasan Penelitian satu – 20

(9)

1. Geomancy Dalam Konflik Tradisi Dan Modern :

amatan kasus primbon jawa dua – 1

2. Suasana Psikologikal sebagai Sarana Berarsitektur:

kasus primbon jawa dua – 23

3. Kolonialisasi Institusi Space / Ruang dua – 38

4. In Serving The Culture And Tradition:

learning from the jawanese architecture of

the turn to the 20th century dua – 49

5. Serat Balewarna:

jawa menolak jawa kolonialisasi ataukah

rasionalisasi pengetahuan arsitektur jawa? dua – 63

(10)

Bagian Tiga :

1. Membaca Tulisan (Jawa) dan

‘Membaca’ Arsitektur (Jawa) tiga – 1

2. On Reading The Vernacular :

De-Constructing And Re-Constructing The Sentence tiga – 29

3. Petungan Sebagai Pedoman Perancangan Arsitektur Jawa

(kajian dengan ancangan Semiotika) tiga – 47 4. Tajug Dan Tajuk Di Arsitektur Jawa tiga – 76 5. Ubah-ingsut dalam Arsitektur Jawa:

kasus Kawruh Kalang Soetoprawiro tiga – 90

(11)

"pesembahan bagi :

DR. Ir. Ardi Pardiman Parimin (almarhum),

guru dan sahabat"

(12)
(13)

MENYIKAPI ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA

sebagai Sebuah Wujud Kebudayaan di Indonesia

i

Pembuka

P

ersoalan di atas memang bukanlah soal yang sederhana, apalagi kalau disimak bahwa di sana tersangkut sekurangnya empat sikap yang harus ditangani:

pertama, sikap terhadap / tentang kebudayaan; Kedua, sikap terhadap / tentang arsitektur; sedangkan Ketiga menunjuk pada sikap terhadap / tentang arsitektur

‘tradisional’ serta yang terakhir, Keempat, sikap terhadap / tentang arsitektur Jawa.

(14)

Untuk menjawab persoalan ini, sebenarnya sebuah buku tebal tersendiri dapat disiapkan.

Hal ini menggambarkan betapa luas, dalam, tajam dan kompleks persoalan yang harus dihadapi. Dibatasi oleh waktu dan tebal halaman dari penyajian dalam sebuah forum, mau tak mau haruslah seluruh persoalan itu dapat diringkas ( namun cukup jelas ). Ini jelas sebuah persoalan tersendiri, dan harus dapat ditanggulangi oleh penulisnya. Yang kiranya perlu disampaikan di sini adalah kenyataan lain bahwa penggarapan atas

persoalan itu akan sangat bermakna manakala keempat sikap itu dapat pula diakomodasi.

Menghadapi tuntutan seperti itu, mau tak mau penulis harus menegaskan diri dari arah dan titik manakah penanganan atas masalah yang dihadapi itu akan digarap. Dengan menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang harus berada dalam medan arsitektur, nampaknya tak ada jalur yang lebih mantap untuk ditempuh kecuali menempatkan ‘arsitektur’ sebagai perspektif penangananya.

Arsitektur – Kebudayaan – Arsitek

S

ekedar gambaran, dengan mengambil sikap bahwa arsitektur adalah cerminan dari kebudayaan, penjabaran dan penguraian ihwal ini tentu berbeda dari sikap yang menempatkan arsitektur sebagai gubahan yang berusaha untuk merekam

kebudayaan di dalam diri arsitektur itu sendiri. Bagi pandangan yang mengatakan bahwa arsitektur adalah cerminan kebudayaan, tempat arsitektur tentu saja berada di bawah (subordinate) kebudayaan. Kebudayaan menjadi kekuatan penting bagi hadirnya arsitektur, kalau tak boleh dikatakan sebagai yang membetuk arsitektur. Masih dalam

(15)

pandangan ini, arsitektur dengan demikian tentu saja menjadi sarana yang dipilih atau digunakan oleh kebudayaan untuk mendokumentasikan diri kebudayaan itu. Sesampai pada titik ekstrimnya, di sini kebudayaan itulah yang menjadi arsitek bagi arsitektur yang (di)hadir(kan). Manusia yang menamakan dirinya arsitek dengan sendirnya hanyalah

‘kepanjangan tangan’ dari kebudayaan itu sendiri (atau : bagaikan juru gambar dari kebudayaan ). Di sini, baik arsitek maupun arsitektur tidak hanya berada dalam posisi mereka yang pasif (dalam bandingannya dengan kebudayaan yang berada dalam posisi aktif), tetapi juga seakan merupakan akibat dan ‘penderita’ dari kebudayaan.

Di sisi lain, pandangan ‘arsitektur dalah cermin kebudayaan’ juga menunjuk pada kedudukan dari arsitektur sebagai salah satu (alat) bukti bagi kebenaran (pembenaran?) dan / atau keabsahan (pengabsahan?) pemahaman terhadap kebudayaan. Kebudayaan memang bisa saja tidak menunjuk arsitektur sebagai (alat) buktinya karena bidang-bidang seni dan kesenian lain juga dapat dipakai oleh kebudayaan sebagai (alat) buktinya. Bila demikian adanya, tak pelak lagi, kita sebenarnya adalah melakukan usaha-usaha pengkajian dan pemahaman atas pengetahuan kebudayaan, bukan pengetahuan arsitektur. Padahal kita sendiri jelas-jelas mengatakan bahwa kita adalah para sarjana arsitektur yang wilayah kajian dan pemahamannya yang utama dan pertama adalah arsitektur bukan kebudayaan.

Benarkah arsitek adalah ‘juru gambar’ dari kebudayaan? Terlalu banyak yang

berkeberatan dengan status ini. Para arsitek ini menyakini bahwa dialah arsitek, dialah perancang, dialah penggagas dan pencipta arsitektur. Bagi para arsitek ini, kebudayaan

(16)

adalah salah satu faktor yang (terkadang ) mereka sertakan dalam kegiatan menggagas hingga mewujudkan arsitektur. Di sini, terlibat atau tidaknya kebudayaan di dalam kearsitekturan sepenuhnya bergantung pada sang arsitek. Kebudayaan bukan lagi pembentuk arsitektur; dia hanyalah faktor yang optional kedudukannya. (Bahwa

kebudayaan didudukan sebagai faktor yang wajib dilibatkan, itu tentu saja adalah salah satu pandangan, bukan satu-satunya pandangan). Dalam titik ekstrimnya, arsitek dan arsitektur modern bahkan tidak merasa bersalah dan berdosa bila tidak melibatkan kebudayaan sebagai salah satu faktor arsitekturnya. Dihadapkan pada kenyataan seperti ini, dengan sendirinya pandangan ‘arsitektur adalah cerminan kebudayaan’ menjadi tidak gayut (relevant), bukan? Selanjutnya, juga adalah kenyataan masa kini dan mendatang bahwa perancangan dari arsitektur adalah arsitek, bukan kebudayaan. Bila sudah

demikian halnya, tak pelak lagi keberadaan kebudayaan di arsitektur sepenuhnya berada di tangan dan gagasan arsitek.

Dengan gambaran mengenai pertalian arsitek-arsitektur-kebudayaan seperti di atas, untuk masa kini dan masa mendatang, mau tak mau sikap arsitek terhadap arsitektur dan kebudayaan menjadi sebuah alternatif, bukan sebuah kaidah. Di tangan arsiteklah

kebudayaan itu bisa memperoleh ruang gerak di arsitektur.

Menolak ‘Kemandegan’

S

ungguh keliru bila dipandang arsitektur Jawa itu adalah arsitektur yang tidak mengakomodasi dinamika kebudayaan yang berlangsung. Arsitektur Jawa adalah
(17)

arsitektur yang berkembang, bukan arsitektur yang mandeg. Hadirnya teknologi konstruksi yang baru misalnya, arsitektur Jawa mengakomodasinya dengan

memunculkan berragam sub-tipe bentukan. Buatlah perbandingan antara jumlah sub tipe bentukan Jawa sebagaimana termuat dalam Kawruh Griya dengan jumlah yang termuat dalam buku Joglo yang disusun oleh R.Ismunandar K. Sementara itu, melalui Serat Balewarna yang ditulis tahun 1920-an kita bisa dimiliki oleh arsitektur Jawa.

Contoh terakhir adalah kajian dari Revianto B. Santosa mengenai pergeseran konteks dalam menyikapi arsitektur Jawa ( dapat dilihat dalam Proseding Simposium Nasional Naskah Arsitektur Nusantara ).

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa keberadaan arsitektur Jawa, di tengah-tengah perjalanan arsitektur di dunia adalah bagaikan sebuah film, bukan sebagai sebuah potret.

Pengalaman dengan dunia pengajaran dan pendidikan arsitektur di Indonesia

seumumnya menunjukkan bahwa selama ini kita masih sering memperhatikan arsitektur Nusantara bagaikan potret, bagaikan sebuah wajah yang tidak pernah berubah. Mamang, bahan-bahan pengajaran yang selama ini tersedia adalah pelanjutan dari hasil-hasil kajian yang telah dilakukan sebelum abad 20, yang notabene adalah potret-potret tentang budaya dan arsitektur Nusantara. Bahan-bahan itu sendiri juga dengan diskriminatif telah dibatasi pada bahan-bahan yang bukan karya pikir bangsa Nusantara. Meskipun semenjak 1980-an telah banyak kajian-kajian baru yang telah melepaskan diri dari bahan- bahan dari masa pra abad 20, tetapi tidak banyak pengajar arsitektur Nusantara yang mau mengakses dan mengolahnya menjadi bahan pengajaran. Alhasil, arsitektur

Nusantara yang tergelar sebagai potret itu menjadi semakin terpuruk saja kedudukannya;

(18)

kini menjadi sebuah romantisme dan nostalgia semata. Celakanya, masyarakat awam juga terbawa ke dalam romantisme dan nostalgia itu.

Kebudayaan adalah kompleks budi dan daya, bukan semata-mata kesenian dan kekriyaan. Kebudayaan juga bukan semata-mata himpunan belle epoch yang romantis.

Masa-masa mengenakan surjan, cripu dan blangkon telah silam; kini telah berganti dengan kaos Dagadu, sepatu ala New Era dan kepala yang gundul plonthos. Dengan demikian, malihan (transfomasi) kebudayaan adalah buah logis dan budi dan daya yang berlangsung dalam jaman-jaman yang selalu mengalir dan menjauh dari mata airnya.

Aliran ini tidak sekedar bagaikan sebuah kali kecil yang makin ke hilir makin menjadi bengawan, tetapi juga tengah-tengahnya dimasuki pula oleh kali-kali kecil lain dari sumber mata air yang tersendiri pula. Menyangkal kenyataan ini jelas akan sia-sia saja adanya. Dengan demikian, malihan ini bukan sekedar menempatkan ‘kali’ arsitektur Jawa menjadi bengawan arsitektur Jawa. Malihan ini juga harus dan memang menuntut untuk bersatu padu dengan ‘kali-kali’ arsitektur lain, termasuk ‘kali’ arsitektur barat. Dengan demikian, tentunya tak ada sikap dan jalan lain yang harus ditempuh oleh arsitektur Jawa untuk menjadikan dirinya sebagai arsitektur yang ‘terbuka’. Ke-Jawa-an arsitektur di hari ini tentunya sudah tak pada tempatnya kalau sebatas sosok joglo pada atapnya; sebuah tampilan yang ‘campur sari’ niscaya menjadi pilihan yang tak terhindari lagi. Penjungkir- balikan bukan pula sebuah tindakan yang haram, mengingat batik di masa silam hanya dikenakan sebagai penutup perut hingga kaki, sekarang telah manjadi penutup tubuh dan lengan. Para perancang busana demikian piawai untuk menghadirkan gubahan busana yang serentak adalah jawa dan bukan jawa. Sementara itu, gebrakan almarhum

(19)

Nartosabdo dalam pewayangan juga telah memungkinkan jagad perwayangan untuk tidak rikuh dengan helikopter, sepeda motor dan perangkat band sebagai pelengkap alat musiknya. Akhir-akhir ini ‘campursari’ telah menjadi ‘wajah’ tersendiri dari seni musik Jawa.

Pertanyaan kini, mengapakah arsitektur Jawa belum mampu seperti kesenian-kesenian yang tersebutkan itu? Bisa jadi hal ini karena di kalangan para penggarap arsitektur Jawa (baca : arsitek ) masih tertanam sikap diri yang congkak. Kecongkakan pertama,

katakanlah kecongkakan internal, adalah tidak mau belajar dari kesenian-kesenian dan pengetahuan-pengetahuan yang telah mampu menempatkan Jawa sebagai sebuah keterbukaan. Arsitektur Jawa telah ditempatkan sebagai sebuah seni dan pengetahuan yang terisolasi dari tetangga-tetangga karya budayanya. Kecongkakan lain, yang dapat dikatakan sebagai kecongkakan eksternal,adalah keengganan dalam menempatkan pengetahuan dan seni arsitektur dari luar sebagai alat untuk menggarap arsitektur Jawa sebagai arsitektur yang terbuka. Keenganan ini diduga kuat disebabkan oleh ketidak (-mau-)tahuan akan seni dan pengetahuan arsitektur yang dari luar itu. Masalahnya memang, untuk dapat sampai ke arsitektur Jawa yang ‘campursari’ itu, dimuliakan adanya sikap untuk menjadikan arsitektur Jawa sebagai arsitektur yang terbuka;

dimutlakkan pula adanya penggarapan dan pengkajian sekaligus pemasyarakatan atas keterbukaan arsitektur Jawa ini. Adakah kesungguhan di dalam penanganan masalah yang satu itu?

(20)

Batik untuk jarit ataukah batik untuk baju? Batik untuk jarit adalah keklasikan busana Jawa sedangkan batik untuk baju adalak ke-kini-an busana Jawa. Lakon Murwakala ataukah Lakon Semar Gugat? Murwakala adalah ke-klasik-an seni pewayangan Jawa sedangkan Semar Gugat adalah ke-kini-an seni pewayangan Jawa masa kini. Megatruh atau Lara Brangta? Megatruh adalah ke-klasik-an seni musik Jawa sedangkan Lara Brangta adalah ke-kini-an seni musik Jawa.

Jonglo jompongan ataukah….? Joglo Jompongan adalak ke-klasik-an arsitektur Jawa manakah yang menunjuk pada ke-kini-an arsitektur Jawa, apakah joglo yang bertengger di pom bensin?

(21)

Simpulan enempatkan arsitektur Jawa sebagai sebuah wujud kebudayaan di Indonesia bukanlah kaidah arsitektur, dia hanyalah sebuah kesempatan yang boleh dimanfaatkan oleh arsitek. Bila demikian halnya, tak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk tujuan itu terkecuali menghimbau para arsitek untuk memiliki sikap yang akomodatif terhadap kebudayaan di dalam tindakan berarsitektur yang dilakukannya.

M

Arsitektur Jawa tidak dihadirkan untuk menjadi museum kekunoan arsitektur di Indonesia. Kita harus menempatkan arsitektur di dalam kemampuannya untuk

mengakomodasi perkembangan dan penafsiran (-kembali). Ini jelas merupakan tuntutan untuk melakukan perubahan sikap; dari sikap memuseumkan menjadi sikap

mengembangkan dan menginterpretasi.

Kekuatiran akan semakin tersisihnya arsitektur Jawa dalam kancah percaturan arsitektur di masa depan nampaknya semakin menguat dan bergema di kalangan mereka yang hanya melihat arsitektur Jawa sebagai bentukan yang tajug/k, joglo, limasan, kampung dan panggang-pe. Selama arsitektur Jawa ditempatkan sebagai sebuah kekeramatan yang tak bisa/boleh digugat, tak ada kemungkinan lain bagi arsitektur Jawa untuk menjadi benda-benda arkeologik semata.

(22)

Keterangan :

i Disiapkan untuk disajikan dalam Seminar Regional : Prospek Arsitektur Tradisional Jawa sebagai salah satu bagian Arsitektur Nusantara yang diselenggarakan di Universitas Negeri Sebelas Maret – Surakarta, 20 November 1999

(23)

ARSITEKTUR JAWA:

ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN

(Peluang, potensi dan masalah penelitian arsitektur Jawa)

i

Sinopsis

Penggelaran berbagai peluang dan permasalahan yang berkenaan dengan penelitian tentang dan terhadap arsitektur Jawa. Penekanan penggelaran adalah dalam

keletekan arsitektur Jawa sebagai obyek dan sebagai subyek.

Arsitek Jawa memang dapat diletakkan di dalam sebuah rentang pengetahuan dan penelitian yang memiliki dua kutub ekstrim, masing-masing adalah kutub ekstrim Arsitektur dan kutub ekstrim lainnya adalah Kebudayaan. Dengan menempatkan Kebudayaan dan Arsitektur di dalam kutub-kutub ekstrimnya, jelas bahwa di sini kita tidak menempatkan arsitektur di bawah / dalam kebudayaan, demikian pula sebaliknya, tidak menempatkan kebudayaan di bawah / dalam arsitektur.

Dalam menggelar potensi, peluang dan masalah yang berkenaan dengan kajian- kajian arsitektur Jawa, saya akan melakukan dengan menempatkan arsitektur Jawa dalam dua posisi yang berbeda : arsitektur Jawa sebagai kasus dan contoh bagi subyek kajian; dan yang kedua adalah arsitektur Jawa sebagai sebuah kesempatan untuk menghadirkan pengetahuan ‘baru’, menempatkan arsitektur Jawa sebagai subyek.

(24)

Arsitektur Jawa di dalam (Ekstrim) Kebudayaan sini sekali lagi kita di bawa pada pandangan umum yang sudah sangat akrab di telinga kita yakni : arsitektur adalah (pen)cermin(an) kebudayaan. Telah dikemukakan bahwa sejauh ini, pandangan itu cenderung untuk membatasi ruang lingkup dan cakupan dari kebudayaan yang dikaitkan dengan arsitektur yaitu kosmologi dan mitologi, pandangan hidup (belief system), adat dan tradisi. Komponen-komponen pengetahuan kebudayaan itu juga cenderung untuk dibatasi dalam skala waktu yakni masa yang silam. Sebagai konsekuensinya, tidak berlebihan bila kita melihat bahwa pengetahuan dan penelitian mengenai arsitektur Jawa adalah bagaikan pengulangan atas tema yang sama : arsitektur Jawa di masa silam. Apakah memang hanya ada dua

pembatasan itu saja dalam pengkajian arsitektur Jawa di dalam ekstrim kebudayaan?

Nampaknya tidak, karena kita juga menyaksikan bahwa sebagian banyak dari kajian itu juga dibatasi penanganannya dalam kebudayaan lapis atas masyarakat, yang lazim dikenal sebagai masyarakat priyayi dan masyarakat bangsawan. Dengan demikian, kebudayaan kraton menjadi titik sentral dari kajian ini.

i D

Apa yang dapat diperoleh bila segenap pembatasan tadi dikesampingkan, dan dengan demikian kita menggelar wilayah kajian arsitektur Jawa yang lebih luas dan mendalam, dan tetap di dalam konteks kebudayaan.? Pertama-tama, saya menjadi teringat pada kajian George Quinn tentang novel-novel Jawa yang hadir semenjak era kemerdekaan.

Kajian terhadap novel ini ternyata membawa Quinn untuk menjelajah arsitektur, di

(25)

mana arsitektur diletakkan sebagai setting di mana novel itu dibangun. Sayang, hingga kini belum ada kritik dari dunia arsitektur Jawa terhadap kajian Quinn tadi. Yang

menarik untuk disimak dari kajian Quinn itu adalah : terbuka peluang untuk memperluas komponen kebudayaan yang digunakan untuk mengkaji arsitektur Jawa. Pertanyaannya memang, mana sajakah komponen yang dapat digelar itu?

Tesis Soeranto (1998) misalnya mencoba untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk tentang estetika Jawa dengan menggunakan seni tari sebagai wilayah kajiannya. Dikatakan oleh Soeranto bahwa di dalam dunia tari Jawa telah tersedia rincian mengenai estetika tari.

Dengan kenyataan itu, Soeranto bertanya apakah kalau arsitektur itu dianalogikan dengan tari dapat diperoleh sejumlah pengetahuan tentang estetika dalam arsitektur Jawa? Revianto B. Santosa (1997) mengambil semiotika sebagai medan garap untuk mengkaji arsitektur Jawa, sedangkan arsitektur Jawa yang dia ambil sebagai kasus adalah rumah rakyat, rumah saudagar, rumah bangsawan serta, sudah barang tentu, Kraton.

Ihwal gender yang akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan, juga telah diangkat menjadi tesis mengenai arsitektur Jawa.

Melihat tiga contoh di atas, tentunya dengan cukup mudah kita berpeluang untuk memperluas dan memperdalam wilayah kebudayaan yang akan digunakan dalam

mengkaji arsitektur Jawa. Dari dunia pewayangan misalnya, tidak sedikit kajian arsitektur yang dapat dilakukan. Suluk yang dilantunkan dalang di episode awal pagelaran wayang hampir pasti diisi dengan penggambaran atas lingkungan seputar kraton dan kerajaan.

Belum lagi kisah / lakon Bima Suci dan Dewa Ruci yang oleh Gunawan Tjahjono

(26)

dipandang sangat potensial untuk dikaji dalam hal konsep dan pandangan tentang

‘ruang’. Kalau suluk pedalangan telah disinggung, bukan mustahil bila tembang dan gamelan juga memiliki sejumlah potensi untuk digunakan sebagai analogi untuk kajian arsitektur Jawa. Dan, kalau lakon Dewa Ruci membuka peluang untuk menggelar kajian tentang ruang, tentunya karya Wirid Hidayat Jati juga berpeluang untuk dikaji konsep dan pandangan ‘ruang’-nya.

Berputar-putar dalam wilayah arsitektur / budaya Jawa itu sendiri, adalah kajian yang mampu menjelaskan perbedaan arsitektural antara arsitektur Jawa – Surakarta dan arsitektur Jawa – Yogyakarta? Masih dengan perbedaan, bagaimana pula perbedaannya dengan arsitektur Jawa-Banyumas(an), arsitektur pesisiran utara atau dengan arsitektur Jawa-Ponorogo? Perbedaan-perbedaan itu,yakni perbedaan dari kajian atas keletakan georafik dapat saja semakin beragam kalau kita mencoba untuk mengkaji arsitektur Jawa pesisiran-pedalaman, pe(r)desaan – pe(r)kotaan, petani-pedagang, rakyat-bangsawan dan masih banyak lagi lainnya. Di sini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa arsitektur Jawa itu bukan semata-mata satu buah arsitektur tetapi adalah sebuah keragaman variatif dari tipe-tipe. Keragaman variatif itu bahkan masih dipatok dalam satu bingkai waktu yang tertentu yakni bingkai waktu ‘tradisional’. Di dalam bingkai waktu, bagaimanakah keragaman variatifnya dalam era masa kini : semakin kaya atau semakin miskin?

Nampaknya, perhatian kita terhadap arsitektur Jawa masih terlalu dominan dalam hal generalisasi dari arsitektur Jawa, masih terlalu langka perhatian terhadap variasi dan keragaman di dalam diri arsitektur Jawa. Padahal, dalam tuntutan mengembangkan

(27)

kehidupan / arsitektur Jawa untuk masa kini dan masa mendatang, hadirnya variasi dan keragaman justru adalah tuntutan. Kenapa kita enggan belajar dari tradisi kita sendiri?

Arsitektur Jawa dalam Lintas (Ke) budaya (an) erapa banyakkah kajian yang telah dilakukan dalam hal pergaulan antara

arsitektur / budaya Jawa dengan arsitektur / budaya Nusantara? Tidak dapat dijawab karena akses informasi mengenai hal ini masih sangat gelap. Kajian seperti ini sangat berguna khususnya untuk mengidentifikasi tingkat ‘keluwesan’ (acceptibility) dari arsitektur Jawa dalam melakukan pergaulannya dengan arsitektur / budaya Nusantara.

Sungguh mustahil untuk mengatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan arsitektur Jawa itu sepenuhnya adalah pertumbuhan dan perkembangan internal, bukan? Tiga tahun yang silam, lewat e-mail dari LSAI pernah dilakukan diskusi mengenai keberadaan arsitektur Jawa yang bukan merupakan bangunan panggung. Diskusi ini sempat

melakukan persinggungan dengan arsitektur / budaya Nusantara; sempat pula

menyinggung kemungkinan untuk membangun sebuah morfologi arsitektur Nusantara dengan arsitektur Jawa sebagai salah satu titik dalam morfologi itu. Diskusi ini tak ada akhirnya, karena tiba-tiba saja berhenti begitu saja.

B

Pada tahun 1983 dan 1984 saya pernah ke pedalaman Bima (1983) dan ‘Taman Mini’

dekat Tokyo (1984). Pemandangan yang mengejutkan muncul di hadapan saya karena salah satu bentukan arsitektur ‘tradisional’ Jepang ternyata menampakkan demikian

(28)

banyak keserupaan dengan arsitektur pedalaman Bima ( di Sambori ). Keterkejutan ini bertambah sewaktu salah satu mahasiswa peserta tugas akhir dari ITN – Malang yang berasal dari Sulawesi Tengah menunjukkan sebuah fotocopy buku terbitan 1930-an mengenai arsitektur daerah Sulawesi Tengah, karena lagi-lagi keserupaan dengan yang di Bima dan Taman Mini Jepang nyata sekali adanya. Bagaimana kita membangun

pemahaman dan keadaan yang serupa namun terpisah demikian jauhnya?

Joglo Jawa pasti belum muncul di saat Majapahit berdiri; ini berbeda dari tipe Taju(g/k).

Di dekat Sumenep kita juga dapat menjumpai bentukan yang serupa dengan Joglo Jawa itu. akhirnya, di Sumba bentukan yang men-‘Joglo’ itu juga dapat kita temui. Mengenai ketiga keserupaan itu, ada petunjuk jelas dari ‘joglo’ Sumba yakni penjelasan dan simbolismenya sangat kental diwarnai oleh jagad pandangan dan pikiran pra-Hindu.

Apakah joglo Jawa menjadi perkembangan dari ‘joglo’ Sumba? Ataukah sebaliknya, Sumba menyerap dari Jawa?

Arsitektur Jawa dalam (Ekstrim) Arsitektur

H

arus diakui bahwa kajian dalam ekstrim ini masih sangat minim jumlahnya.

Keadaan menjadi semakin minim kalau di sini disertakan perkembangan pengetahuan di bidang arsitektur yang makin hari makin pesat saja. Pada dasarnya, kita juga dapat melakukan kajian arsitektural di mana arsitektur Jawa adalah kasus bagi penggal-penggal pengetahuan arsitektur. Sudah barang tentu, dalam kajian-kajian seperti itu, kita bisa saja samasekali tak menoleh pada budaya dan kebudayaan. Buku

(29)

“Petungan” misalnya, praktis tidak melakukan singgungan terhadap kebudayaan Jawa, karena yang menjadi wilayah kajiannya adalah sistem ukuran, proporsi dan tipologi.

Dengan menempatkan arsitektur Jawa di dalam kajian atas penggal-penggal pengetahuan arsitektur itu, konstribusi terbesar dari kegiatan ini adalah terbukanya dan tersedianya pengetahuan arsitektur yang contoh-contoh berupa arsitektur Jawa. Untuk itu, tulisan Stephen Cairns dapat dimunculkan sebagai contohnya, mengingat di sana Cairns mencoba untuk memahami postcoloalism dengan mengemukakan kasus Maclaine Pont dan wayang kulit. Juga desertasi yang disiapkan oleh Prasasto Satwiko dapat disampaikan sebagai contoh, karena di sini Satwiko mengambil arsitektur Jawa sebagai kasus bagi kajian perikliman pada umumnya, dan aliran udara serta aerodinamika pada khususnya.

Bila kajian akan dibawa ke dalam kajian yang kritis, bukan mustahil bila terbuka pula kesempatan untuk menempatkan arsitektur Jawa sebagai subyek dan pengetahuan arsitektur sebagai obyek. Di sini pandangan kritis kita mengatakan bahwa pengetahuan arsitektur itu dapat saja diperkaya dengan didapatkannya pengetahuan ‘baru’ di dunia arsitektur melalui kajian terhadap arsitektur Jawa. Contoh yang tidak berkenaan dengan arsitektur Jawa, tapi menunjuk pada pengetahuan ‘baru’ adalah buku monumental dari Almarhum Mangunwijaya “Wastucitra”. Di sana Mangunwijaya tidak mengusulkan Firmitas, Venustas dan Utilitas-nya Vitruvius, tetapi mengusulkan ‘guna’ dan ‘citra’

sebagai syarat keberadaan sebuah ‘arsitektur’ (bahkan sebutan ‘arsitektur’ itu sendiri diusulkan Mangunwijaya untuk diganti saja dengan ‘vastuvidya’).

(30)

Masalah ihadapkan pada peluang yang masih sangat luas bagi pengkajian arsitektur Jawa itu, bukan mustahil kita lantas menjadi terbengong-bengong dan

akhirnya menjadi bersikap ‘bingung’. Memang, sejumlah masalah awal menjadikah hasrat meneliti menjadi pupus dan punah. Terhadap kajian arsitektur Jawa, apa sajakah maslah awal yang dapat menjadi ganjalan yang sangat potensial?

D

Pertama-tama, tentu saja adalah tingkat kedalaman dan keluasan dari kebudayaan Jawa itu sendiri. Dalam bahasa Jawa saja, kita sudah dihadapkan dengan sekurangnya tiga tingkat berbahasa, belum lagi bahasa yang digunakan dalam suluk pedalangan yang masih kental diwarnai oleh bahasa Jawa kuna dan / atau bahasa Kawi. Masih sekeluarga dengan bahasa adalah tulisan Jawa. Berbicara tentang arsitektur Jawa dari masa sebelum abad 20 khususnya, naskah-naskah yang siap untuk dikaji dalam wilayah arsitektur Jawa ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan ditulis dengan tangan. Bukan saja sulit untuk membaca naskah berhuruf Jawa, tapi juga gaya tulisan yang bisa saja menyulitkan pembacaannya. Pengetahuan bahasa Belanda juga menjadi masalah karena sudah ribuan tulisan tentang kebudayaan Jawa yang dibuat oleh ahli-ahli Belanda, bahkan sudah semenjak awal abad 19.

Masalah kedua adalah pandangan bahwa kajian terhadap arsitektur Jawa pada khususnya dan arsitektur Nusantara / tradisional pada umumnya adalah kajian kebudayaan.

Walaupun kita mempunyai demikian kaya pengetahuan umum tentang arsitektur, tidak pernah jelas mengapa pengetahuan itu tidak digunakan untuk mengkaji arsitektur Jawa.

(31)

Seakan telah terpatri pandangan bahwa pengkajian arsitektur Jawa itu haruslah dilakukan di dalam wilayah kebudayaan, bukan di wilayah pengetahuan arsitektur. Adanya

perbedaan mendasar antara arsitektur Jawa dengan arsitektur Barat seringkali diajukan sebagai alasan bagi minimnya kajian arsitektur Jawa dari wilayah pengetahuan umum arsitektur. Sebagai akibatnya, misalnya saja, tak terlintas dalam pikiran kita untuk melakukan kajian atas ke-Jawa-an bentukan-bentukan dari arsitektur baru / masa kini.

Apakah ke-Jawa-an itu sudah cukup terwakili hanya dengan memunculkan raut dan sosok yang Joglo?

Masalah ketiga, kelambatan kita dalam menyadap perkembagan baru. Kalau I Wayan Gomudha telah mencoba untuk mengkaji arsitektur Bali dengan menggunakan

dekonstruksi, adakah kajian-kajian yang postmodernistik terhadap arsitektur Jawa? Boleh jadi belum ada, mengingat pengetahuan tentang postmodern(isme) belum sempat

dikunyah. Di sisi lain, pihak pengkaji di luar Indonesia nampaknya lebih banyak yang menjalankan langkah sebagaimana yang dilakukan oleh Gomudha tadi. Sayangnya, jaringan informasi tentang arsitektur Jawa belum intensif sehingga kita tidak banyak tahu apa saja yang telah dilakukan oleh pengkaji-pengkaji tersebut.

Keterangan :

i Disiapkan untuk disajikan dalam Lokakarya Pembangunan Laboratorium Arsitektur Jawa di UNS pada tanggal 19 Juni 1999, di UNS – Surakarta

(32)

ARSITEKTUR JAWA SEBAGAI KAWASAN PENELITIAN

i

Sinopsis

Disampaikan wawasan yang umum dan khusus mengenai

“Arsitektur Jawa”, baik sebagai sebuah wilayah penelitian maupun sebagai wilayah pengetahuan. Dengan wawasan ini diharapkan dapat digambarkan kawasan penelitian yang dapat dijalankan di bawah atribut “Arsitektur Jawa”.

(33)

Pengantar rsitektur Jawa dan kebudayaan serta tradisi Jawa seakan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pandangan yang telah mentradisi ini jelas bukanlah pandangan yang keliru; tetapi sebaiknya sudah kita letakkan sebagai salah satu dari berbagai pandangan yang berkenaan dengan arsitektur Jawa. Khususnya arsitektur Jawa itu diletakkan sebagai sebuah wilayah penelitian. Saya mengatakan adanya

pandangan yang telah mentradisi, tentunya diperlukan kejelasan (clarification) akan hal itu.

Selanjutnya, kalau dikatakan pula sebagai salah satu pandangan, tentunya diperlukan kejelasan pandangan-pandangang lain yang dapat diberlakukan bagi arsitektur Jawa sebagai wilayah penelitan dan juga sebagai wilayah pengetahuan. Kertas kerja ini mencoba untuk menggelar keberadaan arsitektur Jawa yang diletakkan sebagai sebuah wilayah penelitian dan pengetahuan, sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu memberikan wawasan bagi kita semua akan ada yang sudah , yang belum maupun yang belum tuntas atas pengkajiaan dan pemahaman terhadap dan tentang arsitektur Jawa.

A

Teori Arsitektur (Jawa) rsitektur Jawa niscaya dapat dibangun sebagai sebuah pengetahuan arsitektur. Keniscayaan ini dapat disampaikan di sini karena pada

pengetahuan arsitektur seumumnya, kita telah diberi petunjuk-petunjuk yang cukup jelas dan tegas, sebagaimana pernah disampaikan oleh Dr.Ir. Iwan Sudrajat (1999). Walaupun penyampaian dari Iwan Sudrajat itu dibatasi dalam kawasan teori arsitektur, namun kiranya kita bisa memperluasnya menjadi petunjuk yang berlaku bagi kawasan arsitektur

A

(34)

sebagai sebuah pengetahuan. dalam kertas kerjanya yang berjudul “Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara : Mengubah Angan-Angan menjadi Kenyataan” disampaikan tiga macam teori(-) arsitektur yakni Theory in Architecture, Theory of Architecture serta Theory about Architecture (h. I – 87 ). Pengenalan atas tiga kelompok teori itu dilakukan oleh Iwan Sudrajat berdasarkan pada permasalahan yang ditangani oleh teori-teori tadi.

- Theory in Architecture, menurut Iwan Sudrajat :

• “Kebanyakan teori arsitektur tergolong ke dalam kelompok ini.

Theory in Architecture umumnya mengamati aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional dan prinsip-prinsip estetik yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha merumuskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan praktis yang penting bagi penciptaan desain bangunan yang baik. Teori yang tergolong dalam kelompok ini cenderung bersifat superfisial, deskriptif dan

preskriptif, kurang dilandasi oleh interpretasi dan pemahaman kritis dan mendalam”

- Mengenai Theory of Architecture, Iwan Sudrajat menuliskan :

• “Teori yang tergolong ke dalam kelompok ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan pengetahuan, teknik dan sumber-sumber dalam proses desain dan produksi bangunan. Isu pokok di sini bukanlah prinsip-prinsip umum yang memandu desain, tetapi bagaimana dan mengapa arsitek mendesain, menggunakan media dan bertindak;

serta mengapa di antara mereka bisa terjadi keragaman historis maupun budaya”.

(35)

- Sedangkan tentang Theory about Architecture, diterangkan dengan ringkas sebagai berikut :

• “Teori yang tergolong dalam kelompok ini bertujuan menjelaskan makna dan pengaruh arsitektur, mendudukkan arsitektur dalam konteks sosial budayanya, memerikan bagaimana arsitektur bekerja sebagai produser budaya atau memahami bagaimana arsitektur digunakan dan diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, teori ini berusaha menjelaskan bagaimana arsitektur berfungsi, dipahami dan diproduksi secara sosial dan budaya”.

Dengan keterangan dari Iwan Sudrajat itu kita mengetahui bahwa sekurangnya ada tiga kelompok besar permasalahan yang masing-masing menunjuk pada arsitektur sebagai sebuah obyek di dalam lingkungannya; proses berarsitektur yang dilakkukan oleh para arsitek,d an dengan demikian dapat pula dikatakan sebagai seluk beluk persoalan perancangan arsitektur. Di kelompok ketiga kita bergelut dengan ihwal makna dan pengaruh arsitektur di dalam dan terhadap lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

Dengan mengesampingkan posisi pengelompokan itu sebagai pengelompokan teori; dan menggantinya menjadi pengelompokan atas permasalahan umum dunia arsitektur, nampaknya sudah cukup memadai bagi kita bersama untuk mengatakan bahwa ketiganya adalah juga kelengkapan (minima ) pengetahuan (tentang ) arsitektur. Dengan demikian, tidak pula berlebihan bila kita juga mengatakan bahwa ketiga kelompok itu semestinya berlaku pula bagi keberadaan arsitektur Jawa sebagai sebuah pengetahuan (tentang) arsitektur. Bila kelengkapan pengetahuan itu belum tersedia di arsitektur Jawa, di situlah terbentang lapangan bagi peneliti-peneliti. Melalui proses pengetahuan – penelitan –

(36)

pengetahuan maka bukan saja budaya atau tradisi meneliti menjadi subur, tetapi pengetahuan juga semakin diperkaya, diperluas dan dipertajam.

Arsitektur Jawa, Budaya dan Tradisi ekaguman dan kebanggaan atas budaya dan tradisi Jawa dapat saja dikatakan sebagai latar belakang yang cukup kuat bagi pandangan yang selama ini masih cukup kuat bertahan di wilayah pengetahuan kita tentang arsitektur Jawa pada khususnya, arsitektur Nusantara pada umumnya. Dalam pandangan ini, dipercaya bhwa budaya dan tradisi tidak saja menjadi latar belakang namun sekaligus ditingkatkan menjadi sumber dan gagasan pokok bagi keberadaan dan kehadiran arsitektur Jawa. Sering dikatakan “arsitektur [Jawa] adalah cermin kebudayaan [dan tradisi Jawa]”, sebuah pernyataan yang menunjukkan di mana posisi kebudayaan dan tradisi di dalam jagad arsitektur [Jawa]. Walaupun secara lebih khusus dan mendalam hal ini akan diuraikan oleh Ir. I Nyoman Gelebet, namun beberapa hal yang dalam

pandangan saya cukup penting untuk diperhatikan, akan saya sampaikan dalam kesempatan ini.

K

(a) Arsitektur sebagai cermin budaya dan tradisi

Arsitektur menjadi salah satu (obyek) kasus bagi kepentingan teori dan

pandangan di dalam ilmu kebudayaan. Meski pada dasarnya pandangan seperti ini – tidak – untuk memproduksi arsitektur, tetapi dalam prakteknya, sering dianggap pandangn ini mampu untuk digunakan untuk memproduksi arsitektur.

(37)

(b) Arsitektur Jawa sebagai rekaman budaya dan tradisi

Disini, pandangan yang digunakan adalah “Arsitektur itu bagaikan sebuah bahasa”.

Di sini arsitektur dipandang bagaikan sebuah karangan / tulisan. Untuk itu, kemampuan untuk membaca hanya akan muncul manakala kita sudah bisa menguasai huruf, kata dan kosakata serta tatabahasa sebagai prasyarat bagi terbitnya kemampuan membaca. Dari membaca diperoleh kemampuan untuk mengerti isi, makna dan maksud dari bacaan itu. Dalam arsitektur, sudah barang tentu tersedia seperangkat prasyarat bagi kemampuan untuk membaca arsitektur.

Melalui pembacaan terhadap arsitektur itulah isi, makna serta maksud dari kebudayaan dan tradisi dapat diungkapkan. (Masalahnya memang, bisa jadi kita di dunia arsitektur tidak mengenal siapakah yang dimaksud dengan huruf, kata dan tatabahasa arsitektur ).

Meskipun keduanya memperlihatkan perbedaan yang cukup besar, namun bila dikembalikan pada kelompok pengetahuan arsitektur akan terlihat bahwa ihwal ( a ) lebih menunjuk pada kelompok pengetahuan dengan prioritas pada pengetahuan ‘about architecture’. Sebaliknya ihwal ( b ) akan memprioritaskan pada pengetahuan ‘in architecture’.

Dengan kata lain, ihwal ( a ) mampu membangun pengetahuan arsitektur dengan skala prioritas : ‘about architecture’, diikuti oleh ‘in architecture’ dan diakhiri dengan ‘of architecture’.

Sementara itu, ihwal ( b ) akan menurunkan skala prioritas sebagai berikut : ‘in architecture’, diikuti oleh ‘about architecture’ dan diakhiri dengan ‘about architecture’.

(38)

Perspektif Pengetahuan Arsitektur Jawa

Arsitektur Jawa dari / dalam pandangan Jawa

Dinamika internal masyarakat Jawa menjadi isyu pokok dari kajian seperti ini.

Berbagai kajian yang pada ujung-ujungnya menunjuk pada “arsitektur (Jawa) adalah (pen)cermin(an) dari kebudayaan Jawa” dapat dikelompokkan di sini. Karena di sini kita menunjuk pada ‘kebudayaan’ maka ada baiknya kalau hal itu tidak dibatasi hanya dalam kosmologi, adat dan kebiasaan / tradisi, atau sistem kepercayaan. Di sini dapat saja

‘kebudayaan’ itu diperluas sehingga mencakup susastra, seni tari, seni pewayangan dan sebagainya.

Arsitektur Jawa dari / dalam pandangang Nusantara

Menjadi kajian bandingan ( comparative studies ) untuk mendapatkan tipologi dan morfologi arsitektur Nusantara; juga merupakan kajian untuk memperoleh jawab atas masalah dalam arsitektur Jawa, di mana jawab itu diperoleh dari arsitektur Nusantara.

Misalnya konsep ‘api’ sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat tropis, dalam tandingannya dengan peran api dalam masyarakat empat musim.

Arsitektur Jawa dari / dalam pandangan Pengetahuan Arsitektur

Apabila ‘Budaya Jawa’ diganti dengan ‘Pengetahuan Arsitektur’, maka penjelasan atas pengetahuan arsitektur Jawa tidak banyak berbeda. Di sini yang dimaksud dengan

‘Pengetahuan Arsitektur’ adalah beragam dan bermacam cabang dan ranting

pengetahuan yang ada di dalam arsitektur seumumnya, seperti misalnya pengetahuan

(39)

tentang sistem struktur, estetika, atau teori dan filsafat arsitektur. Sudah barang tentu dalam perspektif ini dapat dimasukkan pula kesejarahan dan dinamika perkembangan arsitektur Jawa, mulai dari masa purba hingga masa reformasi saat ini.

Pengkayaan Pengetahuan Arsitektur Jawa

Pergaulan Arsitektur Jawa dengan Arsitektur tan-Jawa (a) Mempertanyakan ‘pengaruh’

Adalah kaitan antara arsitektur Jawa dengan arsitektur Toraja? Bagimanakah ke- Jawa-an arsitektur modern? Kedua pertanyaan itu hanyalah sebuah pancingan bagi penjelajahan untuk membangun pengetahuan arsitektur Jawa yang lebih ‘supel’. Apa yang tejradi dalam perjalanan arsitektur Jawa? Tidak terlalu sulit dalam menjawab pertanyaan ini. Melalui ‘sejarah’ arsitektur Jawa kita telah mengetahui bahwa berbagai arsitektur dari luar Jawa telah menjadikan perkembangan arsitektur Jawa semakin lama kaya dan kompleks. Dalam segenap penjelajahan kesejarahan atau (perkembangan arsitektur ) itu, nyaris tak pernah dipersoalkan adanya tidaknya sebuah sosok arsitektur asli Jawa; sebuah sosok yang di saat Hindu dan Budha memperkenalkan diri di Jawa telah menghasilkan perkembangan tertentu di arsitektur Jawa. Selama ini, perkembangan yang terjadi di arsitektur Jawa itu lebih banyak dikatakan sebagai buah dari ‘pengaruh luar’ yang diserap oleh arsitektur Jawa. Dari peninjauan kritis kita, sebaiknya kita bersama mempertanyakan tentang ‘pengaruh’ tersebut. Kalau arsitektur Jawa itu dipengaruhi oleh Hindu dan Budha misalnya, pernahkah kita mempertanyakan bahwa

(40)

pernyataan itu memiliki nuansa seakan-akan arsitektur Jawa adalah pihak penerima yang berada dalam kedudukan yang subordinate, sebagai pihak penerima yang harus

menerima? Apakah tidak terdapat kemungkinan di mana justru arsitek(tur) Jawa itulah yang dengan aktif melakukan dialog dengan arsitek(tur) Hindu-Budha, untuk selanjutnya melakukan kombinasi dan pengkayaan diri dengan menyerap arsitek(tur) dari luar Jawa?

(b) Tipologi dan Morpologi Arsitektur Nusantara

Apakah kita sungguh yakin bahwa arsitektur Jawa adalah arsitektur yang mandiri, yang tidak melakukan dialog dengan arsitektur Nusantara lainnya? Kalau wujud

arsitektur Sumba, arsitektur Madura (-Sumenep) dan arsitektur Jawa itu sendiri

dijejerkan satu sama lain, jelas terlihat bahwa keserupaan yang sangat bena / signifikan dari mereka itu adalah keserupaan dari bangun atau sosok atapnya,yang di Jawa dikenal dengan sosok atap Joglo.

Perjalanan Arsitektur Jawa dalam Melintasi Waktu

Dari setiap cabang dan ranting pengetahuan arsitektur serta kebudayaan, pengkajian yang diletakkan dalam kerangka waktu akan membentuk pengkayaan yang tersendiri. Walaupun seringkali di sini kita harus dihadapkan pada ihwal sejarah arsitektur, tetapi dapat saja pengkayaan pengetahuan dengan memperhatikan kerangka waktu membebaskan diri kajiannya dari kungkungan kajian sejarah arsitektur. Sudah barang tentu, perjalanan yang melitas waktu ini bisa dilakukan dalam dinamika internal arsitektur Jawa maupun dinamika eksternal. Dalam dinamika internal di sini pertanyaan pokoknya adalah bagaimana tindakan yang dilakukan oleh arsitektur Jawa dalam

pergaulannya dengan perkembangan masyarakat dan budaya Jawa, maupun pengetahuan

(41)

arsitektur Jawa. Di sini kita dihadapkan pada arsitektur Jawa sebagai pihak yang (pro-) aktif di hadapan perkembangan dan lintasan waktu. Dalam dinamika eksternal

pertanyaan pokok adalah apa yang terjadi di arsitektur Jawa sehubungan dengan

munculnya perkembangan arsitektur / teknologi / budaya yang masuk ke Jawa? Di sini kita berhadapan dengan posisi arsitektur Jawa sebagai penerima masukkan dari luar.

Dalam bahasan kita ini, sejujurnya saja kita tergagap-gagap dalam mendapatkan penyelesaian arsitektur(al) yang berkenaan dengan bingkai waktu masa kini.kita masih belum dengan tuntas memberikan jawaban bagi pertanyaan bagaimanakah wujud arsitektur Jawa di dalam perjumpaannya dengan arsitektur modern apalagi dengan arsitektur postmodern. Di sini kita tiba-tiba saja harus melintas waktu yang demikian cepat perputarannya, sedangkan diri kita tidak memiliki kesiapan untuk itu.

(42)

Penutup asih jauh lebih banyak yang bisa dan perlu disampaikan mengenai arsitektur Jawa. Sumbangan pemikiran dari banyak orang pastilah akan menjadi lebih memperkaya khasanah pengetahuan arsitektur Jawa. Kiprah nyata dari Laboratorium Arsitektur Jawa jelas sangat dinantikan oleh demikian banyak pihak, termasuk pihak internasional. Semoga masing-masing dari kita tidak mengatakan :

“ah,itu bukan tugas saya”.

M

Keterangan :

i Disiapkan untuk disajikan dalam Lokakarya Pembangunan Laboratorium Arsitektur Jawa di UNS pada tanggal 17 Juni 1999, di UNS -Surakarta

(43)
(44)

GEOMANCY DALAM KONFLIK TRADISI DAN MODERN :

amatan kasus primbon jawai

Pembuka

P

engamatan terhadap Primbon Jawa memang bisa mendapatkan keberatan tertentu. Sebagaimana diketahui, Geomansi lebih menunjuk pada salah satu teknik rancang arsitektur dari arsitektur Cina dan cukup terpengaruh olehnya (seperti Korea dan Jepang). Cukup banyak petunjuk yang memperlihatkan bahwa antara Primbon Jawa dan Geomansi terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup bena

(significant). Adanya perbedaan inilah yang mendapatkan keberatan bagi penggolongan Primbon Jawa ke dalam Geomansi. Menyadari keadaan ini, pengamatan yang dilakukan sekarang ini hendaknya dilihat sebagai sebuah kasus di mana antara sistem rancang tan- barat (tradisional, vernakular) dipertandingkan dengan dan terhadap sistem rancang barat (modern). Dengan demikian, baik geomansi (-Cina) maupun Primbon Jawa sama- sama diletakkan sebagai sistem rancang tan-barat tadi.

(45)

Sementara itu, antara kedua sistem rancang yang dipertandingkan itu, sorotan pengamatannya tidak semata-mata hanya untuk menunjukkan adanya konflik, tetapi lebih sebagai sebuah pengamatan yang menandingkan keduanya. Dengan pengamatan seperti ini, konflik hanyalah salah satu konsekuensi yang muncul dari demikian banyak penandingan yang dilakukan.

Memang, harus diakui bahwa penjelajahan atas geomansi dan Primbon Jawa masih sangat eksploratif, masih belum memiliki ‘pakem’ ancangan ( approach ) dan cara (method and techique) yang tersendiri. Penggunaan ancangan dan cara barat untuk menjelajahi geomansi dan Primbon Jawa hanyalah sebuah upaya percobaan untuk mendapatkan pengalaman tentang Geomansi dan Primbon Jawa. Bahwa di sini ada simpangan (distorsi) maupun kerugian-kerugian, dengan sepenuhnya disadari kemungkinannya. Pengkajian lebih lanjut memang dilakukan, agar bisa diperoleh ancangan dan cara yang paling tepat untuk menjelajahi Geomansi dan Primbon Jawa.

Potensi-Potensi Konflik 1. Format Sajian

Sudah pernahkah melihat wajah sampul buku Primbon? Penampilan Primbon Betaljemur Adammakna memang lebih ‘priyayi’ bila dibandingkan dengan Primbon Jawa Pandita Sabda Nata. Pada Primbon yang terakhir, yang cenderung tipikal perwajahan sampul dari buku-buku Primbon, dengan serta merta telah membangkitkan kesan isi buku yang mistik dan berbau klenik ( dan pada titik ekstrim : musyrik ). Jelas jauh dari tampang buku yang pantas untuk dideretkan bersama-sama dengan buku-buku

(46)

akademik di perpustakaan. Kalau anda mencoba untuk menengok isinya (kalau saja, anda berpandangan bahwa hal itu bukanlah sebuah ‘dosa’), tentu saja akan geleng-geleng kepala. Pasal-pasal yang berkaitan dengan bangunan tak cukup memadai untuk dijadikan bahan untuk mengenal bangunan Jawa dengan baik. Belum lagi penempatannya yang tidak disatukan menjadi satu pasal atau bab yang tersendiri; dan tambahan lagi, isi buku cenderung untuk dicampur dengan materi yang sulit dipahami logikanya (seperti falsafah burung perkutut; hari naas; nasib dan peruntungan; dan sebagainya ). Sistematika isi buku praktis tak seturut dengan sistematika dan organisasi isi buku akademik selazimnya.

Kalau setelah menengok isi, anda juga menyempatkan diri untuk membaca sejenak, lagi-lagi akan muncul kesan aneh atas apa yang ditulis di sini. Bagaimana mungkin sebuah ukuran memiliki watak : suka kawin; banyak anak dan disenangi tetangga? Secara umum akan tersaksikan adanya hal-hal yang tidak mudah dimengerti logika perkaitannya. Mengapa tidak disajikan saja : panjang tiang adalah dengan modul atau kelipatan 30 cm; bukankah penyajian seperti itu mudah dimengerti dan dapat langsung diaplikasikan? Pertanyaan seperti ini sangat bisa dimaklumi pemunculannya, karena telah menjadi ‘model’ penalaran yang lazim digunakan di masa modern ini, seperti misalnya yang tersaji dalam berbagai buku bakuan (standard) atau buku peraturan bangunan.

Apakah Primbon sebuah Aturan Bangunan dalam arsitektur Jawa? Dalam

menjawab pertanyaan ini, ada baiknya digelar terlebih dulu pengertian dan pemahaman umum yang ada mengenai Aturan Bangunan. Untuk itu, secara acak saja dipungut buku Peraturan Bangunan Nasional ( 1986, cetakan ke-6; terbit pertama kali 1967) yang

(47)

diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umumii. Dalam buku ini, Peraturan yang dibuat dikelompokkan menjadi Bagian-bagian I. Administratif; II. Arsitektonis; III.

Konstruktif; IV. Teknik Penyehatan; V. Pelaksanaan Keselamatan Kerja dan

Pemeliharaan; VI. Ancaman, Ketentuan-ketentuan Peralihan/ Penutup. Tanpa harus menyusup lebih dalam ke rincian dari Peraturan itu, kiranya cukup dengan petikan berikut ini dapat digelarkan pengertian umum kita tentang Peraturan Bangunan itu.

Bab II : 303. Ukuran-ukuran ruang : (1)…….

(2). Bangunan-bangunan kelas I, II, III dan flat ukuran luas lantainya sekurang- kurangnya :

a. untuk satu ruangan kediaman 15.00 m2 b. untuk dua ruangan kediaman 18.00 m2

c. untuk setiap ruang kediaman selanjutnya, ditambahkan masing-masing

dengan 6m2

(3). Pada bangunan kelas I, kecuali flat ukuran luas lantai untuk setiap ruang kediaman sekurang-kurangnya 6m2

(4). Tinggi ruang minimum pada bangunan kelas I, II, III sekurang-kurangnya 2,40m, kecuali :

a. dalam hal langit-langitnya / kasau-kasaunya miring, sekurang- kurangnya ½ dari luas ruang mempunyai tinggi ruang 2,40 m dan tinggi ruang selebihnya pada titik terendah tak kurang dari 1,75 m;

b. dalam hal ruang cuci dan kamar mandi / kakus dapat diperbolehkan sampai sekurang-kurangnya 2,10 m

(h.35 –36) Haruskah kita berdebat dan mempertanyakan, mengapa luasan ruang itu adalah sekian meter persegi, dan tingginya adalah sekian meter? Nampaknya tidak, karena kita sudah percaya begitu saja, bahwa angka dan besaran yang tercantum adalah aturan tentang

(48)

ukuran ( dari bagian ) ruangan. Mengapa kita percaya saja? Karena itulah yang

diperkenalkan, diajarkan dan terhafalkan. Dengan kata lain, pengenalan kita atas aturan dan peraturan itu umumnya hanyalah sebatas taken for granted atau sekedar sebagai sesuatu yang given belaka.

Gambaran tentang aturan dan peraturan yang telah terpatri di akal dan pikiran ini, dengan segera akan tergoncangkan manakala dihadapkan pada petikan Primbon Jawa berikut ini :

Uga petung dedeging saka

Iki petung dedeging saka kang katon, ( purus lan pendem ora katut kapetung ) pangetunge pecake dewe tinemu pirang pecak, ing ngisor iki petunge.

Yen dedege saka tiba petunge pecak 1. Saka, watake kukuh;

2. Som, watake ayem;

3. Mahe, watake ala;

4. Baya, watake ala;

5. Pati, watake ala.

(Primbon Djawa-Pandita Sabda Nata (1976);h.21)

Meskipun diketahui bahwa kutipan di atas adalah mengenal ukuran tinggi tiang ( saka ) tetapi sungguh sulit dimengerti mengapakah dimunculkan ‘watak’ yang menyertai setiap ukuran? Di samping itu, kalau pada Peraturan Bangunan Nasional ditegaskan bahwa tinggi ruangan itu sekurang-kurangnya adalah 2,40 m, berapa besarkah sekurang- kurangnya tinggi tiang pada bangunan Jawa? Dua pertanyaan ini hanyalah sedikit saja dari sejumlah pertanyaan lain yang menyertai pengamatan kita terhadap Petungan / Primbon Jawa. Ada perbedaan nyata pada format penyajian, yakni antara yang tegas dan

(49)

langsung ( pada Peraturan Bangunan Nasional ) dengan yang tidak langsung ( pada Petungan / Primbon Jawa). Perbedaan format penyajian ini seringkali menjadi sandungan paling awal pada pergumulan dengan Petungan/Primbon, dan pada gilirannya mendatangkan konflik antara format yang terpatri di pikiran dengan format yang dimunculkan oleh Primbon.

Apakah kita bisa menerima bahwa Petungan / Geomansi itu setara dengan Peraturan Bangunan Nasional (PBN)? Sudah barang tentu cukup sulit untuk

menyetarakannya, apalagi kalau ditinjau dari kedudukan hukum. Bagaimana kalau dilihat dari tujuan penerbitannya? Perarutan Bangunan Nasional tentu menunjuk salah satu dari tujuannya adalah untuk dapat diperlakukan sebagai semacam ‘guidelines’ bagi pembuat bangunan, petugas pengawasan bangunan dan tentu saja bagi pemilik bangunan. Sebagai sebuah guidelines bagi pemilik bangunan, tentunya PBN ini akan dibaca atau dimengerti sebagai sekumpulan ‘lakukan – jangan-lakukan’ ( do – don’t). Dalam sisi tinjau ini, cukup dapat dimengerti bila petungan / geomansi itu juga merupakan serangkaian ‘lakukan – jangan-lakukan’, bukan? Dengan demikian, bila PBN maupun petungan/geomansi itu dimengerti sebagai serangkaian anjuran dan pantangan/larangan, tidak ada alasan untuk tidak menyetarakan petungan/geomansi dengan PBN.

Bisa jadi lalu muncul keberatan akan hal itu, mengingat yang tersaji di petungan / geomanci itu tidak mudah dipahami logika perkaitannya (misalnya, bagaimana logikanya sehingga dengan ukuran ‘1-saka’ itu bisa didapatkan tiang yang panjangnya sekian meter (1-saka, watake kukuh)? Dihadapkan pada pernyataan ini, tentunya kita juga sebaliknya mencoba untuk memasuki alam berpikir para pemilik bangunan yang juga bertanya-

(50)

tanya “mengapa lahan sebatas x meter dari jalan tidak boleh didirikan bangunan?”

Maksudnya, apakah logika penalaran dari para pemilik lahan dan bangunan bisa mengerti tentang garis sempadan? Bagi kita yang memang adalah ahli bangunan dan arsitektur, pengetahuan akan garis sempadan telah dipunyai, sehingga logika

penalarannya tidak merupakan pernyataan yang perlu dimunculkan. Yang sebaiknya dikuatirkan tentang petungan / geomanci itu adalah munculnya penolakan terhadapnya hanya karena kita tidak memahami logika penalarannya; dan dengan tidak dimilikinya pemahaman itu lalu memasang sikap antipati.

Penampilan, sistematika dan organisasi, serta uraian dari masing-masing pokok sajian nampaknya telah menjadi latar belakang bagi keenganan untuk memberikan perhatian terhadap Petungan/Primbon Bangunan Jawa.

2. Ancangan

Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang Primbon Jawa, ada baiknya di sini sejenak disoroti hasil kerja dari Michael Parker Pearson dan Colin Richards (1997) dalam buku yang mereka sunting “Architecture & Order : Approaches to Social Space”. Kedua penulis itu telah dengan baik menunjukkan sejumlah ancangan dalam kajian yang menggelarkan adanya perbedaan-perbedaan antara yang modern dengan yang tan- modern. Di sini dihimpunnya berbagai pendapat dan pemikiran yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbedaan yang terjadi adalah sebuah kondisi logis dari adanya perubahan dan perkembangan, baik itu berkaitan dengan pemikiran maupun dengan keadaan eksternaliii. Melalui kerja Pearson dan Richards ini dapat dengan mudah dikenali bahwa ihwal Primbon Jawa dan Geomansi seumumnya itu adalah sebuah babak

(51)

perkembangan yang posisinya adalah sebelum babakan masa kini. Meskipun telah banyak yang mengetahui hal ini, namun rasanya tak banyak yang mengenal dan memahami konsekuensinya. Memperlakukan penalaran modern terhadap

petungan/primbon adalah salah satu dari konsekuensi itu. konsekuensi lain yang muncul adalah sebagaimana tersaji berikut ini.

Berhadapan dengan keadaan yang berbeda dari kelaziman yang telah terpatri itu, adakah kesempatan dan peluang untuk membedah dan menyingkap ‘misteri’ dari

Primbon itu? jangankan mempertanyakan kemungkinan Primbon sebagai sebuah format aturan / peraturan bangunan; menempatkan Primbon sebagai sebuah kajian untuk arsitektur Jawa saja enggan dilakukan. Keengganan ini nampaknya banyak disebabkan oleh muncul dari terpatrinya pemikiran lain terhadap Primbon ini, seperti ‘primbon itu klenik’. Mengapa pemikiran seperti ini muncul? Diduga keras pemikiran seperti ini muncul karena dalam melakukan pengenalan, pengkajian dan pemahaman atas arsitektur Nusantara telah dan banyak dikuasai oleh pendekatan antropologi dan etnografi yang disusun oleh para ahli Belanda dari masa sebagai kemerdekaan. Bahan-bahan ini semakin diperkaya oleh pemikir dan penulis semenjak masa kemerdekaan. Salah satu yang dapat dimunculkan di sini adalah kerja antropolgi-agama dari Geertz dan Rahmat Subagya, yang masing-masing memberi sorotan khusus atas Primbon. Primbon, menurut mreka, adalah bentuk dari sistem kepercayaan dari masyarakat Jawaiv. Cukup banyak tanda- tanda yang menunjukkan bahwa penggarapan terhadap arsitektur Nusantara dapat didekati dan diancang dari antropologi dan etnografi bukanlah langkah yang keliru, tetapi akan keliru kalau menganggap dan memperlakukan antropologi dan / atau

(52)

etnografi itu sebagai arsitektur, demikian pula sebaliknyav. Yang patut disayangkan nampaknya belum ada yang tergerak untuk melakukan penggarapan atas arsitektur modern dengan ancangan antropologik / etnologik, sehingga belum bisa dilakukan pembandingan antara arsitektur moden dan arsitektur Nusantara. Sementara itu, penggarapan atas arsitektur Nusantara dengan menggunakan arsitektur modern juga belum menarik perhatian. Muara dari keadaan terakhir ini adalah tersisihnya Primbon dari percaturan arsitektur, dan semakin tajamnya konflik antara tradisi dan modernitas.

Segenap gelaran di atas disajikan di sini sebagai latar belakang dari hadirnya konflik antara tradisi dan modernitas. Selanjutnya, akan dicoba untuk digelarkan beberapa butir penjajahan atas Primbon Jawa, yang dalam hal ini dibatasi pada hal-ihwal yang berkaitan langsung dengan bangunan dan arsitektur. Penggelaran ini tidak diarahkan untuk membeberkan konflik-konflik itu sendiri, tetapi lebih diarahkan untuk menegaskan bahwa sebenarnya konflik itu tidak perlu terjadi.

Mempertanyakan Keberadaan Konflik 1.

Memang tidak mudah untuk meletakkan Petungan sebagai data bagi penjelajahan akademik arsitektur. Bahasa Jawa yang digunakan untuk menyampaikan materi-materi, misalnya telah menjadi tembok penghalang paling depanvi. Walaupun ada yang bisa berbahasa Jawa, tetapi belum tentu penguasaan atas Primbon dapat dijamin, sebab disana-sini masih dimunculkan kata-kata yang lebih tua, sehingga diperlukan kamus yang lebih khusus. Sangat disayangkan bahwa mereka yang cukup menguasai bahasa Jawa

(53)

kurang berminat, sementara yang kurang menguasai justru berminat besar untuk mendalami ihwal bangunan dan arsitektur Jawa. Kelompok yang terakhir ini, terpaksa tidak menyertakan Primbon dan Petungan sebagai data kajian dan cukup puas dengan data yang muncul dari hasil kajian ahli-ahlivii. Data sekunder telah menjadi data primer, sedangkan data primer ditiadakan.

Bila penguasaan terhadap bahasa Jawa tidak menjadi penghalang, tidak berarti kesempatan untuk menjelajahi Primbon dan Petungan dapat berjalan lancar. Diduga kuat bahwa penulisan yang terdapat dalam primbon adalah bagaikan pita perekam. Yang ditulisakan dalam primbon adalah sebagaimana disampaikan atau diucapkan oleh pakar Jawa di bidang Primbon tadi ( para dukun atau wong tuwa ). Serat Centhini dapat dimunculkan sebagai contoh nyata atas hal itu, meskipun naskah itu tersajikan dalam format tembang.

Satu contoh dari format sajian Primbon dapat diberikan di sini : Jarak dedeging saka

Mungguh dedeging saka kang katon, iya iku kajabaning purus ing dhuwur lan pendem ing ngisor, tinepus nganggo astane dewe, iya iku wiwit pucuking deriji panunggul nganti tumeka ing sikut, ana pirang asta, dene jarake ana papat iyo iku : 1. Suku; 2. Waktu; 3. Gajah; 4. Buta

Yen panjarake tiba jarak angka : 1. Suku, iku kanggo sakaning pawon;

2. Waktu, iku kanggo sakaning lumbung utowo masjid;

3. Gajah, iku kanggo sakaning omah utawa pandapa;

4. Buta, iku kanggo sakaning pajaksan utawa pakunjaran (primbon Djawa – Pandita Sabda Nata (1976);h.21)

Bagaimanakah pemahaman yang dapat diambil dari pokok materi tentang ‘jarak dedeging saka’ – panjang tiang – itu? Apakah itu menunjuk pada jarak antar tiang ataukah

(54)

menunjuk pada panjang dari tiang? Pertanyaan yang kedua bisa dimunculkan karena kalimat pertama berbunyi ‘mungguh dedeging saka kang katon…’, yakni ‘adapun tinggi tiang yang kelihatan….’. Lalu, bagaimana bentuk pemahaman dari kalimat kedua yang

berbunyi : ‘yen panjarake tiba jarak angka 1. Suku, iku kangga sakaning pawon’? Meski kaliman ini di-Indonesia-kan bebas menjadi : ‘kalau pengukurannya jatuh pada jarak angka 1-Suku, itu adalah untuk dapur’, kalimat ini masih tidak dengan langsung membuat kita berkata : “kalau demikian, untuk dapur ukurannya adalah ….”

Ihwal kalimat kedua seperti contoh di atas masih tidak sesulit upaya pemahaman atas kalimat yang berbunyi : ‘yen dedege saka tiba petungan pecak 1. Saka, watake kukuh’

(loc.cit), di mana peng-Indonesia-annya kurang lebih menjadi : ‘bila tinggi tiang jatuh pada hitungan pecak 1-saka, wataknya kokoh’. Format penyajiannya st ini tentu sulit dimengerti dengan mengkaji tulisan-tulisan dalam buku pelajaran dan pengetahuan.

Bersyukurlah bahwa melalui pemanfaatan cara kerja para strukturalis, upaya

pemahaman itu telah berhasil dilakukan. Prijotomo (1985) telah menunjukkan bahwa penyajian dari petungan itu ternyata dipahami dengan menggunakan model semiologi dari Hjelmslev. Melalui pemahaman ini pula dapat diketahui bahwa petungan-petungan dalam Primbon menunjukkan ciri-ciri pengaplikasian sebagai berikut :

a. Petungan-petungan dalam primbon dapat dikelompokkan ke dalam petungan yang hanya menunjuk pada perhitungan ( misal : 2-Kitri – untuk pendapa );

dan yang menunjuk pada pertimbangan dan perhitungan (misal: 1-Saka- wataknya kukuh).

(55)

b. Masing-masing pasal dari petungan menunjuk pada perhitungan /

pertimbangan terhadap satu unsur bangunan dan / atau tapak dan lokasinyaviii. Dengan demikian, penggunaan petungan dalam primbon untuk menggarap sebuah bangunan yang utuh dan lengkap menuntut perangkaian atas segenap bagian / pasal yang berkenaan dengan terbentuknya bangunan tersebut.

2.

Sehubungan dengan pembangunan rumah, setiap penghitungan yang dilakukan selalu dilakukan dengan maksud-maksud tertentu. Salah satu maksud yang sangat jelas adalah demi kepentingan pemilik dan keluarga rumah itu sendiri. Sementara itu, setiap rumah atau bangunan yang didirikan, akan dengan serta merta merupakan bagian dari lingkungan di mana bangunan tadi di dirikan. Bila pemilik memiliki kesadaran atas hal ini, maka dia juga memberikan perhatian pada lingkungan tadi. Bentuk perhatian ini bisa berupa penyesuaian bangunan dengan lingkungan; menjadikan unsur-unsur lingkungan yang mempengaruhi upaya penghadiran bangunan; malahan bisa pula perhatian terhadap masyarakat yang tinggal di lingkungan tadi. Oleh karena itu, bila ditinjau dari segi

manusia sebagai pokok tujuan penghitungan, dapat dilihat bahwa ada kemungkinan- kemungkinan bahwa petungan ‘ditujukan’ bagi :

a. kepentingan dengan pemilik dan keluarganya (=intern keluarga);

b. kepentingan dengan sanak keluarga dari pemilik;

c. kepentingan dengan keterkaitan pada masyarakat disekitarnya.

(56)

Pengamatan terhadap petungan dalam primbon menunjukkan bahwa ketiga tujuan penghitungan diatas dijadikan tujuan dari setiap penghitungan, baik secara terpisah / sebagian maupun secara keseluruhan.

Sementara itu, dalam petungan, sama sekali tidak ada larangan untuk

menggunakan sesuatu ukuran. Bahkan ukuran yang watak atau artinya menunjuk pda malapetaka atau kerugian yang sangat fatal, tidak ditegaskan oleh Petungan sebagai dilarang digunakan. Kalau memang demikian halnya, boleh saja menggunakan ukuran yang art / wataknya mencelakakan. Persoalannya memang, seandainya kita masing- masing adalah pemakai ukuran itu, siapakah diri kita untuk menanggung resiko yang demikian merugikan itu? Logika gampang tentu akan mengatakan “tidak!” Jadi, meskipun tidak ada larangan, adalah pertimbangan individual kita masing-masing yang menjadikan ukuran tadi tidak digunakan. Sesampai di sini. Petungan sebagai aturan atau peraturan itu, tidak dimunculkan sebagai sebuah pernyataan yang mengatakan “ini boleh dipakai, itu dilarang dipakai”. Boleh dan tidaknya dikembalikan sepenuhnya pada

pemakai, tetapi seperti kodrat manusia seumumnya, siapakah orang yang ingin celaka?

Ini berarti bahwa Petungan adalah hanya anjuran atau saran. Peraturan bangunan tidak disajikan sebagai boleh dan dilarang, tetapi sebagai sebuah kesempatan psikologis yang bisa dipilih. Pengamatan ini telah membuat Prijotomo (1995) untuk menengarai adanya dua kategori petungan, yakni petungan yang bercorak justificatory dan yang bercorak decisive.

(57)

3.

Kesulitan dan sekaligus hambatan bagi usaha mengkaji primbon diperberat lagi dengan kenyataan bahwa Primbon yang beraneka-ragam itu praktis tidak menyajikan yang lengkap mengenai pengetahuan bangunan Jawa. Yang nampaknya selalu dimunculkan dalam primbon adalah urusan mengenai kegiatan mendirikan, memperbaiki atau memindah rumah / bangunan. Sejauh Primbon yang berhasil dihimpun, hanyalah Primbon Jawa Pandita Sabda Nata. Dan, berbicara tentang

banyaknya Primbon yang pernah membanjiri di toko buku hingga pertengahan 1980-an, ternyata untuk pokok materi yang sama tergelarlah uraian yang berbeda-beda. Tabel berikut mencoba untuk menggambarkan perbedaan antar Primbon yang ada

Centhini I SN SP+JM BA Centhini III+Kalang

1. Esri- Lumbung Sri-Lumbung Emas-Omah-mburi Sri-Omah-mburi Sri(=Esri)-Omah-mburi 2. Adi- Palesungan Kardi-Palesungan Salaka-Pandapa Kitri-Padapa Kitri – Pandapa

3. Gana-Pawon Gana-Pawon Gana-Pawon Gana-Pawon Gana-Pawon 4. Emas-Omah-mburi Emas-Omah-mburi Kardi-Lesung Liyu-Regol Liyu(=Kaliyu)-Regol 5.

Gambar

Tabel 3 : Perbandingan Unsur Penghitungan pada Sumber-Sumber
Tabel 4 : Patokan bagi Peruntukan Bang menurut Sumber
Gambar 2: sampul luar (kiri) dan sampul dalam (kanan) dari Serat balewarna
Gambar 1. Contoh tulisan Jawa (corak penulisan akhir abad 20)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Faktor ini meliputi dua kategori yakni unsur-unsur yang berasal dari teks bacaan (keterbacaan dan organisasi teks), dan unsur-unsur yang berasal dari lingkungan

IV Mempresentasikan cara membuat dan menggunakan sesuatu berbahasa Inggris berdasarkan teks prosedur  Fungsi sosial genre procedure  Strukturteks genre procedure  Ciri-ciri

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH JAWA TENGAH •

Pegunungan Selatan, zona gamping dan vulkanis dari zaman Miosen yang telah mengalami beberapa pengangkatan hingga zaman kuarter.. Zona Vulkanis zaman Kuarter memiliki banyak gunung api

Sedangkan nilai-nilai αB1 dan αB2 dapat diperoleh dari persamaan sudut belahan akibat beban luar; L1, L2 dan L3 diketahui dari soal; demikian pula Mc diperoleh dari P2 x L4 Setelah

Sifat asam dan Basa pada media non air • Ingat kembali teorema asam dan basa • Pada asam lemah dan basa lemah dikenal pula dengan adanya Ka dan Kb • Dari proses disosiasinya asam

Seseorang berpikiran bahwa mengingat peristiwa tentang emosi negatif lima kali lebih kuat dari pada mengingat peristiwa yang positif Sehingga seseorang akan lebih mudah

Unsur Interpretasi Citra : merupakan karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk pengenalan obyek Unsur Interpretasi citra : ▪ Tone & Colour unsur interp