• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Teologi Transformatif pada Zaman Islam Klasik

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 176-181)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

E. Pemikiran Teologi Transformatif di Dunia Islam

1. Pemikiran Teologi Transformatif pada Zaman Islam Klasik

Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi Muhammad sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Makkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, para janda dan anak yatim diabaikan.

Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Makkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas.10 Dari praksis inilah oleh banyak kalangan pemikir teologi transformatif Islam tradisi pembebasan Islam muncul. Muhammad saw. (570-632 M) adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkataannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan.

10Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h. 28-30.

Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.11

Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar. Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad, dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dahulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir.12 Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini; kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran manusia.13

Nabi Muhammad pembawa risalah dalam riwayat historisnya mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi. Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan. Nabi Muhammad berjuang dengan gigih membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan.14 Nabi-nabi

11Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta: LkiS, 2000, h. 216.

12Ibid, h. 226. 13Ibid, h. 39. 14Ibid., h. 45.

sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam Alquran disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (dzulm) dalam segala bentuknya.

Secara harfiyah, dzulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu. Seorang manusia yang mengingkari kebenaran, menolak kesetara-an sosial atau keadilkesetara-an adalah seorkesetara-ang dzalim, seorkesetara-ang penindas ykesetara-ang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati. Alquran mendefinisikan dzalimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah: 254). Mereka adalah”yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan

membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil”(Q.S. Ali-Imran: 21). Alquran mengumpamakan keadaan para

penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku.

Dalam perkembangan ajaran teologi Islam, persoalan pokok yang ditemukan dalam berbagai konsep teologi yang mengemuka terfokus pada bagaimana cara pandang ketuhanan yang teraplikasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga dengan memandang konsep teologi itu, suatu masyarakat akan dapat melihat serta menilai bagaimana kehidupan masyarakatnya sesuai dengan era zaman di mana masyarakat itu hidup dan tumbuh. Bagaimanapun, dengan perubahan suatu konsep pemikiran teologi dalam masyarakat tentu akan dapat membawa perubahan bagi pola kehidupan masyarakat itu sendiri.

Salah satu aliran ilmu kalam yang dinilai dapat meletakkan dasar-dasar pemikiran teologi yang berpihak pada manusia adalah aliran qadariyah. Kehadiran aliran ini tidak lepas dari banyaknya perbedaan dan

pertentangan dalam memahami masalah keyakinan atau keimanan sehingga dengan kemunculannya memberi pengaruh yang cukup siknifikan terhadap perkembangan pemikiran umat Islam. Salah satu pemicu munculnya aliran qadariyah berpuncak pada pemahaman terhadap rukun iman pertama, yaitu percaya kepada Allah, sebagai Sang Maha Pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan terhormat di permukaan bumi.

Dalam ajaran Islam, kebenaran yang harus menjadi keyakinan setiap muslim adalah bahwa Allah mempunyai qudrat (kekuasaan) dan

iradat (kehendak). Bila dikaitkan kepada manusia, maka qudrat dan iradat

Allah akan menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu sampai dimanakah manusia sebagai makhluk Allah bergantung kepada kehendak dan kekuasaan-Nya dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Apakah manusia hanya terikat oleh kehendak dan kekuasaan mutlak Allah sehingga dengan itu manusia sama sekali hanya bergantung kepada apa yang ditentukan Allah, tanpa bergerak dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya sendiri secara bebas. Masalah seperti inilah yang mendorong munculnya aliran Qadariyah. Dengan mengedepankan pemikiran bebas dan merdeka dalam menentukan arah perjalanan hidup.

Dalam istilah Inggris, paham Qadaraiyah ini dikenal dengan sebutan free will dan free act.15 Pokok pemikiran yang dibangun aliran Qadariyah berpangkal kepada manusia, di mana manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan menentukan segala apa yang akan dilakukannya dengan kemauan dan kekuasaannya sendiri. Manusia dapat berbuat baik atau berbuat buruk dengan tanpa ada kekuasaan lain yang memaksanya. Menurut paham Qadariyah manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk mewujudkan segala perbuatannya. Kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya memberikan arti bahwa teologi qadariyah dimaknai bahwa manusia mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan makna ini bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Ma’bad al-Juwani dan Ghailan ad-Dimasyki dipandang sebagai pemuka aliran Qadariah. Al-Juwani menyebarkan ajarannya ke wilayah

15Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Aanalisa Perbandingan, Universitas Indonesia. Jakarta, 1972, h. 29.

Irak, sementara ad-Dimasyki berdakwah ke daerah Damaskus.16 Pemikiran Al-Juwani, diidentifikasi kepada paham aliran Qadariah secara umum, yakni; Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia sendiri pula yang melakukakan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh lain, Ghailan ad-Dimasyki, pemikiran Qadariahnya, oleh beberapa penulis secara umum dianggap sama dengan pemikiran tokoh sebelumnya, yaitu; Ma’bad al-Juhani.

Al-Ghuraby mengungkap beberapa pokok pikiran Ghailan antara lain; (1) Manusia mempunyai kebebasan, berkuasa atas perbuatannya sendiri; (2) Iman adalah ma’rifah sekaligus pernyataan lisan akan Allah dan Rasul-Nya. Sesuatu yang tidak boleh dilakukan atau ditinggalkan menurut akal tidak termasuk iman; (3) Alquran adalah makhluk Tuhan, bukan qadim; (4) Tuhan harus mensucikan diri dari sifat-sifat yang dimiliki makhluk; dan (5) Imam boleh dari bangsa selain Quraisy.17

Pemikiran Ghailan dipandang lebih aplikatif dari al-Juwani. Dengan memahami sikapnya terhadap pemerintahan Umayyah mungkin akan memberikan nuansa bahwa latar belakang pemikiran Ghailan adalah”moral”. Bahwa dengan berpikir ala Qadariah, manusia mempunyai kewajiban untuk memperbaiki perbuatan orang lain.18

Bila aliran Qadariyah ini ditelaah lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa teologi yang dianut adalah bahwa Allah telah memberikan sesuatu anugerah yang luar biasa kepada manusia berupa akal pikiran dan daya manusia lainnya. Dengan demikian, manusia itu sendiri dapat menentukan perilakunya di dunia, mau berbuat baik atau berbuat jahat. Teologi seperti inilah yang pada perkembangan berikutnya diadopsi oleh aliran Mu’tazilah, kendatipun tidak seluruhnya diadopsi, namun memiliki kecenderungan yang sama, yakni lebih meyakini adanya daya kekuatan pada manusia untuk menentukan perilakunya di dunia ini. Dengan teologi ini akan merubah

16Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Mazahib alIslamiyah, Mesir: Dar Fikr al-‘Arabiy,1985, h. 125.

17Aly Mustafa al-Ghuraby, tt. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Muhammad Ali Sabih wa Auladuh, h. 34.

18Bila teori pelarutan paham Qadariah ke Mu’tazilah menjadi paradigma, maka sikap

qadary Ghailan yang moralis, menunjukkan cikal bakal ajaran amar ma’ruf nahi munkarnya

Mu’tazilah,”Bahwa iman harus tercermin lewat perbuatan”. Lihat; Harun Nasution, 1989.

perilaku manusia, dari yang statis menjadi dinamis. Pemikiran teologi ini dinilai memiliki relevansi dengan perkembangan pemikiran teologi transformatif yang muncul pada setengah abad terakhir ini.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 176-181)