• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peringkat-peringkat Lafal Ta’dil dan Jarh

Para perawi Hadis bila ditinjau dari segi kredibilitas kepribadian dan keintelektualannya tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Untuk itulah, para ulama hadis membuat suatu peringkat dalam penilaian terhadap kredibilitas mereka, dengan merumuskan lafal-lafal, baik yang berbentuk ta’dil maupun jarh.

Para ulama kritik hadis berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah peringkat kualitas perawi. Abu Muhammad Abd. Rahman ibn Hatim ar-Razi, seperti yang dikutip oleh Mahmud at-Tahhan membagi lafal jarh dan ta’dil menjadi empat tingkatan. Abu Abdillah az-Zahabi (w. 748 H) dan al-Iraqi (w.806 H) dan Abu Fayid al-Harawi (w.837 H0 menetapkan lima peringkat untuk masing-masing ta’dil dan tajrih. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) yang pendapatnya disetujui oleh Jalal ad-Din as-Suyuti (w. 911 H) menetapkan enam macam peringkat untuk masing-masing ta’dil dan tajrih6 hal ini juga disetujui dan dikemukakan

5‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, h. 261.

6Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, jilid 1 (T.tp.: ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1963), h. 4.

oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib. Berikut ini adalah peringkat lafal-lafal yang menunjukkan ta’dil dan tajrih menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib.

a. Peringkat Lafal Ta’dil7

1. Kata-kata yang menunjukkan intensitas maksimal (mubalagah) dalam hal ta’dil dengan bentuk af’al at-ta’dil dan sejenisnya. Contohnya:

, ِساَّنلا ُقَث ْوَا ُطَبْضَأ

, ِساَّنلا .... ٌرْيِظَن ُهَل َسْيَل

(Orang yang paling terpercaya; paling dabit; tiada bandingan baginya).

2. Kata-kata yang menunjukkan ke-siqa-han. Contohnya:

,ُهْنَع ُلَاْسُي َلا ٌنَلاُف ....ِهِلْثِم ْنَع ُلَاْسُي َلا ٌنَلاُف

(si Fulan tidak perlu dipertanyakan lagi tentang dirinya, atau tidak diragukan lagi keadilannya)

3. Kata-kata yang mengukuhkan kualitas siqah dengan salah satu sifat di antara sekian sifat adil dan siqah, baik kata yang sama atau kata yang searti. Contohnya:

ث ,ٌةَقِث ٌةَق ِِ ٌةَقِث

...ٌظِفاَح ٌةَقِث , ٌن ْوُمْأَم

(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi memiliki kekuatan hafalan yang baik).

4. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang menyiratkan kedabitan. Contohnya:

ث ,ٌنِقْتُم , ٌتَبَِ ,ٌةَّجُح

.ٌطِباَض ٌلْدَع ,ٌظِفاَح ٌلْدَع...ٌماَمِإ

(kokoh, sempurna, hujjah, imam, adil lagi hafiz, adil lagi dabit).

5. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedabitan. Contohnya:

.ِهِب َسْأَب َلا ,ٌنْوُمْأَم ,ٌق ْوُدَص

(benar, jujur, tidak ada masalah).

6. Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrih. Contoh:

,ٌحِلْيَوُص ,ِباَوَّصلا َنِم ٍدْيِعَبِب َسْيَل ,ٌخْيَش .ُالله َءاَش ْنِا ٌق ْوُدَص

(syeikh, tidak jauh dari benar, agak baik, semoga benar)

Menurut ‘Ajjaz al-Khatib, dalam menggunakan lafal ta’dil di atas, para ulama menyatakan kesahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Kemudian untuk peringkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang periwayat Hadis, adalah baru dapat diterima jika Hadisnya ada perawi lain sebagai penguatnya.8

b. Peringkat Lafal Jarh9

1. Kata-kata yang menunjukkan mubalagah (bersangatan/ berlebihan) dalam hal jarh. Contoh:

ا .ِبِذَكْلا ُنْكُر , ِساَّنلا ُبَذْك َِ

(manusia paling perndusta, tiangnya dusta)

2. Kata-kata yang menunjukkan jarh dengan kedustaan atau pemalsuan. Contohnya:

.ٌعاَّضَو ,ٌباَّذَك

(pendusta, pengada-ada).

3. Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau yang sejenisnya. Contohnya:

م َحْلا ُق ِرْسَي ,ِعْضَوْلاِب ٌمَهَّتُم ,ِبِذَكْلاِب ٌمَهَّت ُِ ْيِد َه ,َث ْتَم ,ٌكِلا ٍةَقِثِب َسْيَل ,ٌكْوُر .

(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencuri hadis, celaka, ditinggalkan, tidak siqat).

4. Kata-kata yang menunjukkan keda’ifan yang sangat. Contohnya:

ِب َسْيَل ,اًّدِج ٌفْيِعَض ,ُهُثْيِدَح َح ِرُط ,ُهُثْيِدَح َّدُر ْيَش

َلا ,ٍئ َح ُبَتْكُي .ُهُثْيِد

(ditolak hadisnya, dibuang hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak ditulis hadisnya).

5. Kata-kata yang menunjukkan penilaian da’if atas perawi atau kerancuan hafalannya. Contohnya:

ٌفْيِعَض ,ُهْوُفَّعَض ,ِهِب ُّجَتْحُي َلا ,ِثْيِدَحْلا ُب ِرَطْضُم َل ,

َم ُه .ُرْيِكاَن

(goncang hadisnya, tidak dijadikan hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).

8Ibid. h. 277. 9Ibid.

6. Kata-kata yang menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan keda’ifatannya, akan tetapi dekat dengan ta’dil. Contohnya: َسْيَل ْيِف ,ٍةَّجُحِب َسْيَل ,ٌلاَقَم ِهْيِف ,ِِّىِوَقْلا َكاَذِب ْعَض ِه َغ , ٌف ْوَأ ُهُرْي .ُهْنِم ُقَث

(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan, tidak termasuk hujjah. Padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih siqah dari padanya)

Bila para perawi terkena atau memiliki jarh dari satu hingga pe-ringkat keempat, maka para ulama tidak menjadikan Hadisnya sebagai huj-jah. Kemudian terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada pe-ringkat kelima dan keenam pada Hadisnya, maka hanya dapat diperguna-kan sebagai i’tibar, hal ini karena tingkat keda’ifannya adalah ringan.10

D. 3 (Tiga) Sikap Kritikus Hadis

Dalam menganalisa dan mengkritik sanad hadis, para ulama hadis (kritikus Hadis) terdapat tiga perbedaan pandangan, yang pertama adalah ketat yang disebut dengan mutasyaddid, yang kedua adalah longgar atau mutasahil, dan yang ketiga adalah moderat atau mutawasit.

Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan Hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan Hadis. al-Nasa’i (w. 303 H/915 M) dan Ibnu al-Madini (w. 234 H/849 M), misalnya dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai kesiqatan perawi, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu Hadis. Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dan Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) dikenal sebagai mutasahil dalam menilai kesahihan suatu hadis, sedang Ibn al-Jauzi (w. 597 H/1201 M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu Hadis, dan al-Zahabi (w. 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai perawi dan kualitas Hadis.11 Penggolongan tersebut, tentunya bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian yang mereka hasilkan.

10Ibid.

11Muhammad Husein az-Zahabi, Zikr Man Yu’tamad Qayuluhu fi al-Jarh wa at-Ta’dil (Kairo: al-Matbu’ah al-Islamiyyah, t.t.), h. 159; lihat juga; Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi

fi Sharh Taqrib al-Nawawi, Juz 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1979), h.

Ulama telah membuat suatu ketentuan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarih wa al-mu’addil. (kritikus hadis). Penjelasan ulama itu dapat dikemukakan sebagai berikut;

1. Syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi, yakni (a) bersifat adil, (b) tidak bersikap fanatik terhadap aliran atau mazhab yang dianutnya, dan (c) tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengannya.

2. Syarat-syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan; (a) ajaran Islam, (b) bahasa Arab, (c) hadis dan ilmu hadis, (d) pribadi periwayat yang dikritiknya, (e) adat istiadat yang berlaku, dan (f) sebab-sebab yang melatar belakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.12

Berikut ini beberapa nama yang diklasifikasikan kepada ketiga kritikus Hadis tersebut.