• Tidak ada hasil yang ditemukan

Esensi Pemikiran Teologi Transformatif

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 158-164)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

A. Esensi Pemikiran Teologi Transformatif

A. Esensi Pemikiran Teologi Transformatif

Dalam literatur Barat dikenal istilah liberation theology atau teologi pem bebasan. Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad XX dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghin-darkan manusia dari berbagai macam dosa sosial. Teologi ini menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan manusia sendiri.

Konsep teologi pembebasan mendapat tempat yang subur di kalangan gereja Katolik Amerika Latin. Jika di Eropa, penekanan Teologi Pembebasan lebih pada pemikiran, maka di Amerika Latin teologi ini menekankan pada gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara totaliter.1

1Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan; Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 1.

Istilah Teologi Pembebasan merujuk pada kosakata “teologi” dan “pembebasan.” Menurut Karl Rahner dan Herbert Vorgrimler (1965), istilah teologi berasal dari bahasa Yunani, Theologia, yang berarti pembicaraan tentang tuhan-tuhan atau Tuhan, baik secara legendaris maupun filosofis. Pada dasarnya teologi adalah usaha sadar dari penganut agama untuk mendengarkan sabda Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode keilmuan dan untuk merefleksi tuntutan dalam tindakan.

Konsep pembebasan sebagai istilah, baru muncul pada Dokumen Medellin (1968). Konsep itu dibakukan sebagai reaksi terhadap istilah pembangunan di Amerika Latin dan negara lainnya. Pembangunan telah membawa misi sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik akan memeratakan hasilnya kepada semua pihak yang berperan di dalamnya apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan alami.

Ide tersebut memicu para teolog Amerika Latin menggali lebih mendalam arti pembebasan. Para teolog yang memberikan arti secara utuh dan integral terhadap istilah pembebasan antara lain adalah: Gustavo Gutierrez (1973), Leonardo Boff (1974). Gutierrez mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Bila dikaitkan dengan agama Kristen, Gutierrez merumuskan teologi pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Boff menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis

keagamaan.2 Definisi yang lain dari Teologi Pembebasan adalah gugatan secara moral dan sosial yang keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme dan terhadap dosa struktural sebagai sistem yang tak adil dan tak beradab serta pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuju pembebasan serta sejarah pembebasan manusia sebagai antisipasi akhir dari penyelamatan Kristus, saat hadirnya Kerajaan Tuhan.

Pengaruh pemikiran dan gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin ternyata sangat kuat. Di beberapa belahan dunia dan dari berbagai agama muncul pemikiran dan gerakan sejenis dengan sebutan yang berbeda-beda. Di antara sebutan itu adalah teologi rakyat, teologi perjuangan, teologi feminis, teologi bumi, teologi kaum tertindas, teologi harapan, dan teologi dalit. Semua sebutan tersebut pada esensinya adalah teologi transformatif. Disebut teologi tranformatif karena semua teologi ini memiliki esensi yang sama, yaitu suatu pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan kaum lemah atau kaum tertindas dari penguasa politik dan ekonomi yang deskriminatif. Pemikiran teologi ini merupakan produk kerohanian, di mana di dalamnya disertakan suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal. Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa ciri di antara doktrin itu adalah; 1) Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.

Kehadiran Teologi Pembebasan pada pertengahan abad XX adalah untuk mengkritisi gerakan developmentalisme (pembangunan-isme). Ternyata, pembangunan yang didukung oleh institusi kuat, mulai dari birokrat, teknokrat dan militer serta mendapat meligitimasi dari institusi agama lebih banyak melayani kepentingan negara, sementara

rakyat diperlakukan sebagai obyek pembangunan itu. Karenanya, rakyat menjadi sangat tergantung kepada pemerintah dan pada akhirnya semakin tidak berdaya.3 Atas fakta tersebut muncullah gerakan-gerakan dari bawah untuk pemberdayaan masyarakat, dan termasuk di dalamnya pemikiran teologi transformatif.

Gerakan Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat. Pengaruh pemikiran dan gerakan ini juga merembes ke dunia Islam. sampai hari ini sudah terdapat beberapa sarjana muslim yang bersemangat membicarakan persinggungan antara Islam dengan pembelaan terhadap rakyat.

Ali Syariati, adalah seorang pengagum pemikiran teologi pembebasan dan pengeritik Karl Marx. Syariati menyatakan bahwa dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak; penguasa yang zalim dan rakyat yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Syariati, banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad'afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung di bawah kemapanan kekuasaan yang zalim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kezaliman dan membela orang kecil.4

Dalam sejarah umat Islam terdapat sejumlah gerakan dan pemikiran yang berpihak pada umat yang tertindas. Di Indonesia, Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengusiran penjajah.

Di Mesir, ada al-Ikhwan al-Muslimun yang bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh, bahkan sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di belahan dunia lain, Ashgar Ali Engeneer dari India, mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu persaudaraan universal, kesetaraan, keadilan

3Anjar Nugroho,”Islam dan Teologi Pembebasan”, http:// indonesiafile. com/content/ view/ 356/79/.

sosial. Tidak tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari uswah terbaik, Rasulullah (Q.S. Al-Ahzab: 21; Al-Qolam: 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah.5

Walau banyak gerakan yang berpihak pada kaum lemah, namun jarang ada buku dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas bawah. Kalau pun ada sedikit sekali, seperti karya Yusuf Qardhawi tentang pengentasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya. Atau Sayyid Quthb dengan Keadilan Sosial dalam Islam. Selebihnya, sebagian besar hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudhu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.6

Teologi transformatif dalam Islam menghendaki agar realita dibaca dengan kacamata Islam sambil dicari aspek praksisnya. Esensinya, ada hubungan dialektis antara ideal Islam dengan realita. Tujuannya sangat kuat untuk merubah fakta sesuai dengan cita-cita Islam. Teologi transformatif, mencoba memahami ortodoksi secara holistik. Realita, fenomena dan fakta harus diselesaikan atau dibawa pada kancah ide-ide Islam. Inilah intisari tawaran dari Kuntowijoyo, yang menegaskan perlunya ide-ide agama yang terdapat dalam Alquran dijabarkan kedalam realita, sehingga ortodoksi tersebut mampu menjadi transformasi sosial. Ketidakmampuan menjabarkan ortodoksi merupakan salah satu faktor yang membuat Islam terpetikemaskan dalam hingar-bingar realita sosial, sehingga Islam hadir ke hadapan kita bagaikan”monumen batu”yang sudah selesai dipahat, hanya sebagai fakta sejarah yang sangat monumental.

Dalam usaha ke arah itu Kuntowijoyo mengajukan Alquran sebagai paradigma, dengan maksud mode of thought, mode of inquiry yang diharapkan bisa menghasilkan mode of knowing, di mana Alquran sebagai konstruksi dari pengetahuan. Berdasarkan paradigma ini, keterbelakangan dan ketertinggalan umat Islam dari segi peradaban tidak lain disebabkan oleh kesalahan umat Islam dalam meletakan Alquran sebagai sumber padadigma yang luas. Berdasarkan cara pandang ini, maka pemikiran keislaman terpilah dua, yakni; mereka yang berlatarbelakang tradisi ilmu keislaman konvensional dan mereka yang terlatih dalam tradisi Barat (modernis). Keduanya sangat berbeda mengupas teologi. Bagi kalangan

5Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Bandung: Mizan, 1999, h. 28.

keislaman konvensional, teologi sebagai ilmu kalam dengan artian suatu disiplin ilmu yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif, dan skolastik. Sedangkan bagi aliran ke dua mereka adalah cendikiawan muslim yang mempelajari ilmu keislaman melalui studi-studi formal. Lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realita dalam perspektif ketuhanan, lebih berupa refleksi empiris.

Berdasarkan paradigma ini, pemikiran teologi transformatif umat Islam terpecah menjadi dua. Pertama, pemikiran yang tidak menerima kenyataan luar, modernisasi selalu diidentikan dengan barat, sehingga menahan diri mainstrem modern tersebut. Kedua, intelektual yang dapat menerima modernisasi sebagai suatu realita yang harus dicerahkan dengan teologi transformatif, yang dibangun melalui pengokohan paradigma Alquran. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman membagi lagi dua cendikiawan yakni; cendikiawan yang menerima modernisasi dengan segenap pranata-pranatanya. Kelompok lain, menolak mentah-mentah. Dua kelompok ini, sama-sama terperangkap dalam pemahaman Alquran yang sepotong-potong dan tidak secara holistik. Untuk menengahi dua pemikiran intelektual yang kontradiktif tersebut, kata Fazlur Rahaman dapat ditempuh dengan memahami Alquran. Pertama, mengkaji dan memahami setting situasi atau problem historis, baik yang spesifik maupun yang makro. Kedua, menjeneralisasi jawaban-jawaban yang ditemukan, sehingga menjadi paradigma yang sering dinyatakan.

Di sinilah letaknya, keterujian intelektualitas Islam dalam menjabarkan Islam sebagai agama peradaban. Namun, keterujian itu belum banyak dibuktikan, sehingga umat Islam masih saja berada dalam warna yang redup dari kemajuan. Perbenturan-perbenturan pun tidak dapat dielakan, karena antara yang satu dengan yang lainnya saling menganggap pemikirannya yang benar. Fenomena ini nampaknya telah melelahkan umat Islam dalam menata masa depannya.

Aliran-Aliran teologis yang dipahami oleh banyak umat Islam, sangat rentan dengan konflik pembenaran. Inilah agaknya yang menjadi penyebab terkendalanya teologi transformatif terlambat diadaptasi. Umat Islam masih terseret dalam pertentangan klaim-klaim aliran pembenaran. Hal ini, sangat”melelahkan”umat Islam itu sendiri dalam menatap masa depannya. Perbedaan aliran dan organisasi misalnya, menyebabkan mereka terpecah dalam membangun peradaban. Sementara perubahan begitu cepat menawarkan beragam realita dan fenomena.

Islam transformatif merupakan salah satu corak paham ke-Islaman yang muncul sebagai respon terhadap keberadaan ajaran Islam yang belakangan dinilai kurang mampu menjawab berbagai masalah yang aktual. Islam terkesan hanya digunakan sebagai legitimasi terhadap kesalehan individual dan tidak diwujudkan dalam konteks kesalehan sosial. Dalam hubungan ini Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Tuhan, dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tantangan.

Menurut Abuddin Nata7 ciri-ciri Islam Transformatif adalah; Pertama, Islam transformatif selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya: 107). Kedua, mengupayakan adanya keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan simbolis dengan missi ajaran Islam tersebut. Bahkan jika suatu aturan formalistik atau simbolik tersebut terlihat menghambat pencapaian tujuan, maka aturan formalistik atau simbolik tersebut harus diubah, atau diberi makna baru yang sesuai dengan tujuan. Ketiga, mewujudkan cita-cita Islam, khususnya keberpihakan terhadap kaum lemah dalam mengangkat derajat kaum dhu’afa atau orang-orang yang tertindas, dan juga diarahkan kepada penegakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, sopan santun, kejujuran dan keikhlasan. Menegakkan nilai-nilai demokratis seperti kesetaraan (egaliter), kesamaan kedudukan (equality), dan sebagainya. Keempat, senantiasa memiliki konsern dan respons terhadap berbagai masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 158-164)