• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ashgar Ali Engeneer: Teologi Pembebasan

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 181-184)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

E. Pemikiran Teologi Transformatif di Dunia Islam

2. Ashgar Ali Engeneer: Teologi Pembebasan

Asghar Ali Engineer, dalam bukunya Islam And Liberation Theology (Islam dan Teologi Pembebasan), menuturkan tentang Islam sebagai teologi pembebasan, didekati dari berbagai perspektif. Menurut Ashgar, teologi pembebasan hadir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas. Teologi pembebasan adalah anti kemapanan, baik kemapanan relijius maupun politik. Engineer mengintepretasikan kembali ungkapan Karl Marx yang terkenal, bahwa agama adalah candu bagi masyarakat, agama juga turut memantapkan status quo dan tidak mendukung perubahan. Islam sendiri pada awal perkembangannya banyak dianut oleh orang-orang yang bukan golongan elit masyarakat. Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah berasal dari keluarga Quraisy yang tidak tergolong keluarga kaya dan berstatus sosial tinggi.

Pada saat itu Islam menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Makkah, sehingga mereka menolak ajaran Islam. Penolakan itu bukan semata-mata karena mereka tidak menerima risalah tauhid, tetapi lebih kepada ketakutan terhadap perubahan sosial, khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.

Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir dan juga aktivis. Ia adalah pemimpin salah satu kelompok Syi'ah Isma'iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay India. Melalui wewenang keagamaan yang ia miliki, Asghar berusaha menerapkan gagasan-gagasannya secara vokal dalam menyoroti dan melawan kezaliman dan penindasan. Untuk itu ia menghadapi reaksi ulama tradisional yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.

Pemikiran Ashgar berpusat pada upaya merumuskan teologi transformatif. Asghar menyatakan bahwa Islam tidak hanya menyatakan keesaan Allah, tetapi juga kesatuan manusia dalam semua hal. Suatu masyarakat jami’i tawhid yang Islami, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan pada ras, agama, kasta maupun kelas. Masyarakat Islam yang sejati menjamin kesatuan sempurna diantara manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk membentuk masyarakat tanpa kelas. Keesaan Allah mengharuskan kesatuan masyarakat dengan sempurna dan masyarakat demikian tidak

mentolerir perbedaan dalam bentuk apapun, bahkan perbedaan kelas sekalipun. Tidak akan terjadi solidaritas imam sejati, kecuali segala bentuk perbedaan ras, bangsa, kasta, kelas dihilangkan. Pembagian kelas menegaskan secara tidak langsung dominasi yang kuat atas yang lemah dan dominasi ini merupakan pengingkaran terhadap pembentukan masyarakat yang adil.19

Menurut Ashgar, komitmen adalah hal yang sangat penting dalam hidup seorang manusia yang mengaku beragama. Konsep komitmen dalam Alquran sangat jelas; bukan untuk keberhasilan atau kegagalan, atau untuk orang kaya atau miskin. Keberhasilan tidak diukur dari kemenangan atau keberhasilan mengislamkan seseorang, namun diukur dengan kualitas hati yang terdalam; tidak menjadi masalah jika orang yang kaya tadi tidak memeluk Islam. Sayangnya, komitmen keislaman umat Muslim saat ini berbeda sekali. Inti komitmen terhadap Islam adalah komitmen kepada tatanan sosial yang adil, egaliter dan nireksploitasi adalah semangat Islam yang sejati. Dalam konsep ekonomi ini, ia mengutip pendapat beberapa tokoh, salah satunya adalah Bani Sadr.

Pada saat revolusi Iran, bersama Ali Syari’ati, ia berusaha membuat konsep revolusi Islam yang konsisten dengan cara menafsirkan ulang ajaran Alquran, sunnah Nabi, dan pendapat Imam Ali. Bani Sadr merasa bahwa di dalam Islam, hak milik tidak bersifat absolut. Ia juga mengelompokkan masyarakat berdasarkan jenis hubungan kekayaan yang ada didalamnya. Ia berpendapat bahwa nasionalisme tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga sangat diperlukan. Sama halnya dengan sebuah bangsa yang tidak memiliki hak absolut terhadap kekayaan kolektif, sebagaimana yang Allah miliki. Bani Sadr menjelaskan bahwa tujuan nyata dari masyarakat Islam adalah membebaskan manusia. Dan ini hanya dapat dilakukan di dalam suatu masyarakat di mana kekayaan bukan diperoleh dengan kekuatan, namun dengan kerja. Di sini Engineer kembali membandingkan dengan konsep marxisme yang serupa tapi tidak sama karena marxis memang tidak mengenal tauhid.

Ashgar menerangkan latar belakang kebangkitan Islam pada awal tahun 1970-an. Harus disadari bahwa struktur sosioekonomi di satu pihak, dan pergantian kekuasaan atau kelas yang berkuasa menentukan tingkat dan arah kehidupan beragama. Hal ini dapat dilihat di beberapa negara Islam seperti Iran, Irak, Syiria, Malaysia, Indonesia dan

sebagainya. Pembangunan ekonomi di negara tersebut melahirkan sebuah kelas yang teramat kaya dan bergaya hidup kebarat-baratan dan immoral menurut norma masyarakat yang konvensional.

Penderitaan masyarakat bawah diakibatkan pemusatan harta yang kemudian mengundang inflasi. Rakyat yang emosional siap dengan kebangkitan agama yang konvensional. Kelas yang berkuasa merasa terancam dengan hal ini. Mereka mulai mensponsori kegiatan dakwah yang menekankan pada formalitas ibadah ritual. Sedangkan sistem nilai Islam yang menekankan pada aspek egaliter, keadilan dan persaudaraan tereduksi dan bahkan dihilangkan. Hal inilah yang diinginkan oleh kelas atas tersebut kemapanan posisi dan kekuasaan. Dalam menghadapi tantangan kemiskinan, Ashgar mengatakan bahwa jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindari dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan dirinya menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial. Teologi, meskipun berasal dari teks-skriptural yang diwahyukan dari Tuhan, sebagian bersifat situasional-kontekstual dan normatif metafisika. Ruhnya yang militan tampak menonjol ketika tetap mengidentifikasikan dirinya dengan kaum tertindas. Dalam rangka transformasi sosial, Ashaar mengungkap pandangannya dengan mengemukakan pertanyaan lalu ia jawab sendiri. Pandangannya tersebut adalah sebagai berikut: Pertanyaan

pertama, perubahan atau transformasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa

Asia dan Afrika ditujukan untuk siapa, dan kedua, dalam rangka apa perubahan itu dilakukan, dan ketiga, bagaimana caranya melakukan perubahan tersebut.

Untuk pertanyaan pertama, saya tidak ragu-ragu menjawabnya bahwa perubahan itu, melalui modernisasi dan lain sebagainya, akan membawa manfaat jika terutama ditujukan untuk golongan masyarakat yang paling lemah. Dengan lain perkataan, perubahan yang hanya berorientasi pada sekelompok kecil elit, bukan hanya tidak akan menguntungkan golongan masyarakat lemah, namun ini merupakan masalah penting yang harus diperhatikan juga akan mengarah pada perkembangan struktur social yang otoriter. Pembangunan yang berorientasi pada kelompok elit hanya bisa bertahan, jika protes dari kalangan bawah dapat dibungkam, dan hanya sebuah rejim yang otoriter dengan klaim demokratis yang dapat meredam protes tersebut.20

Pandangan Engineer di atas memberikan gambaran bahwa ia memiliki pedulian yang serius terhdap kaum dhu’afa atau lemah. Selanjutnya, hubungannya dengan pandangannya tentang Islam, Ashgar mengatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian teknis dan social-revolutif yang menjadi tantangan yang mengacam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun dim luar Arab.

Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal

brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). Pertama,

Islam menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang ditegaskan dalam Alquran surat al-Hujurat, 49:13. Ayat ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang disebutkan dalam Alquran bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial.21 Demikian pandangan Ashgar berkenanan dengan teologi transformatif, yang ia berharap bila diimplementasikan maka nilai-nilai persamaan kemanusiaan tanpa memandang status sosial dan ras, dan keadilan, akan membawa perubahan tatanan masyarakat yang harmonis, rukun dan damai serta sejahtera.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 181-184)