• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Teologi Transformatif di Asia dan Afrika

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 169-176)

Ajaran Iktizal Ushul al-Khamsah dan Ajaran Lainnya

D. Perkembangan Teologi Transformatif di Asia dan Afrika

Kekhasan Asia terletak pada religiositasnya. Agama harus bisa menilai ketidakadilan yang terjadi, memberikan pandangan hidup yang

tepat, mengkritik sistem yang tak adil dan menawarkan alternatif pemecahan. Maka, agama harus didukung dengan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, psikologi dan sosiologi. Dukungan ilmu-ilmu tersebut membantu dalam membuat pilihan-pilihan nyata dan merancang strategi-strategi untuk mengatasi persoalan masyarakat. Praktek seperti ini telah dilakukan para nabi di jaman Perjanjian Lama. Para nabi melihat kaitan antara penyembahan berhala dan ketidakadilan dan mengutuk keduanya. Mereka menentang praktek keagamaan yang bersifat ritual formal dan tanpa praksis moral.Yesus melanjutkan peran para nabi. Ia menolak kekuasaan, kekayaan dan kedudukan. Ia menawarkan ajaran kasih dan berbuat kasih kepada orang-orang yang miskin, menderita dan berkekurangan. Ia mengajarkan supaya cinta kasih diberikan kepada siapa saja, bahkan kepada musuh.Yesus mengecam agama yang membuat mereka mandul dengan praktek formal seperti puasa, doa yang dipamer-pamerkan, serta penetapan aturan sabat yang amat ketat. Praktek formal keagamaan bagi Yesus hanya mengakibatkan masyarakat terpecah-pecah antara orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan yang tidak berkuasa di bidang ekonomi, sosial, politik dan agama.

Kekhasan berikutnya ialah spiritualitas hidup miskin. Agama-agama di Asia sepakat bahwa keadilan terwujud jika disertai pengendalian egoisme dan hasrat atas keinginan. Demikian pula kemiskinan yang dipaksakan dapat dihapus dengan pilihan hidup menjadi miskin, mengendalikan keinginan, mengurangi kebutuhan-kebutuhan, membatasi konsumsi dan membagikan sebagian miliknya kepada orang lain. Kesadaran orang Asia bahwa dunia ini adalah pemberian Allah begitu besar sehingga segala miliknya dipahami sebagai milik Allah yang harus dibagikan kepada orang lain. Deskripsi pemikiran teologi transformatif di Asia dapat dilihat berikut ini:

1. Teologi Minjung di Korea.

Gerakan Minjung di Korea Selatan yang dimulai pada periode 1970-an yang berfokus pada hak-hak manusia. Istilah minjung pertama kali dipakai sejak dinasti Yi (1392-1960), ketika peraturan kelas (yangban) menindas masyarakat biasa. Istilah minjung muncul dari dua karakter bahasa Cina; min, artinya masyarakat, dan jung, artinya umum. Istilah minjung diterjemahkan sebagai rakyat jelata. Kaum teolog menerjemahkannya sebagai orang-orang yang tertindas secara ekonomis, sosial, politik, atau dengan cara lainnya. Orang-orang Minjung yang mengalami penderitaan disebut sebagai han. Han menurut Moon Hee-suk

Cyris, seorang teolog Minjung, juga berarti kemarahan dan kebencian. Minjung yang sudah masuk ke dalam batin dan diperkuat sebagaimana mereka menjadi objek dari ketidakadilan di atas ketidakadilan. Han adalah akumulasi penderitaan fisik yang tidak bersalah, termasuk penindasan dan eksploitasi.

Teologi Minjung merupakan refleksi dari orang-orang Kristiani miskin di Korea tentang pengalaman hidup mereka. Awal mula teologi ini berasal dari penyadaran kepada para pekerja pabrik tentang penindasan. Munculnya teologi Minjung merupakan konsekuensi logis dari kediktatoran Park Chong-hee di tahun 1971 yang memenjarakan banyak kaum intelektual dan kelas menengah Kristiani. Keadaan ini menimbulkan kemiskinan bagi pekerja miskin yang berpindah, kaum perempuan dan anak-anak. Minjung adalah sebutan untuk mereka yang tertindas secara ekonomi, sosial dan politik.

Teologi Minjung dapat dilihat sebagai anak dari beberapa sistem teologi modern. Dengan melihat pengaruh dari pikiran teologi modern, maka dapat dikatakan bahwa teologi Minjung adalah sebuah hasil teologi yang berbeda. Metodologi Teologi Minjung adalah kontekstual, dengan suatu tekanan pada refleksi atas perjuangan kebebasan. Hermeneutik sosial politik merupakan sentral yang penting untuk membawa arah yang baru dalam menafsirkan Alkitab. Dengan kacamata Minjung para pembaca diarahkan memahami serta mengimani firman dalam perspektif kesamaan dan kesederajatan. Dengan pandangan baru yang ditawarkan teologi Minjung orang dapat memahami Alkitab semakin baik dan juga menjadi pelaku firman yang diyakini itu.

Kontempelasi teologi Minjung didasarkan atas kisah Yesus yang diceritakan oleh orang-orang biasa. Peristiwa Yesus adalah fondasi yang prinsipil yang mereflesikan pembebasan dari peristiwa kesengsaraan, kematian dan kebangkitan Yesus. Ia datang untuk membebaskan orang yang tertindas. Kehidupan Kristus merupakan tanda pembebasan. Roh Kudus hadir dalam seluruh sejarah dan apa saja yang terjadi pada masa lalu. Kristus datang untuk menyelamatkan orang Korea dengan membebaskan mereka dari kuasa han.

Metode penebusan manusia dengan memotong siklus han disebut dan. Dan adalah restorasi keadilan. Keadilan menyembuhkan luka akibat han dan memulihkan Minjung ke tempat yang benar. Terdapat empat tahap jalan ke sorga: menyatakan Allah dalam hati. mengikuti kesadaran Allah untuk berakar dalam diri, melatih iman dalam Allah. mengatasi

ketidakadilan dengan mentransformasi dunia. Dalam teologi Minjung, seorang penyair yang juga pegawai kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya merekam dan menggugat kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang bangkit saat itu. Ia malah rela menerima kekerasan terhadap dirinya dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.9

2. Teologi Perjuangan di Filipina.

Teologi Perjuangan (Theology of Struggle) lahir dari situasi negara Filipina yang sedang berkembang sekaligus memunculkan kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Kaum miskin ialah penduduk pedesaan yang bekerja sebagai buruh, anggota-anggota suku yang tergusur dari tanah leluhur dan kebudayaan. Selain itu juga pekerja anak, kaum perempuan, pekerja seks. Keadaan ini diperburuk dengan hutang luar negeri, kebijakan ekonomi yang merugikan kaum miskin, keberadaan pangkalan militer Amerika sebagai dominasi asing dan pemerintahan diktator Marcos.

Orang Katolik yang berpihak pada kaum miskin dikecam sebagai Komunis yang dikutuk oleh Gereja dan Negara. Kepedulian praktis mereka dianggap melawan kebijakan pemerintah. Situasi ini menjadi tempat lahir Teologi Perjuangan yang dipengaruhi Teologi Pembebasan Amerika Latin. Teologi Perjuangan bukanlah teologi tentang perjuangan, tetapi dari dan dalam perjuangan. Teologi ini merupakan refleksi orang yang sungguh sedang berjuang, yakni orang miskin yang tertindas dan orang yang memilih berjuang bersama mereka. Pilihan berjuang ini didasari kepercayaan bahwa keadilan adalah hak mereka dan mereka dipanggil untuk menata dunia yang lebih baik. Perjuangan mereka pun ada yang menggunakan kekerasan ala perjuangan kelas Marxis tetapi ada yang meniru teladan kelemahlembutan Yesus dengan jalan ketidakpatuhan sipil atau pemogokan.

3. Teologi Pembebasan Aloysius Pieris.

Aloysius Pieris adalah seorang ahli kristologi yang mencoba membangun teologi agama-agama dalam konteks Asia. Ia menulis buku yang berjudul An Asian Theology of Liberation. Menurut Aloysius Pieris, agama-agama Asia memandang bahwa penyebab kemiskinan ialah

dorongan untuk memiliki barang jasmani, serta keinginan untuk memiskinkan orang lain. Maka pilihan yang diajarkannya ialah meninggalkan keinginan untuk memiliki barang jasmani. Pieris menganjurkan bahwa orang yang memilih hidup miskin seharusnya tidak sekedar melawan dirinya tetapi juga membebaskan orang miskin. Dasar pemikirannya berpijak pada sosok Yesus sendiri yang menjadi miskin sekaligus memperjuangkan kaum miskin. Di tingkat praksis, orang-orang yang memilih hidup miskin sekaligus memperjuangkan kaum miskin bersatu dalam persekutuan manusiawi dan berkomitmen untuk membela dan memajukan persamaan dan keadilan bagi semua orang. Dalam perspektif ini orang miskin memiliki peran mesianis, sebab melalui mereka orang diantar kepada Tuhan.

4. Teologi Feminis Kwok Pui Lan.

Kaum perempuan Asia adalah kaum yang tertindas. Pada beberapa tempat ada kebudayaan yang amat menindas kaum perempuan. Jika seorang anak perempuan lahir, ia akan dibunuh karena perempuan dipandang sebagai beban. Saat menjadi gadis, ia berada dalam lingkungan patrialkal yang menganggap lemah perempuan hingga ia harus tinggal di rumah. Jika ia miskin, ia harus bekerja dengan upah yang lebih rendah daripada kaum lelaki. Sementara itu, ia harus mengurus rumah tangga. Saat kawin, keluarganya harus membayar mas kawin. Dalam tatanan sosial patriakal, ia tak memiliki kekuasaan membuat keputusan, peran perempuan pun minimal dalam kehidupan beragama. Situasi itu membuat perempuan dari berbagai daerah di Asia, yang sadar segera bangkit berjuang. Michael Amaladoss membagi perjuangan mereka dalam kategori: perjuangan feminisme liberal dari perempuan kota kelas menengah yang memperjuangkan persamaan gender, gaji atau pekerjaan; perjuangan perempuan dalam gerakan politik kiri di dunia kerja dan perjuangan rakyat demi kaum petani, buruh atau nelayan. Tujuan perjuangan mereka ialah terbentuknya tatanan sosial baru yang tak hanya patrialkal atau matrialkal, tetapi tatanan yang semata-mata manusiawi. Teologi feminis, menurut Chung Hyun Kyung, berusaha menghargai perempuan yang berfokus pada keberadaannya sebagai Citra Allah, teladan Yesus dan Maria. Tujuan refleksi teologis ini memberikan visi baru yang menentang segala penindasan terhadap perempuan. Citra Allah sebenarnya tak melulu bercorak lelaki, karena Allah dipahami sebagai perempuan (Mzm 123:2), perawat (Mzm 22:9-10), atau perempuan yang melahirkan (Yes 42:14). Sementara itu, sosok Yesus yang menderita dapat diidentikkan dengan penderitaan perempuan.

Salah seorang penggagas teologi feminis adalah Kwok Pui Lan yang berasal dari Hongkong. Ia seorang perempuan yang dilahirkan di Hongkong dan sangat menyadari dirinya sebagai warga dari suatu koloni Inggris. Ia anggota gereja Anglikan dan memperoleh pendidikan Teologi di Hongkong dan Amerika Serikat. Ia mempunyai anak perempuan berumur 18 tahun dan seorang suami. Ia sudah pernah ke Indonesia ketika memenuhi undangan Asian Mission Conference yang diorganisasikan

oleh Christian Conference of Asia pada tahun 1989. Dalam konferensi itu ia

memimpin sebuah pemahaman Alkitab dengan cara yang khas. Hasilnya termuat di dalam bukunya Discovering the Bible in the non-Biblical World sebagai Prologue. Pemikiran Kwok Pui Lan memandang dan cara menafsirkan Alkitab dari konteks perempuan. Menurut Kwok, Kitab Suci berasal dari berbagai budaya yang kaya dan dari orang-orang di dunia Mediteranian, sehingga tak asing jika penafsiran terhadap Kitab Suci pun datangnya dari kaum kulit putih, laki-laki dan perspektif pemimpin agama. Sebagai hasilnya, kaum perempuan terpinggirkan dan penafsiran pun mengandung bias. Kitab Suci telah digunakan untuk melegitimasi rasisme, seksisme, dan klasisme, sebagaimana kolonialisme dan imperialisme budaya.

Dalam dunia religius pluralistik, Yang Mutlak atau Yang Misteri (Yang Suci) dikenal dengan banyak nama. Maka sekaligus ini merupakan bentuk upaya memikirkan ulang konsep fundamentalisme religius seperti monoteisme dan politeisme. Bagi kaum feminis, teologi yang cocok adalah teologi inklusif sebab harus dilakukan bersama dengan spiritualitas. Tujuan teologi bukanlah memastikan siapa Tuhan, melainkan mengekspresikan sebuah rasa keheranan, ketakjuban dan kasih atas kehadiran kekuasaan Tuhan di dalam kehidupan manusia. Politik perbedaan di dalam hermeneutik terhadap Alkitab haruslah diuji. Perempuan di dunia ketiga dan perempuan minoritas selalu memfokuskan diri pada ketertindasan perempuan di dalam Alkitab sebagaimana apa yang mereka alami dalam kehidupan kesehariannya. Tetapi perhatian mereka tidak hanya terbatas pada marjinalisasi perempuan, melainkan kepada praktek rasisme, kelasisme, dan seksisme dulu dan sekarang, yang dibuka kerudungnya dari penafsiran terhadap Alkitab. Perhatian ini seharusnya dikembangkan dalam lingkup akademis, para perempuan dan laki-laki yang membaca Alkitab, sebab orang-orang akan menafsirkan Alkitab dari konteks di mana ia berada. Maka dengan begitu, ia akan sanggup membongkar ketertindasan perempuan yang berada pada konteksnya sendiri.

5. Teologi Pembebasan Afrika

Hingga abad XV kekristenan masih terbatas di Afrika Utara yang dibawa oleh Roma Katolik Portugis selama masa eksplorasi dan perdagangan. Pada permulaan abad ke-19, penginjilan oleh Protestan masuk ke Afrika Tengah, Barat dan Selatan. Meskipun teologi Afrika dan teologi kulit hitam hampir sama dalam banyak hal, namun masih ada letak perbedaannya. Desmond Tutu mengatakan bahwa teologi Afrika secara keseluruhan barangkali masih berusaha untuk lebih luwes, tidak terdapat jenis penindasan yang sama yang menyebabkan rasisme kulit putih kecuali di Afrika Selatan, sementara teologi kulit hitam muncul dalam konteks penderitaan kaum kulit hitam ditangan rasisme kulit putih yang merajalela. Konsep Allah Dalam Teologi Afrika. Terdapat perbedaan pandangan tentang warna kulit Allah, apakah putih atau hitam, atau berwarna. Di Afrika Selatan, kekristenan putih sudah sangat ditegaskan. Hal-hal yang hitam sudah dihubungkan dengan yang jahat. Akibatnya, diperlukan sebuah konsep baru tentang Allah yang berbeda dari yang sudah ada. Sabelo Ntwase dan Basil Moore menyarankan sebuah konsep baru yaitu, kebebasan hubungan gambar Allah. Allah bebas dikenal secara sepintas dan secara tidak sempurna dalam pengalaman kita sendiri. Tetapi Allah juga bebas diatas segala sesuatu yang kita sudah ketahui, bebas untuk melepaskan kita dari belenggu penindasan dalam seluruh kehidupan. Yesus Kristus sebagai pembebas satu perhatian utama dari orang Afrika adalah ancaman serangan roh-roh jahat. Pelepasan adalah satu tema yang umum di antara orang percaya dan yang tidak. Maka tidak heran untuk menemukan bahwa Yesus dilihat sebagai Juru selamat, Penebus dan Kuasa. Jelas sekali ini ada hubungan dengan konsep Kristus sebagai Pembebas. Yesus memiliki kuasa untuk membebaskan dari ketakutan, penyakit, dan roh jahat, seperti dari penindasan, rasisme dan eksploitasi. Pandangan teologi Afrika tentang keselamatan teolog Afrika, Manas Buthelezi, menerangkan karakter hidup sebagai sakramental. Hubungan manusia dengan Allah adalah sesuatu yang diberikan sepanjang kehidupannya. Untuk menjadi serupa dengan gambaran Allah, artinya bahwa orang tersebut mengekspresikan hubungan itu. Keselamatan adalah sebuah sakramen dengan jalan manusia menerima dan mengakui karunia-karunia Allah yang baik dan sempurna bahkan seandainya belum menerimanya dalam totalitas.

Allah memberikan hal-hal yang baik, meskipun itu pada suatu waktu akhirnya kepada orang lain. Kepercayaan ini adalah salah satu aspek iman. Aspek lain dari iman adalah menerima orang lain sebagai

umat manusia yang Allah sudah terima. Maka bagian iman yang krusial, termasuk melibatkan hubungan damai dengan orang yang mengeksploitasi Gereja dan Masyarakat. Julius Nyerere menyarankan bahwa gereja harus menerima perkembangan manusia yang terlibat dalam pemberontakan. Dunia sudah terbagi antara yang kaya dan yang miskin. Mereka adalah orang yang berkuasa dan yang tidak. Gereja harus mendesak dunia menjadi satu dan untuk memenangkan keadilan sosial. Demikian deskripsi asal-usul perkembangan pemikiran teologi transformatif.

Dalam dokumen Khazanah Ilmu Ushuluddin : Seri 2 Buku Daras (Halaman 169-176)