• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran-Ajaran Aliran Iktizal 1. Keesaan Tuhan

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 142-147)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

B. Ajaran-Ajaran Aliran Iktizal 1. Keesaan Tuhan

At-Tauhid (al-qaulu bit-tauhid) yakni ajaran tentang keesaan Tuhan dinyatakan sebagai ajaran aliran Mu’tazilah; karena merka memberikan tafsiran secara mendalam dan filosofis serta gigih mempertahankannya, walaupun ajaran tersebut sebenarnya memang merupakan ajaran Islam. Kecuali itu, mereka pun menyatakan sebagai ajarannya.

Di dalam hubungannya dengan masalah keesaan Tuhan, mereka melihat bahwa didalam Al-qur’an selain terdapat ayat-ayat tauhid dan tanzih (ayat-ayat tentang keesaan dan kesucian Tuhan) sebagai ayat-ayat yang muhkamat, terdapat pula ayat-ayat yang pada lahirnya memberi kesan keserupaan dan tajsim (ayat-ayat yang memberi kesan keserupaan dan bejisimnya Tuhan) sebagai ayat-ayat mutasyabihat. Sementara itu, mereka pun menyaksikan sebagai kaum muslimin – yang dikenal sebagai ulama Salaf – bersikap iman dengan mensucikan Tuhan secara global dan menahan diri untuk tidak membicarakan ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Terhadap sikap yang demikian itu, para ulama Salaf tersebut memberikan alasan, bahwa: kami tidak wajib untuk membicarakan dan mengetahui

2 Alimam Abu Zahrah, Tarikh Mazahibul Islamy, Juz Pertama, Darl Fikri Al-Araby, h. 140.

dibelakan lahirnya nas. Yang wajib bagi kami ialah meyakini sebagaimana adanya. Dan jika kami mengadakan takwil, maka takwilan itu adalah kata-kata kami sendiri, bukan kata-kata-kata-kata Tuhan. Dan hal tersebut ada kemungkinan salah. Oleh karen aitu, lebih baik kami menahan diri untuk tidak membicarakannya.3 Sedangkan orang-orang Mu’tazilah lebih berani daripada mereka. Pihak Mu’tazilah mengatakan: kami berpegang teguh kepada ayat-ayat tanzih dan berusaha untuk memberi penjelasan, keterangan dan uraian. Dan kami pun berusaha mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat agar bisa sesuai dengan ayat-ayat tanzih itu, kami wajib membawa ayat-ayat yang tampaknya tidak sesuai dengan ayat-ayat tauhid dan tanzih itu kepada pengertian yang jelas. Dan kami merasa tidak cukup dengan sikap iman yang samar-samar, sebab akal tidak puas kepada yang samar-samar itu.4

Karena itulah mereka mentakwilkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang memberi kesan adanya jisim, arah dan tempat bagi Tuhan serta keserupaan Tuhan dengan makhluk. Mereka memperluas arti tauhid dan tanzih; dan untuk itu misalnya mereka mengatakan: Tuhan itu Esa dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Dia bukan jisim dan bukan pula rupa, bukan daging dan bukan darah. Dia buka benda dan bukan pula jauhar dan aradh. Bukan warna dan bukan rasa, bukan yang panas dan bukan yang dingin; bukan yang basah dan bukan yang kering. Bukan ynag mempunyai ukuran yang panjang, lebar dan dalam. Bukan yang berpisah dan bukan yang diam. Bukan yang mempunyai bagian-bagian. Bukan sesuatu yang berada pada tempat dan jihat di kanan dan di kiri, di depan dan di belakang, di atas dan di bawah. Tiada tempat bagi-Nya; tiada berlaku zaman bagi-Nya. Tidak dapat dicapai oleh indra. Dia sesuatu, bukan seperti segala sesuatu.5

Dengan pemberian arti dan interpretasi yang luas dan mendalam terhadap keesaan Tuhanitu, akibatnya timbullah beberapa permasalahan sebagai konsekuensinya; hal ini akan disampaikan dalam pembicaraan di belakang nanti.

2. Keadilan Tuhan

3 Ahmad Amin, Dhuhal Islam, III, Cet VII, Maktabah an-Nahdhah al-Misriyah, Caero, 1964, h.23.

4 Ahmad Amin, Fajr Islam, III, Cet III, Maktabah an-Nahdhah al-Misriyah, Caero, 1965, h.293

Ajaran pokok yang kedua ialah keadilan Tuhan (al-qaulu bil adl). Ajaran keadilan Tuhan ini berhubungan erat dengan ajaran keesaan Tuhan. Yakni, kalau dengan keesaan mereka bermaksud mensucikan dzat Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan keadilan ini bertujuan untuk mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Sehingga demikian, hanya Tuhan lah yang berbuat adil. Selain Tuhan bisa berbuat tidak adil (dhalil). Dan karena Tuahn itu adil, maka seluruh perbuatan-Nya itu baik; Ia tidak berbuat buruk. Dan karena Tuhan itu adil dan berbuat baik, maka pasti Tuhan memberi pahala kepada yang ta’at dan siksa keapada yang ingkar. Serta Tuhan tidak melupakan kewajiban-kewajiban-Nya. Ajaran keesaan dan keadilan itupun merupakan dua ajaran yang terpenting bagi aliran Mu’tazilah dan bahkan mereka lebih senang mengidentitaskan alirannya sebagai ‘ahlul adli

wat-tauhidi’6 daripada sebutan Mu’tazilah itu sendiri. Dan dengan ajaran

keadilan Tuhan inipun melahirkn beberapa kelanjutan pula sebagai akibat pemberian arti dan batasan-batasan yang mendalam.

3. Janji dan Ancaman Tuhan

Al-Wa’ad (janji) ialah setiap kabar tentang akan adanya pemberian kebahagiaan dikemudian hari. Dan Al-Wa’id (ancaman) ialah setiap kabar tentang akan adanya kemudaratan dikemudian hari pula.7 Janji dan ancaman Tuhan sebagai ajaran pokok yang ketiga, juga mempunyai hubungan erat dengan ajaran pokok yang kedua; yaitu keadilan Tuhan. Yakni, karena Tuhan itu adil, tentu Tuhan akan memberi pahala kepada setiap yang berbuat buruk, dan tentu Tuhan akan menepati janji dan ancaman-Nya. Dan tidak dapat dikatakan adil, jia tidak menepati untuk memberi pahala kepada yang ta’at dan menghukum orang yang berbuat buruk. Mereka sepakat bahwa bagi siapa yang keluar dari dunia dengan membawa keta’atan dan penuh taubat, maka berhak mendapat pahala. Dan bagi siapa yang keluar dari dunia tanpa membawa keta’atan dan bertaubat dari dosa besar yang pernah dilakukannya, maka ia masuk dan kekal didalam neraka, walaupun siksaannya itu tidak seberat siksaan terhadap orang-orang kafir.8

4. Suatu Posisi di Antara Dua Posisi

6 Ibid, h. 44

7 Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah al-Iqtishad al-Kubra, Caero, 1965, h. 134-135.

Ajaran pokok yang keempat ialah suatu posisi diantara dua posisi

(-al-mazilah bainal manzilatain). Ajaran keempat inilah yang merupakan mula

dan penyebab khusus keluarnya Wasil bin Atha dari kelompok pengajaran Hassan Al-Basri. Kemudian mengadakan kelompok tersendiri yang akhirnya berdiri sebagai suatu aliran; aliran Mu’tazilah. Dengan ajarannya itu, mereka menetapkan status orang yang melakukan dosa besar. Yaitu suatu ketentuan hukum diantara dua ketentuan hukum.9 Yakni bahwa orang yang melakikan dosa besar itu berada pada posisi diantara mu’min dan kafir.

Ajaran tersebut bertitik tolak dari konsepsi mereka tentang keimanan. Menurut mereka, keimanan itu bukan hanya berupa keyakinan hati dan dilahirkan dengan lisan. Tetapi juga harus dinyatakan dengan perbuatan. Karena itu orang yang meyakini wujud dan esa-Nya Tuhan dan Muhammad Saw sebagai rasul-Nya, namun ia tidak melaksanakankewajiban dan menjauhi larangan-Nya, maka ia bukan mu’min.10

Ajaran kempat ini berhubungan erat pula dengan ajaran pokok yang kedua dan ketiga; yakni ajaran keadilan serta janji dan ancaman Tuhan. Hubungan erat tersebut ialah, karena orang yang berdosa besar itu bukan kafir maka semestinya ia tidak dimasukkan ke neraka. Tetapi karena bukan pula mu’min, maka ia pun tidak berhak masuk surga. Maka konsekuensinya / semestinya ia ditempatkan diluar neraka dan diluar surga pula. Demikianlah seharusnya enempatan dan nasib orang yang berdosa besar itu sebagai perwujudan keadilan Tuhan dan Tuhan pasti menepatinya sesuai janji dan ancaman-Nya. Tetapi di akhirat tidak ada tempat kecuali surga dan neraka. Padahal pembuat dosa besar itu harus ditempatkan pada salah satu tempat diantara dua tempat tersebut. Menurut mereka, satu-satunya tempat bagi merekan ialah neraka, bahkan kekal didalamnya.11 Tentang kekekalan mereka di neraka itu mereka berpegang kepada ayat:

مت ذخت لق ةو دعم ام اي ا لا ا ر انل ا انسمت نل ا ول اقو

ع

الله دن

ع

اده

ن وملعت لا ام الله ىلع ن ول وقت ما , هدهع الله فلخي نلف

(

بلا

) ةرق

9 Abdul Jabbar, h. 137.

10 Ahmad Amin, Dhuhal Islam, III, h. 62.

لب

انلا بحص ا كئل و اف , هتئيطخ هب تطح ا و ةئيس بسك نم ى

و

)ةرقبلا ( ن و دلخ اهيف مه

“Dan mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,

kecuali hanya beberapa hari saja. Katakanlah: Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui ?”

“(Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh

dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”12

Namun - kata mereka – tidak adil kalau pembuat dosa besar itu menderita siksa seberat siksa yang diderita oleh orang kafir. Oleh karena itu, pembuat dosa besar itu masuk neraka dengan siksaan yang ringan bila dibandingkan dengan siksaan terhadap orang kafir. Hal tersebut sebagai perwujudan keadilan Tuhan yang pasti Tuhan menepatinya. Demikianlah ‘posisi antara’, bagi pembuat dosa besar dan tidak bertaubat sampai matinya. Yakni posisi diantara pemberian pahala surga bagi yang ta’at dengan beratnya penderitaan siksa bagi yang kikir.

5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Ajaran pokok kelima ialah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ajaran tersebut sebenarnya merupakan atau lebih metupakan ajaran yang berkaitan dengan amalan lahir daripada keyakinan / alidah. Dan ajaran tersebut merupakan ajaran dan kewajiban bagi kaummuslimin pada umumnya. Tetapi didalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pandangan. Yakni apakah kewajiban tersebut cukup dengan memberi penjelasan dan seruan lisan ataukah diwujudkan dalam bentuk paksaan dan kekerasan, khususnya didalam menghadapi kemunkaran.

Di antaranya, seperti Saad bin Abi Waqqas, Usamah bin Zaid, Ibnu Umar dan Muhammad bin Maslamah berpendapat bahwa pelaksanaan kewajiban tersebut cukup dengan hati dan seruan lisan bila mungkin. Dan mereka tidak membenarkan dalam bentuk paksaan dan kekerasan. Karena itulah, mereka tidak turut serta didalam peperangan menghadapi Muawiyah., demikian juga para Muhadditsin dibawah pimpinan Ahmad bin Hambal.13 Bagi orang-orang Khawarij pelaksanaan kewajiban tersebut, perlu dengan kekerasan. Sedangkan menurut

12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yamunu, Jakarta, 1965, h. 23.

orang Mu’tazilah, hal tersebut kalau dipandang perlu. Bahkan dengan tangan kalau hati dan lisan tidak cukup. Dan dengan pedang kalau dengan tangan tidak cukup pula.14

Walaupun amar ma’ruf nahi munkar tersebut lebih merupakan amal lahir daripada keyakinan / akidah, tetapi orang-orang Mu’tazilah telah memasukkannya sebagai salah satu ajarannya. Hal tersebut dapat dipahami kalau memperhatikan sejarah tentang situasi Islam menjelang dan pada saat lahirnya aliran tersebut. Yakni situasi yang menggambarkan aktivitas dan kegiatan orang yang bermaksud menghancurkan Islamdari aspek akidahnya. Oleh karena itu, adalah wajar apabila orang-orang Mu’tazilah mencantumkan sebagai salah satu ajarannya didalam rangka membendung dan memberantasnya. Dengan amar ma’ruf dan nahi munkarnya itu mereka maksudkan untuk memperluas da’wah Islam, memberi petunjuk orang-orang yang sesat dan memberantas kegiatan yang dapat mengaburkan dan menggoncangkan akidah Islam.15 Kecuali itu, tidak mustahil, kalau dengan amar ma’ruf dan nahi munkar itu mereka maksudkan untuk memperjuangkan dan menegakkan keempat pokok ajarannya yang lain.

Demikianlah kelima ajaran pokok aliran Mu’tazilah, Abu Al-Hassan Al-Khayyath – salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah – mengatakan: seseorang tidak berhak memakai sebutan / disebut seorang Mu’tazilah, kecuali ia telah memegang kelima macam ajaran pokok tersebut.16

C. Beberapa Masalah sebagai Kelanjutan Ajaran-Ajaran Pokok

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 142-147)