• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Teologi Transformatif

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 164-167)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

B. Paradigma Teologi Transformatif

Pemikiran dan gerakan developmentalisme yang diterapkan hampir di semua negara berkembang telah melahirkan teologi baru yang meyakini pembangunan yang dilakukan negara sebagai penyelamat bagi rakyatnya. Teologi baru itu disebut Teologi Modernis. Teologi ini bersandar kepada paradigma modernisasi yang muncul karena keterbelakangan dan ketertinggalan negara di dunia ketiga (negara berkembang) dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh Barat. Menurut pandangan ini,

7Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2001, h. 78-86.

ketertinggalan itu disebabkan oleh kejumudan berpikir, kebodohan dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya. Oleh karena itu, bagi kelompok Teologi Modernis diperlukan upaya liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman, dengan diimbangi oleh sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi.

Sikap yang ditampilkan teologi modernis dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah adalah fleksibel, terbuka, dan dialogis. Bagi kelompok ini, tidak ada ambisi untuk mengagamakan setiap aspek kehidupan. Sebab otoritas agama dan perkembangan aspek sosial umat beragama mempunyai basisnya masing-masing.

Belakangan, muncul sebuah teologi yang mengkritik pemikiran teologi modernis tersebut. Pemikiran yang ditawarkan adalah teologi pembebasan atau teologi transformatif. Dalam Kristen, teologi ini mengeritik pemikiran tradisionalis mengarah pada corak keberagamaannya yang memelihara hirarki; pendeta-jemaat, kiai-santri, guru-murid, dan sebagainya, sehingga posisi jemaat dan umat selalu sebagai obyek penerima paham-paham keagamaan secara taken for granted, dan hampir tidak ada dalam diri mereka sebuah 'ruang merdeka' untuk bertanya secara kritis. Teologi pembebasan ini juga mengeritik teologi modernis yang memposisikan gereja dan jamaatnya sebagai obyek pembangunan. Kritik yang dialamatkan kepada pemikiran modernis, terletak pada kecenderungannya yang seringkali menampilkan normativitas keagamaan dan menggaungkan kejayaan masa lalu, tanpa dibarengi dengan upaya metodologis maupun praksis bagi perjuangan umat, baik untuk saat ini maupun saat-saat yang akan datang. Trend pemikiran modernis ini dianggap terlalu normatif-rasionalistik, sehingga dipandang kurang empirik.

Berangkat dari kritik yang diarahkan pada visi pemikiran tradisionalis dan modernis, teologi pembebasan/transformatif merambah ranah pemikiran yang dapat membuka peluang bagi kemerdekaan diri umat (fungsi emansipatoris). Aksentuasinya diberikan pada upaya untuk menderivasikan normativitas keagamaan menjadi ilmu, metodologi, dan aksi yang membela kaum dhu'afa (miskin) dan mustadh'afin (tertindas). Berbeda dari dua kelompok di atas, para pemikir teologi pembebasan/transformatif lebih menekankan perhatian pada soal kemiskinan dan ketidakadilan, sebagai alternatif dari arus besar modernisasi dengan ideologi pembangunannya yang telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum miskin dan kaum tertindas.

Lebih jauh, kritik transformatif ditujukan kepada sistem dan pemikiran kapitalis yang liberalistis yang menciptakan masalah krusial dalam hubungan yang kaya dengan yang miskin, mulai dari level bawah sampai level negara. Di sini dikatakan, bahwa sistem liberal kapitalis justeru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara negara yang miskin dan negara yang kaya. Karena itu, negara miskin semakin tergantung pada negara kaya, dalam hal hutang dan hubungan dagang internasional, desa semakin menjadi pinggiran dan tergantung pada kota, buruh semakin menggantungkan nasibnya pada majikan yang memerasnya. Jadi, pembangunan bukan lagi berpihak kepada rakyat miskin, tetapi telah berubah menjadi jargon bagi kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan tindakannya.

Pemikiran pembebasan/transformatif merupakan suatu pikiran alternatif. Ia bertolak dari asumsi bahwa kemiskinan rakyat disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan budaya. Oleh karena itu agenda yang diperjuangkan adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap HAM (human rights).

Tujuan fundamental pemikiran teologi pembebasan/transformatif adalah keadilan. Karena itu, fokus perhatian dalam perumusan teologi ini adalah mencari akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas (dhu’afa) tidak hanya diilhami oleh doktrin agama (kitab suci), tetapi juga hasil analisis kritis terhadap struktur yang ada. Doktrin agama dipahami sebagai pembebasan bagi yang tertindas, serta mentrans-formasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil.8

Para teolog pembebasan/transformatif beranggapan bahwa cara yang tepat untuk merumuskan teologi adalah dengan sudut pandang dari bawah, artinya, di mana terdapat penderitaan; yang berarti dalam konteks penderitaan dari yang tertindas dan yang terbuang. Seorang pemikir dan aktivis harus terpanggil untuk melihat dunia dari sudut pandang kaum

8Golongan transformatif belakangan ini semakin memantapkan diri ditandai dengan sambutan yang luas terhadap terbitnya buku-buku Islam kiri, seperti tulisan Hasan Hanafi, juga sambutan yang luar biasa terhadap buku-buku karangan Asghar Ali Engineer dari India, maupun Farid Issac dari Afrika Selatan.

miskin. Bila teologi tradisional meletakkan strukturnya pada filosofi, teologi pembebasan berjalan kepada ilmu sosial. Dalam kondisi ketertidasan kaum dhu’afa, agama harus dilihat sebagai gugusan nilai yang bersifat humanisme teosentris. Agama sendiri diyakini sebagai agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme inilah, yang kemudian ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya. Konsep agama, telah dibedakan dengan penerimaan atas aspek rasio, observasi empiris dan pengalaman-pengalaman untuk mendapatkan kebenaran wahyunya.

Di Amerika Latin, teologi pembebasan memakai metode analisis perjuangan kelas yang dimulai dengan praksis dengan mengubah basis hubungan sosial-ekonomi. Ini bermakna, bahwa berteologi adalah langkah kedua setelah orang berpraksis. Teolog pembebasan tidak berhenti pada analisis Marxis saja, tetapi dilanjutkan dengan proses penafsiran iman Kristiani yang bersumber pada Kitab Suci. Gutierrez mengatakan bahwa teologi merupakan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh sabda Injil. Dari itu, teologi pembebasan bukan dipakai untuk menciptakan ideologi yang membenarkan status quo atau penenang saat iman ditantang sekularisme dan konsumerisme. Menurut Gutierrez ada tiga langkah berteologi; Pertama, kenyataan bahwa orang Kristen dan komunitas Kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang definitif, yaitu kasih, tindakan, dan komitmen pelayanan untuk sesama.

Kedua, teologi harus menjadi kritis dalam terang Injil, baik terhadap

masyarakat umum maupun institusi Gereja. Teologi pembebasan bercita-cita untuk membebaskan bentuk lembaga keagamaan yang tidak memberdayakan, keberhalaan dan alienasi serta mengkritik praktek pastoral yang sekedar aktivisme. Ketiga, teologi berefleksi tentang praksis iman dalam terang masa depan yang dipercayai dan diharapkan.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 164-167)