• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Penilaian Kontradiksi

D. Al-Jarh wa at-Ta‘dil

4. Penyelesaian Penilaian Kontradiksi

Banyak kasus yang ditemukan adanya perbedaan penilaian terhadap keberadaan seorang periwayat. Dalam kaitan ini ulama menyelesaiakan dengan mengacu kepada dua pertimbangan.

Pertimbangan pertama adalah dengan melihat sikap kritikus. Dari sudut sikap, kritikus hadis dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu ketat (mutasyaddid), seperti Ibn Ma‘īn, longgar (mutasāhil), seperti al-Hākim, dan moderat (Mu‘tadil), seperti Ibn Hajar. Karena itu, periwayat yang dinilai

dhā‘īf oleh Ibn Ma‘ īn bisa saja dinilai śiqah oleh al-Hākim. Perbedaan

sikap ini juga dapat mempengaruhi pengguna-an istilah, seperti lais bih

ba’s bagi Ibn Ma‘ īn sama dengan tsiqah bagi kritikus lain. Istilah fīh nazhar

bagi al-Bukhārī banyak digunakan untuk pengertian dhā‘īf.

Penilaian positif yang diberikan kelompok yang bersikap ketat diperpegangi secara mak-simal dan penilaian negatif (jarh)-nya tidak diperhatikan jika bertentangan dengan penilaian kritikus lain. Ulama yang termasuk kelompok yang bersikap ketat (mutasyaddid) ialah al-Jaujazānī, Abū Hātim ar-Rāzī, Ibn Abī Hātim, an-Nasā’ī, Syu‘bah, Ibn al-Qaţţān, Ibn Ma‘ īn, Ibn al-Madīnī, dan Yahyā al-Qaththān. Ulama yang termasuk kelompok yang bersikap longgar (mutasāhil) ialah at-Tirmizī, al- Hā-kim, Ibn Hibbān, al-Bazzār, asy-Syāfi’ī, ath-Thabrānī, Abū Bakr al-Haitsamī, al-Munzirī, Ibn Khuzaimah, Ibn as-Sakan, al-Baihaqī, dan al-Bagawī. Sementara ulama kritik-us yang bersikap moderat ialah al-Bukhārī, ad-Dāraquţnī, Ahmad, Abū Zur‘ah, Ibn ‘Adī, az-Zahabī, dan Ibn Hajar al-‘Asqalānī.26

Penilaian positif (ta‘dīl) dari kelompok yang ber-sikap ketat (mutasyaddid) dipandang kuat, sedang penilaian negatif mereka tidak diterima jika bertentangan dengan penilaian kelompok lainnya. Penilaian positif (ta‘dīl) oleh kelompok yang bersikap longgar (mutasāhil) perlu diperbandingkan dengan penilaian kelompok lainnya.

Kebersambungan (ittishal) antara semua rangkaian sanad merupakan salah satu syarat kesahihan sanad hadis. Rangkaian periwayat dipandang bersambung jika antara mereka pernah bertemu (liqā’) atau semasa (mu’āsharah). Seorang periwayat dinilai bertemu dengan gurunya jika ia dinilai sebagai periwayat yang tsiqah dan menggunakan lafal penerimaan (shigah at-tahammul) sami‘t (saya dengar) atau akhbaranī (ia memberitahu

saya) atau qāl lī (ia mengatakan kepada saya). Seorang periwayat diduga semasa dengan gurunya jika ia periwayat terpercaya dan perbeda-an tahun wafat antara keduanya tidak terlalu jauh sekali-pun ia menggunakan ungkapan penerimaan (shigah at-ta-hammul) ‘an dan yang seumpamanya. Masa hidup periwayat yang tidak ditemukan tahun wafatnya ditelusuri me-lalui masa hidup teman sebayanya (aqrānuh) atau melalui Thabaqah-nya (generasinya).

Pertimbangan kedua adalah dengan melihat kaedah-kaedah ta‘arudh dalam ilmi ini. Kaedah-kaedah itu pada umumnya masih terpencar-pencar dan belum tersusun lengkap secara sistematis. Di antara kaidah-kaidahnya yang penting diketahui adalah sebagai berikut:

1. ليدعتلا ىلع مدقم حرجلا

(Jarh (celaan) didahulukan atas ta‘dil (pujian.)27

Maksudnya adalah bila seorang periwayat dinilai tercela (majruh) oleh seorang kritikus yang lain, maka yang didahulukan adalah kritik yang berisikan celaan (jarh). Kaidah ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang menilainya adil. Kedua, yang menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang yang menilainya. Persangkaan baik akan “dikalahkan” bila ternyata ada celaan yang dimiliki periwayat yang bersangkutan.

Kaidah di atas mendapatkan dukungan dari ka-langan ulama hadis, ulama fikih, dan ulama usul fikih. Banyak dari mereka yang menganut teori tersebut. Dalam pada itu, banyak pula ulama kritikus hadis yang menuntut pembuktian atau penjelasan tentang sebab tercelanya periwayat yang bersangkutan.

2. حرجلا ىلع مدقم ليدعتلا

(Ta‘dil (pujian) didahulukan atas jarh” (celaan).

Maksudnya adalah bila seorang perawi dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah pujian. Alasannya adalah karena sifat dasar periwayat adalah terpuji. Karena itu, jika sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang

kemudian, maka yang harus dime-nangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini adalah an-Nasai (w. 303 H/ 915 M). Pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori ini karena dalam hubungan ini kritikus yang memberikan pujian tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya sedang kritikus yang lain mengeta-huinya.

Ada juga yang berpendapat bahwa kaidah ini berlaku jika jumlah yang memuji (mua‘ddil) lebih ba-nyak dari pada yang mencela (jarih). Sebab, jumlah yang banyak itu menguatkan keadaan mereka yang meng-akibatkan hadisnya dapat diterima dan diamalkan.28 Menurut al-Bulqaini,

ta‘dil didahulukan daripada jarh jika mu‘addil lebih banyak hafalannya

ketika dibanding-kan sedang jumlah mereka sama banyak.29

3. رسفملا حرجلا تبث اذإ لاإ لدعملل مكحلاف لدعملاو حراجلا ضراعت اذإ 30

(Apabila terjadi pertentangan antara yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah orang yang memuji, kecuali apabila yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.) Maksudnya adalah apabila periwayat dipuji oleh seseorang dan dicela oleh yang lain, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali jika kritikus yang mencela menyertakan penjelasan tentang bukti-bukti tercelanya periwayat yang bersangkutan. Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya periwayat yang dinilainya dipan-dang lebih mengetahui pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya memberikan pujian terhadap periwayat yang sama. Inilah pendapat ulama fikih, ulama usul fikih, dan jumhur ulama hadis. Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan tentang celaan yang di-kemukakan itu harus relevan dengan mengetahui juga sebab-sebab tercelanya periwayat yang dinilainya itu dan ia memandang bahwa sebab tercelanya tidak relevan atau telah hilang dari periwayat yang bersangkutan dengan bertaubat, maka yang memuji ketika itu diuta-makan.31

28As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1988 M, h. 310.

29 Muhammad Ibn Ismail As-San’ani, Taudhih al-Afkar li Ma‘ani Tanqih al-Anzhar, Dar al-Fikr, Beirut, 1366 H/1947 M, h. 159.

30 Zafar Ahmad al-Utsmani ath-Thahnawi, op.cit., h. 253.

31 Jalal ad-Din as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1988 M, h. 309.

4. 32 ةقثلل هحرج لبقي لاف افيعض حراجلا ناك اذإ

(Jika kritikus yang mencela adalah orang yang tergolong lemah (daif), maka kritiknya terhadap periwayat yang siqah tidak diterima).

Maksudnya adalah apabila yang mengeritik orang yang tidak tsiqah, maka keritik orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak. Sebab, orang yang bersifat tsiqah dikenal dengan berhati-hati dan lebih daripada orang yang tidak tsiqah. Pendukung pendapat ini adalah jum-hur ulama kritikus hadis.

5 حورجملا يف هباشلأا ةيشخ تبثتلا دعب لاإ حرجلا لبقي لا

(Jarh (celaan) tidak diterima kecuali sesudah yakin karena kha-watir terjadinya kesamaan tentang orang yang dicelanya).33

Maksudnya adalah apabila nama seorang periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat yang dicela, maka celaan itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dapat dipastikan bahwa kritik itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasannya adalah bahwa suatu kritik harus jelas sasarannya. Dalam mengritik pribadi seorang yang dikritik haruslah jelas dan ter-hindar dari keragu-raguan atau kerancuan. Pendukung pendapat ini adalah ulama kritikus hadis.

6. 34 هب دتعي لا ةيويند ةوادع نع ئشانلا حرجلا

(Jarh (celaan) yang timbul akibat permusuhan yang bersifat duniawi tidak diperhatikan.)

Maksudnya adalah apabila seorang kritikus di ketahui memiliki permusuhan dalam masalah kedunia-an dengan periwayat yang dicelanya, maka kritiknya terhadap periwayat tersebut harus ditolak. Alasannya adalah karena pertentangan dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Seba-gai manusia, kritikus juga mungkin memberikan peni-laian yang tidak objektif karena didorong oleh rasa kebencian.

32 Zafar Ahmad al-Utsmani ath-Thahanawi, op . cit. , h. 405.

33Ibid., h. 412. 34Ibid., h. 414.