• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Perawi:

 Penilaian da’if golongan mutasyaddid tidak bisa diterima selama ada penilaian kelompok yang lain (mutasahhil dan mu’tadil).

 Penilaian sahih dari golongan mutasahhil tidak bisa diterima selama ada penilaian kelompok yang lain (mutasyaddid dan mu’tadil).

Mu’tadil pada dasarnya bisa diperpegangi dalam rangka menilai ada

pertentangan antara mutasyaddid dan mutassahhil.14

Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus Hadis dalam menilai periwayat dan kualitas Hadis tersebut berarti bahwa dalam penelitian Hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat Hadis saja, tetapi juga para kritikusnya. Sekiranya terjadi perbedaan dalam mengritik, maka sikap kritikus mesti menjadi bahan partimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih objektif.

M.Syuhudi Ismail menjelaskan bagaimana ketentuan syarat-syarat untuk seseorang yang dapat dinyatakan sebagai jarih wa

al-mu’addil (kritikus Hadis), lalu dia mengutip pandangan beberapa Ulama

yang telah membuat suatu ketentuan terhadap syarat-syarat seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarih wa al-mu’addil. Penjelasan ulama itu dapat dikemukakan sebagai berikut;

1. Syarat-syarat berkenaan dengan sikap pribadi, yakni (a) bersifat adil, (b) tidak bersikap fanatik terhadap aliran atau mazhab yang dianutnya, dan (c) tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk periwayat yang berbeda aliran dengannya. 2. Syarat-syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan,

dalam hal ini mesti memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan; (a) ajaran Islam, (b) bahasa Arab, (c) Hadis dan ilmu Hadis, (d) pribadi periwayat yang dikritiknya, (e)

adat istiadat yang berlaku, dan (f) sebab-sebab yang melatar belakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.15

Oleh karena sesama ulama Hadis sendiri sering terjadi perbedaan tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama, boleh jadi sebagian mentajrihkannya dan sebagian yang lain menta’dilkannya. Berdasarkan itu, ulama Hadis membuat suatu kaedah dalam rangka menyelesaikan penilaian yang kontradiktif, atau setidaknya sebagai mengkompromikan nya. M.Syuhudi Ismail Menguraikannya secara lengkap, dengan menukil pelbagai teori yang telah ditulis oleh ulama Hadis.

Adapun kaedah-kaedah16 tersebut ialah ; 1. ِحْرَجْلا ىَلَع ٌمَّدَقُم ُلْي ِدْعَّتلا َِ

At-a’dil didahulukan atas al-jarh.

Maksudnya ialah manakala seseorang periwayat dinilai terpuji oleh seseorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka

al-ta’dil yang didahulukan, jadi yang dipilih ialah kritikan yang berisi

pujian. Alasannya ialah sifat asal periwayat Hadis ialah terpuji, pada sisi lain sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya, manakala sifat asal berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang mesti dimenangkan ialah sifat asalnya. Kaedah ini didukung oleh al-Nasa’i (w. 303 H/915 M).

Pada umumnya ulama Hadis tidak menerima teori tersebut karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh riwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan ialah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.

2. ِليْ ِدْعَّتلا ىَلَع ٌمَّدَقُم ُح ْرَجْلَا

Al-jarh didahuluka atas at-ta’dil

Maksudnya ialah jika seseorang kritikus dinilai tercela oleh seseorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka al-jarh yang

15Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, h. 171.

16Lebih lanjut lihat; M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 77-81. Bandingkan juga dengan; Sakhawi, Fath Mughis, Sharh Alfiyah

al-Hadis li al-‘Iraqi (Madinah: Maktabah al-Salafiyyah, 1388 H/1968 M), h. 266-300; Ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadis, h. 99; Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takrij wa Dirasah al-Asanid, 161-162; Nur al

didahulukan, jadi yang dipilih ialah kritikan yang berisi celaan. Alasannya ialah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya itu. Setelah itu. yang menjadi asal untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus Hadis dan persangkaan baik itu mesti dikalahkan manakala ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.

Kalangan ulama Hadis, ulama fikih dan ulama usul fikih banyak menganut teori tersebut. namun, banyak juga ulama kritikus Hadis yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat itu. 3. ُرَّسَفُملْا ُح ْرَجْلا َتِب ُث اَذِإ َّلاِإ ِلِِّدَعُمْلِل ُمْكُحْلاَف ُلِِّدَعُمْلاَو ُح ِراَجْلا َضَراَعَت اَذ ِِإ

Apabila terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

Maksudnya ialah bila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang mesti dimenangkan ialah kritikan yang memuji, kecuali manakala kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan. Alasannya ialah kritikus yang mempu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut dari kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Pendukung kaedah ini adalah jumhur ulama kritik Hadis. 4. ِةَقِِّثلِل ُهُحْرَج ُلَبْقُي َلاَف اًفْيِعَض ُح ِراَجْلا َناَك اَذِإ

Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan ialah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima.

Maksudnya, manakala yang mengritik ialah orang yang tidak siqah, sedangkan yang dikritik ialah orang yang siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut mesti ditolak. Alasannya, orang yang bersifat

siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat dari orang yang tidak siqah. Pendukung kaedah ini juga jumhur ulama kritik Hadis.

5. َنْيِحْوُرْجَملْا ىِف ِهاَبْشَلأْا َةَيْشَخ ِتُّبَثَّتلا َدْعَب َّلاِا ُح ْرَجْلا ُلَبْقُي َلا

al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.

Maksudnya ialah bila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasannya ialah suatu kritikan mesti jelas sasarannya. Dalam mengritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik mestilah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendokong kaedah ini adalah ulama ahli kritik Hadis.

6. ِهِبُّدَتْعُي َلا ٍةَّيِوَيْنُد ٍةَواَدَع ْنَع ُئِش اَّنلا ُح ْرَجْلَا

Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.

Maksudnya ialah jika kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan peribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut mesti ditolak. Alasannya adalah pertentangan peribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah duniawi dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.

Bila ditelusuri, sesungguhnya masih banyak kaedah yang telah dikemukakan oleh ulama Hadis, namun keenam kaedah di atas merupakan kaedah yang banyak dikemukakan dalam kitab-kitab ilmu Hadis. Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu, maka yang mesti dipilih adalah kaedah yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat Hadis yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk mengikuti kaedah tertentu, melainkan bahwa penggunaan kaedah-kaedah itu ialah dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, manakala kebenaran itu sendiri sulit dihasilkan.