• Tidak ada hasil yang ditemukan

Liliasari, Sri Redjeki, Dewi Sawitr

BASED LEARNING (PBL)-MAPPING Ludjeng Lestar

CEO Ludjeng Math and Science Center jeng_tari81@yahoo.com

Abstrak

Mengobati Fobia Matematika dan IPA dengan Menggunakan Modul yang Dirancang Berdasarkan Kurikulum Spiral Terintegrasi dan Pemetaan Problem Based Learning (PBL) untuk Membangun Ulang Pemahaman Kosep Belajar. Fobia matematika dan IPA kerap terjadi pada siswa.Ketakutan ini merupakan reaksi siswa akibat belajar matematika dan IPA yang disertai dengan pengalaman kurang menyenangkan atau adanya salah pemahaman terhadap konsep yangdipelajari. Fobia ini seringkali tergambar sebagai sikap siswa yang tidak atau kurang berpartisipasi dalam mengerjakan soal-soal matematika dan IPA atau bahkan sampai

siswa mengucapkan “Saya tidak suka matematika dan IPA”. Studi ini akan mengidentifikasi berbagai masalah dan penyebab fobia matematika dan IPA di antara siswa Sekolah Dasar sampai siswa Sekolah Menengah Atas, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap prestasi belajar siswa di sekolah.Sebuah modul pembelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi dan metode Problem Based Learning (PBL) sedang dikembangkan sebagai suatu bentuk usaha untuk mengobati fobia matematika dan IPA pada siswa.Kurikulum spiral terintegrasi memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas, menyediakan sebuah kerangka pembelajaran yang mencakup keterkaitan seluruh materi dari tingkat dasar sampai tingkat atas dan tema-tema pembelajaran yang terintegrasi dalam kurikulum.Problem Based Learning (PBL) menggunakan pendekatan konstruktivisme.Ide dasar metode ini adalah memberi kesempatan pada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri melalui berbagai aktivitas berupa praktek ataupun penyelesaian masalah (soal-soal cerita).Pada akhirnya penggunaan modul pembelajaran ini dianggap sebagai salah satu upaya terbaik dalam mengikis fobia matematika dan IPA pada siswa..

Kata Kunci: fobia matematika dan IPA, modul pembelajaran, kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan - problem based learning (PBL).

PENDAHULUAN

Pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan masa depan seseorang. Tanpa pendidikan, seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak berkualitas, dia akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak mengenal aturan, seenaknya sendiri, malas dan cenderung memiliki mental yang lemah, tidak memiliki daya juang positif yang akhirnya akan membuat arah hidupnya tidak jelas, tidak terkendali dan dapat terjerumus ke hal- hal negatif. Tanpa pendidikan, manusia akan sangat mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan pribadi. Peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa.Pendidikan kita peroleh di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain

Dalam proses pendidikan manusia, belajar matematika dan IPA memegang peranan yang amat penting. Matematika bukan hanya sekedar kumpulan teknik mendapat jawaban soal atau definisi, teorema ataupun pembuktian, melainkan matematika kaya akan koneksi yang meliputi visualisasi, imajinasi, analisa, pengabstrakan ide asosiasi

Sementara itu, IPA merupakan ilmu pengantar teknologi.Dengan menguasai IPA maka dapat mengembangkan teknologi.Dengan menguasai teknologi maka dapat mengolah sumber daya alam. Belajar IPA memerlukan ilmu matematika sebagai pembentuk pola logika dan alat hitung. Pembelajaran matematika dan IPA seharusnya bersinergi dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal dan pencari tahu.Matematika dengan berbagai problem solving merupakan ilmu alat pengasah dan pembangun logika

berpikir. Sedangkan IPA melalui metode saintifiknya (pendekatan ilmiah: pengamatan, bertanya, percobaan, mengolah data, menyajikan data, menganalisis, menalar, menyimpulkan dan mencipta) sangat sesuai dengan fitrah manusia yang selalu ingin mencari tahu tentang sesuatu yang asing di sekelilingnya.

Tujuan belajar matematika adalah untuk pembentukan mental matematika siswa, yang nantinya akan menjadi sebuah keahlian, menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, dari hal yang sederhana sampai hal yang kompleks. Tujuan belajar IPA adalah untuk pembangunan keahlian IPA/science

Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: any relatively permanent change in an organism’s behavioural repertoire that occurs as a result of experience. Belajar adalah perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.

Reber dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang representative karena tidak mengikusertakan perolehan keterampilan nonkognitif.

Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar.

1. Relatively permanent, yang secara umum menetap.

Bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisik tidak termasuk belajar

2. Response potentiality, kemampuan bereaksi.

Menunjukkan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dengan penampilan atau kinerja hasil- hasil belajar.Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur.

3. Reinforcel, yang diperkuat.

Kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin akan hilang apabila tidak diberi penguatan. 4. Practice, praktik atau latihan.

Proses belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa (Syah, 2013: 89).

Ekpo (1999) mengkategorikan lima strategi pembelajaran dan pengajaran efektif untuk pelajaran IPA, teknologi dan matematika. Strategi tersebut meliputi:

1. Merencanakan instruksi pembelajaran: Pada tahap perencanaan pengajaran dan pembelajaran konsep matematika dan IPA, para guru harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: area materi yang akan diajarkan, usia dan kemampuan pelajar, bahasa pengajaran yang digunakan, waktu dan ruang yang tersedia untuk proses pengajaran serta gaya mengajar yang sesuai.

2. Teknik Instruksional: Teknik/pendekatan instruksional meliputi berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan dalam mengajar IPA dan matematika. Beberapa teknik mengajar yang efisien seperti: strategi pembelajarn kooperatif, strategi problem solving, strategi permainan, dan pemanfaatan laboratorium baik untuk IPA maupun matematika

3. Lingkungan mengajar dan belajar: Kelas atau suasana belajar yang nyaman berpengaruh besar pada pencapaian belajar siswa. Berkaitan dengan ini, lingkungan sekolah dan ruang kelas haruslah kondusif untuk pelaksanaan proses pembelajaran.

4. Menjaga kedisiplinan: Suatu pengajaran dan pembelajaran yang efektif selalu dicapai dalam kelas yang terjaga kedisiplinan di dalamnya. Ukeje (1997) menggambarkan sebuah kelas matematika dan IPA yang disiplin merupakan kelas di mana gurunya memegang kendali penuh.

5. Evaluasi perkembangan pelajar: Evaluasi hasil belajar merupakan hal yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses pembelajaran yang telah dilakukan (Gbolagade & Sangoniyi, 2013).

Namun dalam proses berlangsungnya pembelajaran IPA dan matematika di sekolah, sering terjadi bahwa tujuan pendidikan tidak tercapai dengan baik. Belajar matematika yang seharusnya berperan sebagai asah logika dan belajar IPA yang seharusnya melatih keahlian saintifik beralih menjadi kebiasaan menghapal.Kebiasaan menghapal tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi di sekolah.Banyak siswa yang mengalami kegagalan belajar matematika dan IPA, mendapat nilai jelek atau bahkan menjadi tidak suka (fobia) terhadap kedua pelajaran ini.

Selain kebiasaan menghapal, fobia matematika dapat juga disebabkan oleh beberapa hal seperti: (1) Kurangnya kompetensi guru (kompetensi akademik, kompetensi psikologis dalam berinteraksi dengan siswa), (2) Ketidakcocokan antar cara belajar siswa dengan metode mengajar guru, (3) Kurangnya motivasi dari orang tua (orang tua sibuk, orang tua mengatakan tidak suka matematika) , (4) Motivasi teman/pergaulan, (5) Kematangan pribadi siswa (motivasi dari dalam diri, tingkat kesadaran akan tujuan yang ingin dicapai, untuk siswa perempuan terdapat anggapan bahwa matematika dan IPA adalah hal berat bagi perempuan).

Untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran matematika dan IPA, digunakan modul sebagai media pembelajaran. Modul merupakan bahan belajar yang dapat digunakan siswa untuk belajar secara mandiri dengan bantuan seminimal mungkin dari orang lain. Modul dibuat berdasarkan program pembelajaran yang utuh dan sistematis serta dirancang system pembelajaran mandiri.Di dalamnya mengandung tujuan, bahan dan kegiatan belajar, serta evaluasi.Oleh karena itu, cakupan bahasan materi dalam modul lebih fokus dan terukur, serta lebih mementingkan aktivitas belajar pembacanya, semua sajiannya disampaikan melalui bahasa yang komunikatif. Dengan sifat penyajian tersebut, maka proses komunikasinya dua arah bahkan dapat dikatakan bahwa modul dapat menggantikan beberapa peran pengajar (Munadi, 2012: 99).

Modul dalam pembahasan ini, disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi dan pemetaan problem based learning. Prinsip kurikulum spiral dimulai dengan hipotesis bahwa semua mata pelajaran dapat diajarkan kepada semua siswa dengan berbagai tingkat intelektual. Beberapa ciri kurikulum ini adalah : (1) Siswa mendapat kesempatan untuk mempelajari sebuah topik bahasan beberapa kali selama masa pembelajaran sekolah mereka, (2) Kompleksitas sebuah topik makin meningkat setiap kesempatan pembelajaran berikutnya, (3) Pembelajaran yang baru saling terhubung dengan pembelajaran yang lama dan disajikan secara konstekstual.

Kelebihan kurikulum spiral: (1) Interaktif, konkrit, pendekatan-pendekatan instruksional dapat dimanipulasi sejak tingkat awal untuk mengenalkan topic-topik umum yang banyak terdapat di setiap mata pelajaran. Kurikulum spiral sangat memungkinkan digunakan di banyak pembahasan pada pelajaran matematika dan IPA, (2) Mengaktifkan pengetahuan/konsep awal, membangun konsep baru di atas konsep lama, menghasilkan pencapaian belajar yang bagus terlepas dari tingkat usia perkembangan (Bruner, 1960).

PBL hadir sebagai metode mengajar yang dibangun di atas ide konstruktivisme dan student-centered learning.Ketika menggunakan PBLdalam mengajar, guru membantu siswa agar fokus pada penyelesaian masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari, menyemangati mereka memilah dan menentukan situasi di mana masalah ditemukan ketika mencari penyelesaian.

Menurut Plucker & Nowak (1999), beberapa ciri PBL: (a) Manfaat dari kolaborasi kerja kelompok- kelompok kecil, (b) pendekatan student centered, (c) Peran guru sebagai fasilitator dan (d) Penggunaan masalah-masalah nyata dalam kehidupan sebagai topik pembahasan.

Aplikasi PBL meliputi enam aspek penting: (1) Peranan kasus-kasus yang dipelajari, (2) Peranan guru, (2) Peranan siswa, (4) Peranan keahlian berpikir, (5) Peranan interaksi social, (6) Peranan tugas-tugas (Nasir & Taylor, 2008).

Penjabaran tema pembelajaran dalam modul ini akan disajikan secara pemetaan. Setiap kasus akan dijabarkan dari tingkat dasar sampai tingkat kompleksitas tertinggi berdasarkan tingkatan level belajar. Pemetaan kasus-kasus dan konsep dilakukan berdasarkan konsep mind mapping.

Mind Map adalah “alternatif pemikiran keseluruhan otak terhadap pemikiran linear. (Mind Map)

menggapai ke segala arah dan menangkap berbagai pikiran dari segala sudut. Michael Michalko, Cracking Creativity.Mind Map akan:

1. Mengaktifkan seluruh otak

2. Membersekan akal dari kekusutan mental

3. Memungkinkan kita berfokus pada pokok bahasan

4. Membantu menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling terpisah 5. Memberi gambaran yang jelas pada keseluruhan dan perincian

6. Memungkinkan kita mengelompokkan konsep, membantu kita membandingkannya.

7. Mensyaratkan kita untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang membantu mengalihkan informasi tentangnya dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang (Buzan, 2007).

Dalam setengah abad pertama abad ke-20 ditemukan bahwa jumlah sel otak bukan beberapa juta-tapi satu juta juta (1000 000 000 000), 167 kali jumlah manusia di planet ini.Makna dari jumlah ini sangat luas, bahkan jika setiap sel hanya dapat melakukan beberapa operasi mendasar. Tetapi, jika setiap sel otak penuh daya, maka makna jumlah mereka akan membawa para ilmuwan ke dalam realisme yang nyaris supernatural.

Modul yang disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi, dan pemetaan problem based learning

telah digunakan dalam beberapa periode pembelajaran yang dijalankan oleh peneliti. Dan selama itu pula modul ini terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar matematika dan IPA siswa dan menghilangkan fobia matematika dan IPA pada siswa. Modul ini membantu guru dalam membuka paradigma baru pada siswa, bahwa menjadi bisa dan berhasil dalam pembelajaran matematika dan IPA adalah sesuatu yang sangat mungkin.

Adapun rumusan masalah meliputi beberapa hal. Pertama, fenomena fobia matematika dan IPA di kalangan siswa berbanding terbalik dengan idealisme pentingnya matematika dan IPA bagi kehidupan.

Kedua, fobia matematika dan IPA merupakan salah satu penyebab siswa tidak memiliki kesempatan mengembangkan potensi berpikir logis dan jiwa saintis dalam penyelesaian masalah sehari-hari. Ini merupakan penyia-nyiaan sumber daya manusia. Ketiga, suatu bentuk solusi yang tepat guna namun ringan amat diperlukan kehadirannya di tengah-tengah kejenuhan siswa dalam belajar matematika dan IPA.

Tujuan metode ini meliputi. Pertama, mengidentifikasi gejala fobia matematika dan IPA pada siswa sebagai reaksi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kedua, menjelaskan keunggulan model SPM (Spiral-integrated curriculum, Problem Based Learning/PBL, dan Mind Mapping) dalam mengatasi fobia matematika dan IPA.

Manfaat penelitian yang dilakukan antara lain: Pertama,memberikan gambaran tentang penyebab, ciri- ciri dan solusi akan fobia matematika dan IPA, sehingga dapat merencanakan dan melakukan tindakan preventif; Kedua, memperkuat peran modul terprogram sebagai media pembelajaran untuk mendukung keberhasilan proses belajar dan mengajar.

METODE

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif.Penelitian ini berusaha menggambarkan peranan modul SPM (Spiral-integrated curriculum, Problem Solving Learning/PBL, Mind Mapping) dalam mengatasi fobia matematika dan IPA pada siswa. Pendekatan kualitatif dianggap tepat oleh penulis dalam penelitian ini karena penulis dapat memahami secara langsung mengamati, menjalankan dan mengevaluasi seluruh proses pembelajaran sebagai bahan penelitian. Sedangkan populasi meliputi siswa dari berbagai level sekolah, dari sekolah yang berbeda dan jenis kurikulum berbeda (nasional dan internasional). Jumlah siswa per level: SD 50 orang, SMP 50 orang dan SMA 50 orang.

Jenis data yang dikumpulkan meliputi: pertama, data kognitif: nilai yang diperoleh di sekolah (nilai ulangan harian, project, nilai ulangan tengah semester dan akhir semester), nilai hasil evaluasi pembelajaran modul Spiral PBL Mapping (nilai evaluasi per tema, try outs) ; kedua, data non kognitif: Motivasi belajar dan tingkat fobia matematika dan IPA sebelum dan setelah menggunakan modul SPM. Data yang didapat dianalisis dengan teknik yang digunakan berupa analisa persentasi rata-rata perubahan yang terjadi pada tiap penilaian instrument.

Waktu untuk pengambilan data penelitian dikumpulkan pada beberapa waktu yang berbeda. Pertama, Pra-data, data diambil pada awal siswa masuk program pembelajaran dengan modul SPM. Data berupa: Matematika: test diagnose mental matematika. IPA: Test diagnose keahlian sains. Nilai pencapaian di sekolah sebelum program. Kedua, data berdasarkan observasi harian yang tertulis dalam laporan perkembangan belajar siswa. Lama observasi 3 – 6 bulan (tercatat dalam laporan perkembangan pelajar).

Ketiga, Post-data diambil setelah selesai mengikuti program pembelajaran. Sedangkan pelaksanaan penelitian di luar sekolah sebagai asistansi pembelajaran bagi siswa untuk membantu mengatasi kesulitan belajar dan meningkatkan prestasi belajar di sekolah. Lama penelitian selama 6 bulan untuk setiap satu paket program pembelajaran. Penelitian berulang telah dilaksanakan selama 10 x 6 bulan (satu paket program pembelajaran SPM)

Pada pelaksanaan informan yang ikut membantu dalam penelitian adalah guru di sekolah, tim guru pada program pembelajaran yang menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem based learning). Adapun tahapan pelaksanaan yang dilakukan peneliti sebagai berikut. Pertama, Peneliti menghadiri seluruh sesi belajar selama masa observasi, meliputi seluruh level, SD, SMP, dan SMA dan meliputi seluruh subjek pelajaran yang diteliti yaitu Matematika, IPA (Biologi, Fisika, Kimia). Jumlah total sesi belajar untuk masing-masing subjek pelajaran: Matematika 40 sesi. IPA untuk tiap subjek pelajaran masing-masing sebanyak 25 sesi. Kedua, Peneliti menganalisa secara langsung proses belajar dengan menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem based learning) ini kemudian mengevaluasi tingkat keberhasilan pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Problem Based Learning pada pelajaran matematika dan IPA

PBL mendorong kepercayaan diri siswa dalam keahlian menyelesaikan masalah. Keahlian ini akan sangat menunjang kelanjutan pengembangan akademik maupun karir. PBL mengangkat potensi meta kognisi dan memacu keinginan sisa untuk belajar seiring dengan aktivitas siswa memproduksi strategi dalam menganalisa kasus, mengumpulkan informasi, menganalisa data, membangun dan mengevaluasi hipotesis. PBL membawa siswa belajar dengan cara yang sama manusia menghadapi permasalahan dalam kehidupan nyata. Pembelajaran lebih merupakan sebuah pemahaman bukan replikasi. Kasus-kasus dan solusi berkaitan dengan jelas, sehingga akan mudah diingat (Smith, 1999).

PBL sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran IPA karena prinsip-prinsip utama PBL sejalan dengan pengembangan keahlian IPA melalui aplikasi pendekatan saintifik dalam pemecahan masalah. PBL memungkinkan siswa mengembangkan cara berpikir kritis, kemampuan menganalisa dan menyelesaikan masalah yang kompleks, masalah-masalah dalam kehidupan nyata, bekerjasama dalam kelompok, serta berkomunikasi secara oral ataupun tertulis (Behiye, 2009).

Penerapan PBL pada pelajaran matematika, mendorong siswa menyelesaikan kasus-kasus matematika yang kompleks dan abstrak menjadi lebih memiliki arti dan mudah untuk diselesaikan.Sejak kasus pembuka sampai kasus yang menuntut penyelesaian aplikasi, siswa diharapkan dapat mengeksplorasi kasus, membuat hubungan-hubungan dan membuat persamaan matematika serta penyelesaian secara matematis. Dan menggunakannya pada contoh kasus yag sama namun dalam konteks yang berbeda (Dianne & Erickson, 1999).

Kurikulum Spiral terintegrasi memungkinkan siswa pada level tertentu mendapatkan materi yang lengkap dari level sebelumnya. Namun dikemas secara sederhana dan ringan. Sinergi pembelajaran SPM dalam mengatasi fobia matematika dan IPA. Penyusunan problem konstruktivisme dari masalah paling sederhana sampai masalah paling kompleks. Keterkaitan antar problem dan konsep terhubung secara pemetaan yang searah dengan pola kerja otak (sel-sel syaraf). Kurikulum spiral juga memungkinkan siswa dari level pendidikan yang sama maupun dari level pendidikan yang berbeda untuk berkumpul dan berdiskusi secara kelompok menyelesaikan masalah tematik.

Observasi fobia matematika dan IPA terhadap siswa sebelum mengikuti program pembelajaran. Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA

Faktor penyebab fobia matematika dan IPA

Persentasi jumlah siswa Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA)

Kurangnya kompetensi guru 60 % 70% 75 %

Ketidakcocokan cara belajar siswa dengan metode mengajar guru 20 % 35 % 40 %

Kurangnya motivasi dari orang tua 80 % 60 % 60 %

Motivasi/pengaruh negati teman/pergaulan 10 % 70 % 50 %

Kurangnya kematangan pribadi siswa 60 % 80 % 50 %

Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM

Tabel 2. Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM

Kategori sikap yang diukur Rata-rata Presentasi perubahan jumlah siswa

Kategori perubahan nilai akademik

Rata-rata Presentasi perubahan nilai Tingkat kesadaran akan

pentingnya belajar matematika dan IPA

+ 30 – 50 % Nilai ulangan

harian/umum + 30 - 50 % Tingkat kenyamanan belajar

matematika dan IPA + 20 – 40 % Nilai project + 30 – 50 % Tingkat motivasi diri + 20 – 30 % Try Out + 20 – 50 %

Penggunaan modul ini terbukti efektif dan efisien dalam mengatasi fobia matematika dan IPA pada siswa. Penyajian modul sebagai alat bantu pembelajaran tidak hanya merangsang perkembangan otak kiri (untuk berpikir logis dan teratur) tetapi juga perkembangan otak kanan melalui pola berpikir kreatif.

Pembelajaran ini diharapkan dapat mengembalikan manusia ke fitrah pembelajarannya semula, sebagai makhluk berpikir dengan menggunakan anugerah terindah dari Allah yakni akal.Manusia memahami alam dengan logika dan merekam dan menyimpan konsep pengetahuan ke dalam memori jangka panjang otak.

SIMPULAN

1. Pembangunan ulang mental matematika siswa dan keahlian IPA siswa dapat dilakukan melalui pemetaan logika berpikir dan konsep belajar.

2. Siswa yang telah dipetakan mental matematika dan keahlian IPA (konsep belajar IPA nya) lebih dapat mengatasi fobia matematika dan IPA.

3. Problem Based Learning (PBL) mampu menempatkan siswa pada suasana belajar yang kondusif untuk perkembangan logika berpikir yang kreatif dan kemampuan aplikasi metode saintifik yang lebih nyata dan konstektual.

4. Konsep dan kasus pembelajaran dalam PBL yang disajikan sesuai dengan konsep mind mappingakan mempermudah dan mempercepat siswa mengembangkan dan menyusun ulang memori belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran.

5. Kurikulum spiral terintegrasi memungkinkan siswa membangun ulang mental matematika dan keahlian IPA dengan melengkapi pemahaman konsep belajar pada titik yang tidak lengkap.

SARAN

1. Semakin merebaknya kasus fobia matematika dan IPA, hendaknya segera diaplikasikan semua solusi yang memungkinkan untuk dilakukan saat ini.

2. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam penentuan keberhasilan dalam belajar, seperti orang tua, guru, teman, dan lingkungan hendaknya menyadarai betapa pentingnya peranan mereka dalam ,e,bantu kesuksesan siswa selama masa perkembangan yang singkat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Behiye AKCAY. 2009. Problem-Based Learning in Science Education. Journal of Turkish Science Education, Volume 6, Issue 1, Turky.

Bruner, J. 1960. The Process of Education.Cambridge, MA: The President and Fellows of Harvard College. Buzan, T. 2007. Mind Map, Buku Pintar. Cetakan ke-7, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Erickson, Dianne. K. A. 1999. Problem-Based Approach to Mathematics Instruction, Connecting Research to Teaching Journal, Vol. 92, No 6, New York.

Gbolagade, A.M., Sangoniyi S.O. 2013. Demystifying Mathematics Phobia in Schools for Transforming Nigeria in Attaining Vision 20:2020. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences. Vol. 3, No. 2, ISSN: 2222-6990.

Munadi, Y. 2012. Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, Jakarta: Gaung Persada Press. Page 99 Nasir, NS., Hand, V., & Taylor, E. V. 2008. Culture and mathematics in school: Boundaries between

“cultural” and “domain” knowledge in the mathematics classroom and beyond. Review of Research in