• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA , UPI

Abstrak

Fakta bahwa siswa lebih sering mendapatkan evaluasi dalam bentuk tes pilihan ganda atau uraian. Pilihan ganda yang sering dipakai oleh guru yaitu hanya satu tingkat dan sederhana tanpa ada tambahan kolom alasan. Tes pilihan ganda memungkinkan peluang menebak jawaban lebih besar dan kurang menyaring pemahaman konsep secara mendalam. Kemudian pilihan ganda biasa ini ditambahkan dengan pilihan alasan (tingkat dua) disebut pilihan ganda dua tingkat atau two-tier test. Namun, two-tier test masih ada peluang untuk menebak jawaban, maka ditambahkan lagi berupa tingkat keyakinan (tingkat tiga), maka disebut three- tier test. Selain itu, three-tier test dapat mendeteksi miskonsepsi. Tujuan penelitian ini menganalisis profil pemahaman konsep pemantulan cahaya menggunakan three-tier test. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat dengan 37 subyek penelitian. Hasil skor rata-ratanya diperoleh yaitu 34 (sedang), artinya tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya sedang.

Kata Kunci: three-tier test, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Dalam sistem pembelajaran, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Arifin, 2009). IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga suatu proses penemuan atau penyelidikan ilmiah (Standar Isi Permen No. 22 tahun 2006). Fisika adalah salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun IPA. Pembelajaran fisika memiliki ciri khas sendiri yaitu berhubungan erat dengan fenomena dan konsep. Salah satu tujuan pendidikan fisika di sekolah agar siswa paham terhadap fenomena alam secara ilmiah, memahami konsep, dan menerapkan atau mengaplikasikannya secara fleksibel dalam kehidupan sehari-hari.

Fakta di lapangan, pembelajaran berpusat pada guru, akibatnya siswa lebih mampu menguasai materi pada tingkat hafalan dan kurang memahaminya. Guru juga kurang memberikan pertanyaan kepada siswa dan jarang praktikum. Peneliti menganalisis soal-soal IPA-fisika berupa pilihan ganda yang menunjukkan bahwa soal fisika rata-rata lebih banyak bersifat kuantitatif, sedangkan soal yang bersifat kualitatif sedikit. Diasumsikan jika siswa sudah dapat mengerjakan soal fisika yang bersifat kuantitatif atau hitungan, maka siswa dianggap sudah paham konsep. Berdasarkan pengamatan di lapangan, skor rata-rata siswa terhadap soal konseptual lebih rendah daripada skor rata-rata soal hitungan.

Solusi alternatif untuk mengukur pemahaman konsep, yaitu dengan pilihan ganda multi-tier. Pilihan ganda dua tingkat atau two tier test pertama kali dikembangkan oleh Treagust (Treagust et al, 2007). Two-tier test yaitu pengembangan pilihan ganda menjadi dua tingkat. Tingkat pertama yaitu pertanyaan pilihan ganda biasa. Tingkat kedua yaitu pilihan alasan menjawab soal tingkat pertama dengan empat pilihan jawaban. Menurut Hasan, Bagoyo, dan Kelley (Pesman dan Erylimas, 2010) bahwa two-tier test tidak dapat membedakan antara miskonsepsi dan tidak paham konsep. Sehingga, two-tier test dikembangkan lagi menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada tingkat ketiga. Pilihan ganda tiga tingkat ini disebut three-tier test.

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus permasalahan yang akan diteliti ialah “Bagaimana profil pemahaman konsep pemantulan cahaya yang dianalisis menggunakan three-tier test pada siswa SMP kelas

VIII?”. METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Tujuannya menganalisis profil pemahaman konsep pemantulan cahaya menggunakan three-tier test. Penyusunan three-tier test diadaptasi dari model penyusunan two-tier test Treagust seperti dalam Gambar 1. (Treagust et al, 2007).

Gambar 1. Tahap Penyusunan three-tier test Pemantulan Cahaya

Subyek penelitian ada 37 siswa dan lokasi penelitian adalah di salah satu SMP Negeri di Lembang, Bandung Barat. Contoh soal three-tier test pemantulan cahaya yang diberikan terdapat pada Gambar 2.

Aturan penskoran three-tier test ini (Pesman, 2010: 39-40) yaitu:

a. Skor A. Memberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah pada tingkat satu.

b. Skor B. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dan tingkat dua. Jika jawabanya salah pada salah satu tingkat maka diberi skor 0.

c. Skor C. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dua dan yakin atas jawabannya, selain itu diberi skor 0.

d. Skor tingkat keyakinan. Memberi skor 1 untuk jawaban yakin pada tingkat tiga. Jika jawabannya tidak yakin maka diberi skor 0.

Pengkategorian siswa paham konsep, tidak paham konsep, error, dan miskonsepsi dari hasil skor C seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Jawaban Siswa Berdasarkan Hasil Skor C

Kategori Tingkat satu Tingkat dua Tingkat tiga

Paham konsep Benar Benar Yakin

Tidak paham konsep (lack of knowledge)

Benar Benar Tidak Yakin Benar Salah Tidak Yakin Salah Benar Tidak Yakin Salah Salah Tidak Yakin

Error Salah Benar Yakin

Miskonsepsi Benar Salah Yakin

Salah Salah Yakin

(Kaltakci & Nilufer, 2007:500)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penskoran three-tier test pemantulan cahaya dengan skor C dan hasil data statistik ditujukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi Semua Data Statistik Three-Tier Test Berdasarkan Hasil Skor C

Statistik N

Siswa 37

Jumlah butir soal three-tier test

pemantulan cahaya 15

Skor ideal 100

Skor minimum 0

Skor maksimum 67

Rata-rata 34

Tingkat kesukaran Jumlah dan nomor soal

0,00-0.25 (Sukar) 7 (5, 8, 9, 11, 12, 13, 14)

0,26-0,75 (Sedang) 7 (1, 2, 3, 6, 7, 10, 15)

0,76-1,00 (Mudah) 1 (4)

Catatan : reliabilitas = 0,82 dan validitas = 0,69

Hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan

Berdasarkan hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan linier atau hubungan positif antara skor B dengan tingkat keyakinan. Artinya, siswa menjawab benar pada tingkat satu dua, maka yakin atas jawabannya. Jika siswa memperoleh skor tinggi, maka tingkat keyakinanya juga tinggi. Semakin besar perolehan skor B, maka semakin tinggi tingkat keyakinan siswa. Siswa menjawab benar tingkat satu dua, dan yakin atas jawabannya, berarti paham konsep (Gambar 3).

Gambar 3.Grafik Hubungan antara Skor B dengan Tingkat Keyakinan

Cataloglu (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), menegasakan bahwa siswa yang memiliki skor tinggi diperkirakan lebih yakin daripada siswa yang memiliki skor rendah. Perkiraan ini dapat di amati dari tiap butir soal tes yang berfungsi baik. J. Cohen (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), juga menegaskan bahwa jika nilai koefisien korelasi Pearson product-moment> 0,50, maka ada hubungan kuat antara skor B dengan tingkat keyakinan. Validitas three-tier test yaitu 0,69. Artinya, nilai validitasnya lebih besar dari 0,50. Kesimpulannya tiap butir soal three-tier test pemantulan cahaya berfungsi dengan baik.

Perbandingan Skor A, Skor B, dan Skor C

Perbandingan skor A, skor B, dan skor C. Hasil rekapitulasi skor A, skor B, dan skor C dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Jumlah Siswa yang Merespon Benar pada Masing-Masing Tingkat Tiap Butir Soal

Gambar 4, disimpulkan bahwa pada skor A, siswa rata-rata menjawab benar paling tinggi. Artinya, pada tingkat satu berupa pilihan ganda biasa ini tingkat kesulitannya rendah. Semakin naik tingkatanya, maka jawaban benar siswa semakin rendah, karena tingkat kesulitannya semakin tinggi. Skor B dan skor C rata- rata nilainya sama. Bentuk soal three-tier test berbeda dengan tes pilihan ganda biasa, akibatnya waktu pengerjaan soal three-tier test lebih banyak daripada soal pilihan ganda biasa. Kelebihan three-tier test

pemantulan cahaya, yaitu memperkecil peluang menebak jawaban, membedakan siswa yang paham konsep, tidak paham konsep (lack of knowledge), miskonsepsi, dan error.

Pengategorian Berdasarkan Skor C

Pengategorian berdasarkan skor C, terdiri dari: paham konsep, tidak paham konsep (lack of knowledge), miskonsepsi, dan error.Indikasi paham konsep, yaitu jawaban siswa tingkat satu dua benar dan menjawab

“ya, yakin”. Hasil pengkategorian berdasarkan skor C ditunjukkan pada Gambar 5.

32 14 32 27 19 33 29 22 6 21 10 30 17 15 11 17 11 21 29 1 25 21 7 3 16 0 12 11 5 10 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 J u m la h S is w a

No. butir Soal skor A skor B

Gambar 5.Pengkategorian Berdasarkan Hasil Skor C

Gambar 5, bahwa pemahaman konsep tertinggi pada nomor soal 4 dengan indikator menglompokkan benda yang tembus cahaya. sebesar 57% siswa paham konsep sifat cahaya yaitu cahaya dapat merambat lurus. Sebelumnya siswa sudah memiliki pengetahuan awal, yaitu ketika benda yang transparan diletakkan di depan sumber cahaya, maka cahaya tersebut masih bisa terlihat oleh mata. Sedangkan pemahaman konsep terendah pada nomor soal 11 dengan indikator meramalkan letak benda pada cermin cekung. Persentasi siswa yang tidak paham konsep sebesar 59%. Siswa tidak paham konsep bahwa ketika benda diletakkan di titik fokus cermin cekung, maka bayangannya tak terhingga. Berdasarkan percobaan bahwa bayangan benda semakin jauh dan semakin besar terlihat pada layar. Namun, siswa belum pernah melihat fenomenanya dan belum pernah melakukan percobaan.

Pada nomor 9 dengan indikator membandingkan perbesaran bayangan pada cermin cembung, siswa mengalami tidak paham konsep tertinggi. Hal ini karena siswa tidak hafal rumus perbesaran bayangan dan siswa tidak terbiasa dengan pilihan jawaban berupa simbol. Siswa sudah terbiasa dengan soal yang berisi pilihan angka.

Miskonsepsi tertinggi pada nomor soal 5 dengan indikator mengelompokkan cermin cembung dari gambar. Sebesar 65% siswa mengalami miskonsepsi tentang cermin cembung. Siswa beranggapan bahwa cermin cembung selalu bentuk permukaannya cembung, sedangkan kaca spion bentuknya datar dan termasuk contoh cermin cembung. Miskonsepsi yang dibawa siswa yaitu kaca spion bentuk permukaannya datar, sifat bayangannya yaitu maya dan tegak, sehingga kaca spion termasuk cermin datar.

Erorr tetinggi pada nomor soal 15 dengan indikator mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap jarak bayangan. Siswa mengalami kekeliruan mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap jarak bayangan, karena pada soal tidak dicantumkan tabel data jarak benda dan jarak bayangan. Siswa belum mampu mengilustrasikan grafik.

Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya dari Hasil Three-Tier Test

Data hasil skor C digunakan peneliti untuk mengukur pemahaman konsep pemantulan cahaya siswa. Skor totalnya dikelompokkan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3.Kategori Tingkat Pemahaman Siswa dari Hasil Skor Total

No. Interval skor Kategori tingkat

pemahaman konsep siswa Jumlah siswa 1. 0-27 Rendah 16 2. 28-72 Sedang 21 3. 73-100 Tinggi 0

Skor rata-rata three-tier test sebesar 34 (sedang). Tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya yaitu sedang. Hal ini karena pertama, materi cahaya bersifat abstrak, sehingga siswa harus mengkonstruksi pikirannya terlebih dahulu dengan contoh atau peristiwa yang konkret. Kedua, pada saat pembelajaran pemantulan cahaya, guru jarang memberi contoh konkret fenomena pemantulan cahaya dan tidak menggunakan media pembelajaran yang mendukung. Keempat, siswa tidak hafal, tidak paham sinar-sinar

istimewa pada cermin cembung maupun cermin cekung. Akibatnya, siswa kesulitan menggambarkan pembentukan bayangan pada cermin cekung maupun cermin cembung. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, siswa tidak terbiasa dengan soal berbentuk pemahaman konsep dan bentuk soal three-tier test. Sebelumnya, siswa belum pernah mengerjakan soal three-tier test.

Hasil penelitian Kumaedi (2000) bahwa siswa yang paham konsep pemantulan cahaya hanya 41 siswa dari 172 siswa atau hanya sebesar 24% siswa. Werdhiana (2010) juga menegaskan bahwa skor rata-rata hitungan lebih tinggi daripada skor rata-rata pemahaman konsep. Selain itu, menurut Mazuir (Werdhianaa, 2010: 2) bahwa skor rata-rata siswa terhadap masalah konseptual lebih rendah daripada skor rata-ratanya terhadap masalah hitungan. Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan memecahkan masalah hitungan itu

seperti pekerjaan mekanis yang hanya “memasukan” angka dalam rumus tertentu tanpa memahami atau menghayati “arti fisis” yang terkandung dalam konsep atau rumus itu.

Keuntungan three-tier test, yaitu: Pertama, dapat membedakan siswa yang paham konsep, tidak paham konsep, miskonsepsi, dan error. Kedua, dapat diselenggarakan untuk sampel yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Ketiga, semua isi materi dapat diujikan, dan mudah dalam penskorannya.

SIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah profil pemahaman konsep pemantulan cahaya dengan menggunakan bentuk soal three-tier test yaitu sedang dengan skor rata-rata 34. Berdasarkan dari hasil perbandingan skor A, skor B, skor C, bahwa nilai skor A paling tinggi. Hal ini mengidentifikasi bahwa siswa dominan menjawab benar pada tingkat satu dengan bentuk soal pilihan ganda biasa dan tingkat kesulitannya paling mudah dari pada soal two-tier test atau three-tier test. Namun, skor B dan skor C rata-rata nilainya sama. Hanya siswa yang memiliki pemahaman konsep yang baik akan mendapatkan skor C lebih tinggi. Dari hasil soal three-tier test ini, presentase siswa yang paham konsep rata-rata rendah dibandingkan presentase siswa yang miskonsepsi, tidak paham konsep, maupun error. Siswa memahami konsep pemantulan cahaya sedang. Hal ini karena kurang termotivasi belajar memahami konsep. Siswa tidak hafal dan tidak paham sinar-sinar istimewa cermin cekung maupun cermin cembung, serta tidak paham cara menggambarkan pembentukan bayangan oleh pemantulan cermin cekung maupun cermin cembung. Siswa lebih tertarik menghafal rumus daripada memahami arti fisisnya.

SARAN

Setelah melakukan penelitian ini, peneliti menyarankan agar pada pembelajaran optik geometri siswa diharapkan mampu menggambarkan proses pembentukan bayangan benda dari pemantulan cahaya. Jika ditambahkan dengan kegiatan praktikum pemantulan cahaya, pemahaman konsep siswa akan menjadi kuat dan bertahan lama.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson LW, Krathwohl DR. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing (A Revisions of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addison Wesley Longman Inc.

Arifin Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Caleon I, Subramaniam R. 2010. “Development and Application of a Three-Tier Diagnostic Test to Assess

Secondary Students’ Understanding of Waves”.International Journal of Science Education. 32(7):939-961. Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. Standar Isi Peraturan Mentri Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdikbud.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2009. Soal UN IPA-Fisika Kode Soal P1 Tahun Ajaran 2009/2010.

Ikhsan M. 2011. Soal UKK IPA Fisika Kelas VIII Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung. Bandung; Tidak Diterbitkan

Ikhsan M. 2011. Soal Pra-UN IPA Fisika Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung.

Kaltakci D, Nilufer D. 2007. Identification of Pre-Service Physics Teachers' Misconceptions on Gravity Concept: A Study with a 3-Tier Misconception Test. Sixth International Conference of the Balkan Physical Union: American Institute of Physics.

Kilic D, Saglam N. 2009. “Development of a Two-Tier Diagnostic Test to Determine Students’

Understanding of Concepts in Genetics”. Eurasian Journal of Educational Research. 227-244. Kumaedi. 2000. Analisis Miskonsepsi Siswa MAN Dalam Pembelajaran Pembentukan Bayangan Oleh

Cermin Datar, Cekung, Dan Cembung.Tesis pada Pascasarjana Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak Diterbitkan.

Pesman H. 2010. Development Of A Three-Tier Test To Assess Misconceptions About Simple Electric Circuits. Tesis pada Pascasarjana Pendidikan Fisika Firat University Turkey: Tidak Diterbitkan. Pesman H, Eryilmaz A. 2010. “Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple

Electric Circuits”. The Journal of Educational Research. 103, 208-222.

Sri E. 2010. Profil Tes Open Book Sesuai Dengan Tahap Perkembangan Intelektual. Tesis pada Pascasarjana Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak Diterbitkan

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Team Erlangga. 2012. E-book Soal TO UN IPA-Fisika SMP/MTs 2012. Jakarta; Erlangga.

Treagust DF, Chandrasegaran AL. 2007. “The Taiwan National Science Concept Learning Study in an

International Perspective”. International Journal of Science Education. 29, (4), 391-403. Universitas Pendidikan Indonesia. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Werdhiana IK. 2010. Pengembangan tes pemahaman konsep fisika siswa SMA. Disertasi pada Pascasarjana Pendidikan IPA Bandung; Tidak Diterbitkan

KREATIVITAS GURU BIOLOGI DALAM MERENCANAKAN PEMBELAJARAN