• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farid Esack: Teologi Kaum Tertindas

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 184-187)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

E. Pemikiran Teologi Transformatif di Dunia Islam

3. Farid Esack: Teologi Kaum Tertindas

Islam masuk ke wilayah Afrika Selatan melewati dua fase. Fase pertama datang setelah kedatangan kolonial pertama di Cape tahun 1652. kelompok ini terdiri dari para pekerja, tahanan politik, narapidana dan budak dari berbagai wilayahTimur. Bersama penduduk lokal yang masuk Islam mereka disebut Melayu. Meskipun faktanya tidak sampai satu persen di antara mereka yang berasal dari Malaysia sekarang. Arus kedua datang pada tahun 1860, mereka adalah para pekerja upahan dari India. Selanjutnya, arus ke tiga tiba antara tahun 1873 dan 1880. Dari tiga fase kedatangan tersebut menurut Esack gelombang fase kedatangan pertamalah yang signifikan bagi perkembangan Islam transformatif di Afrika Selatan. Menurut beliau setidaknya ada dua alasan tentang pendapatnya tersebut. Pertama, meski ada pribadi-pribadi muslim tertentu dari berbagai propinsi di utara yang terlibat dalam perjuangan menentang apartheid, kaum muslimin di Cape mengorganisir penentangannya tersebut dengan basis Islam. Kedua, di tempat ini hermeneutika Alquran tentang pembebasan manusia mulai terbentuk. Doktor Farid Esack merupakan pemikir Islam khususnya bidang tafsir

Alquran di Universitas Western, Cape Afrika Selatan. Esack dibesarkan di Bonteheuwel sebuah kota khusus untuk orang kulit berwarna di Cape Flats, Afrika Selatan.22 Keluarganya dipaksa pindah ke wilayah ini ketika hukum apartheid diberlakukan tahun 1952. Semasa kecil keluarga Esack bertetangga dengan pemeluk Kristen, bahkan di sekolah dididik dengan didikan nasional Kristen. Sebuah ideologi keagamaan konservatif yang bertujuan membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan. Sejak dahulu masyarakat Afrika Selatan adalah masyarakat multiagama. Dan agama memainkan peran utama di antara seluruh kelas masyarakat di wilayah ini.23

Ketika masih kecil Esack sangat religius dengan tingkat kepedulian yang tinggi pada penderitaan sekitar lingkungan hidupnya. Keyakinan awal yang kuat ini menumbuhkan semangat baginya untuk ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan. Oleh karena itu, sejak usia sembilan tahun Esack sudah tergabung dengan Jamaah Tabligh, sebuah gerakan kebangkitan Muslim Internasional. Karena ketertarikannya dengan permasalahan-permasalahan tersebut mengakibatkan Esack ditahan oleh pasukan khusus dari kepolisian Afrika Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau mendapat bantuan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun di Pakistan. Sebagian besar di institut yang konservatif dan memandang jelek segala hal yang berbau duniawi. Ketika di Pakistan Esack juga mulai prihatin dengan pelecehan sosial dan agama atas yang dialami kaum minoritas Hindu dan Kristen di sini. Sikap muslim Pakistan yang konservatif dalam beragama dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain juga mendapat kritik dari Esack. Beliau juga kerap mengikuti diskusi yang diadakan oleh gerakan pelajar Kristen di tempat ini dan menyaksikan bagaimana mereka berusaha memaknai hidup sebagai seorang Kristen dalam lingkungan yang tidak adil dan eksploitatif.

Bahkan tokoh kelompok diskusi tersebut Norman Wray meng-undang dan meminta Esack untuk mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin oleh tokoh tersebut. Pengalaman-pengalaman selama ber-interaksi dengan ummat lain di Pakistan kemudian mempengaruhi gerakannya kemudian di Afrika Selatan. Ia mencoba mengawinkan antara iman dan praksis di Afrika Selatan. Pengalaman di Pakistan juga

22Farid Esack, Al-Qur,an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Jakarta: Mizan, 2000, h. 46-47.

darkan Esack akan kondisi penindasan terhadap kaum perempuan di ka-langan ummat Islam. Pada tahun 1982 Esack pun kembali ke Afrika Se-latan. Pada tahun 1984 Esack mulai menjalankan iidenya bersama de-ngan tiga teman seperjuade-ngannya dede-ngan mendirikan organisasi yang ber-nama Call of Islam. Organisasi yang didirikannya ini sebenarnya merupakan anggota dari afiliasi front demokrasi bersatu (UDF) yang berdiri tahun 1983. UDF ini sendiri merupakan organisasi terbesar untuk kemerdekaan.

Perjuangan kelompok ini berkutat diseputar persoalan untuk meraih kembali wilayah ideologis untuk memenangkan kebebasan politik. Bersama organisasi ini Esack melihat bahwa banyak penderitaan yang dialami oleh rakyat Arika Selatan dilakukan atas nama dan terkadang dengan dukungan kitab suci agama, khususnya Kristen. Meskipun penindasan tersebut berlangsung tanpa dukungan seluruh ummat Kristen sebenarnya. Sebab tidak sedikit dari kalangan teman seperjuangan Esack yang beragama Kristen juga mencela penindasan tersebut atas rakyat Afrika Selatan.

Agama dan kitab suci sebagai wilayah rebutan ini juga nyata dalam respon kalangan yang tertindas dan teraniaya. Mayoritas warga kulit hitam dan sejumlah kecil warga kulit putih memandang bahwa seluruh struktur sosial Afrika Selatan sebagai rasis, eksploitatif, dan sangat memerlukan perubahan radikal. Dengan kondisi Afrika Selatan yang demikian renungan tentang pandangan Alquran tentang hubungan dengan penganut agama lain, kerjasama antar agama dan kesetaraan gender membentuk dimensi yang sadar dan dimanis dalam kerangka praksis dan liberatif dalam pandangan Esack.

Dalam pandangannya, kebungkaman terhadap kondisi yang tidak adil tersebut sama dengan berkolaborasi dengan ketidakadilan itu. Refleksi tentang hermeneutika Alquran berlangsung dalam konteks yang memiliki sejumlah implikasi signifikan. Terdapat persaingan nyata antara makna sebagai senjata pembebasan semua kaum tertindas dan termarjinalkan dengan penyokong sistem yang menindas dengan kedok teologi apolitis. Menurut Esack bahwa Alquran mendukung solidaritas dengan penganut agama lain maupun dengan kaum tidak beragama sekalipun dalam memperjuangkan yang tertindas. Argumentasi ini didasarkan Esack pada surat Al-Ankabut ayat 69. Beberapa pendapatnya tentang metode hermeneutika pembebasan tersebut antara lain adalah:24

Pertama, setiap pembacaan teks apapun pasti bersifat kontekstual. Agar firman Tuhan menjadi menarik untuk didengar dan diaktualisasikan, sebagaimana keyakinan semua Muslim, maka Alquran haruslah kontekstual. Kekhasan hermeneutika spesifik adalah bahwa ia secara sadar ditempatkan dalam konteks tertentu dan berdasarkan konteks tersebut digerakkan ke arah tujuan tertentu. Universalitas Alquran tidak akan hilang akibat kontekstualisasi pesan-pesannya.

Kedua, sementara komitmen untuk menyadari lokasi tempat penafsiran berada tampak pada kalimat-kalimat Alquran. Dan bahwa tujuan interpretasi adalah untuk mentransformasikan suatu masyarakat yang tidak adil kepada masyarakat yang adil. Alquran memiliki pesan spesifik bagi ummat Tuhan yang hidup dalam konteks yang spesifik pula. Ketiga, Alquran mengandung bukti bagi gagasan bahwa kitab ini mesti dipahami lewat praksis bukan sekedar doktrin atau dogma belaka. Hal ini bukan berarti bahwa Alquran tidak berurusan dengan doktrin, namun ia menuntut bahwa doktrin yang digariskannya secara luas dipahami dan dialami melalui praksis. Perjalanan kenabian Muhammad merefleksikan ini menurut Esack. Pengalaman Afrika Selatan mengajarkan kepada kelompok Islamis progresif bahwa praksis liberatif dalam solidaritas dengan kaum tertindas adalah tindakan awal pemahaman Alquran.

Keempat, pembebasan Alquran dan teologinya merupakan proses yang paralel. Solidaritas antariman menentang apartheid memberikan dukungan pada pendapat bahwa bila agama-agama seluruh dunia sanggup melihat kemiskinan dan penindasan sebagai masalah bersama dan menghapuskan kejahatan ini, mereka akan punya landasan yang mengatasai segala perbedaan untuk saling mendengar dan memahami satu sama lain dan akhirnya mengalami transformasi dalam proses itu. Gagasan hermeneutika yang muncul dari sintesis solidaritas dan refleksi pada Alquran merupakan penuntun menuju praksis liberatif yang lebih besar. Akan tetapi, juga berperan dalam transformasi dan bahkan pembebasan. Baik untuk kaum muslimin maupun Alquran dari dogma kontekstual.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 184-187)