• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III REFLEKSI TEOLOGIS ATAS LINGKUNGAN HIDUP

3.2 Ekoteologi dalam Kitab Suci

Kita dapat menemukan teks-teks yang berkaitan dengan lingkungan hidup dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB).

Dalam Perjanjian Lama kita menemukannya pada beberapa teks seperti: Kejadian 1-4, 6-9; Imamat 25; Ulangan 28; Mazmur 8, 33, 136: 4-9, 104:1-28; Yesaya 35;

Yunus 2; dan Ayub 38-42. Dalam Perjanjian Baru kita juga dapat menemukan beberapa teks seperti: Yohanes 1; Ibrani 1; Kolose 1; Roma 8 dan Wahyu 21.

Tentu masih ada teks lain yang menyinggung lingkungan hidup. Namun pada karya tulis ini, penulis membatasi diri pada beberapa teks di atas karena yang ingin ditekankan adalah relasi manusia dengan Sang pencipta dan relasi manusia dengan ciptaan lainnya.

3.2.1 Hubungan Manusia dengan Pencipta

Mungkin masih banyak orang Kristiani yang bertanya-tanya atau mempertanyakan asal usul manusia dan asal usul bumi. Pertanyaan mengenai asal-usul manusia menyangkut tentang siapa pencipta manusia, mahluk ciptaan lainnya dan bumi. Dalam Kejadian 1 dan 2 dikisahkan bagaimana Allah menciptakan dunia, binatang, tumbuhan dan manusia. Kisah penciptaan ini tidak pertama-tama memberikan sebuah laporan historis-faktual atas penciptaan bumi seperti sebuah laporan sejarah yang tertulis. Yang ingin disampaikan adalah pengakuan iman bahwa Allah adalah pencipta bumi dan segala yang ada di dalamnya. Kisah penciptaan lebih menekankan iman akan Allah sebagai pencipta dan penyelenggara segala sesuatu.

Gambaran mengenai Allah pencipta baru muncul kira-kira pada abad 10 sM ketika tradisi Yahwis (J)2mulai membuat suatu batasan tentang kosmologi yang memperlihatkan totalitas dunia di mana Yahwe dilihat sebagai pencipta, penguasa dan penderma. Pemahaman sebagai Allah pencipta bukanlah pemahaman yang paling awal atas relasi Israel dengan Allah. Pemahaman tentang Allah pencipta baru muncul setelah pemahaman tentang Allah penebus, yang membebaskan Israel dari Mesir dan Allah penderma, yang menghantar Israel ke tanah perjanjian. Peristiwa pembebasan dari Mesir, perjanjian Sinai dan masuk tanah perjanjian merupakan tiga peristiwa besar bangsa Israel yang dilukiskan dalam kitab Hosea sebagai pinangan, janji tentang keselamatan dan Israel ditolak dan dipulihkan (Hos 1-3). Antara pembebasan Israel dari Mesir dan pemberian tanah perjanjian, Allah menawarkan suatu perjanjian di Sinai bahwa Allah akan

2Tradisi J adalah tradisi yang berasal dari abad 10-9 sM. Nama ini diambil dari penggunaan nama YHWH bahkan sebelum pewahyuan nama tersebut seperti yang dikisahkan dalam Kel 3:14.

Tradisi J diperkirakan berasal dari Palestina Selatan (suku-suksu Selatan khususnya suku Juda) karena tradisi J lebih banyak menceritakan orang atau tempat-tempat di sebelah selatan Palestina.

Pada tradisi J Allah digambarkan anthropomorfisme atau Allah digambarkan sebagai seorang manusia yang bertindak atau bekerja. Selain tradisi J terdapat juga tradisi P (Prister). Tradisi P disusun di kota Yerusalem yang muncul pada masa pembuangan Israel (587-538 sM) dan baru mulai beredar setelah Israel kembali dari pembuangan. Tradisi ini sangat menekankan keteraturan dengan gaya bahasa yang abstrak dan kaku. Tradisi P muncul dari kalangan para imam yang fokus perhatiannya pada sejarah khususnya pada aturan dan hukum peribadatan.Terdapat pula tradisi-tradisi lain yakni tradisi-tradisi Yahwista (J), tradisi-tradisi Elohista (E) dan tradisi-tradisi Deuteronomis (D). Tradisi E diperkirakan dituilis pada abad 7 sM. Dalam tradisi ini penggambaran anthropomorfisme pada Allah sangat sedikit. Hubungan antara Allah dan manusia digambarkan lewat mimpi atau malaikat.

Dalam tradisi ini, Tuhan kerap kali disebut sebagai Elohim (Allah), khususnya pada cerita-cerita sebelum Musa, nama Yahwe tidak dipakai. Tradisi E berasal dari suku-suku di Utara khususnya suku Efraim. Diperkirakan bahwa sesudah kehancuran kerajaan Utara (721) tradisi J dan tradisi E diperkirakan bercampur karena banyak penduduk dari Utaran yang melarikan diri dan mengungsi ke wilayah Juda. Tradisi D muncul pada abad 7 sM. Tradisi D mau mempertahankan dan mengembangkan Hukum Musa. Oleh karena itu, muncul saduran baru dari ajaran Musa yang disebut sebgai Hukum kedua atau deuteronomium. Saduran ini sebagian besar dapat kita temukan dalam kitab Ulangan. Ciri tradisi D adalah usaha ke arah persatuan nasional dan pemusatan ibadat dengan tujuan untuk menghidupkan kembali semangat religius bangsa Israel. Selain itu, ciri yang lain adalah menitikberatkan pengabdian pada Yahwe yang bersifat batiniah dan cinta. Lihat dalam Stefan Leks, Kejadian, Nusa Indah, Ende, Flores, 1977, 20. MAWI, Kitab-Kitab Taurat Musa I, Nusa Indah, Ende Flores, 1967, VIII-IX.V. Indra Sanjaya, Pentateukh (bahan mata kuliah/diktat Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma), Yogyakarta, 2011, 8.

menjadi Allah Israel dan Israel akan menjadi umat kesayangan Yahwe (bdk. Ul 30:15-20).

4 Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. 5 Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. 6 Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel (Kel 19:4-6).

Dalam perkembangan selanjutnya, di mana bangsa Israel dalam hidup mereka sehari-hari berelasi (berasimilasi) dengan penduduk Kanaan dan bangsa-bangsa di sekitarnya, bangsa-bangsa Israel kemudian mulai merefleksikan dan merumuskan dengan jelas mengenai penciptaan yang kemudian menghasilkan gagasan mengenai Allah pencipta. Selain itu, atas dasar refleksi tiga pengalaman besar bangsa Israel yakni pembebasan dari Mesir, perjanjian Sinai dan penerimaan tanah terjanji, Allah kemudian diimani sebagai Allah pencipta, penyelenggara dan Allah yang mempunyai kasih setia pada ciptaan-Nya.3 Penciptaan digambarkan oleh Israel dengan bermacam-macam cara seperti yang dikisahkan dalam Kejadian.

Kitab Suci mengimani bahwa Allah adalah pencipta bumi dan segala isinya. Ia menciptakan bumi dari yang tidak ada menjadi ada/creatio ex nihilo (bdk. 2 Mak 7:28). Dalam Kejadian 1:1 – 2:4a dikisahkan bagaimana Allah menciptakan bumi dan segala isinya melalui sabda-Nya secara berurutan; hari pertama Ia menciptakan terang dan gelap, hari kedua Ia menciptakan cakrawala, hari ketiga Ia menciptakan tumbuh-tumbuhan, hari keempat Ia menciptakan

3Wim van der Weiden, Mazmur dalam Ibadat Harian: Pedoman Praktis untuk Menghayati Mamur dalam Ibadat Harian, Kanisius, Yogyakarta, 1991, 34-35.

benda-benda penerang angkasa, hari kelima Ia menciptakan binatang, dan hari keenam Ia menciptakan manusia. Sedikit berbeda, Kejadian 2:4b-25 menggambarkan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi secara tidak berurutan dan Allah digambarkan seperti manusia yang melakukan karya penciptaan (anthropomorfisme). Namun tekanan kedua kisah penciptaan tersebut sama yakni iman akan Allah pencipta, yang menciptakan bumi dan segala sesuatu.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh pemazmur yang memuji keagungan dan kemuliaan Allah pencipta (bdk. Mzm 8,33,104,136).

Allah tidak hanya menciptakan manusia, tetapi Ia juga menyelenggarakan hidup manusia (Kej 1:22,28).Walaupun manusia jatuh dalam dosa (lih. Kej 3-4), Allah tetap setia dan mencintai manusia serta tetap memberkati mereka (lih. Kej 6-9). Allah tidak menghendaki manusia dan ciptaan lainnya musnah. Allah berjanji bahwa tidak akan ada lagi pemusnahan ciptaan seperti yang Ia lakukan dalam kisah air bah (Kej 6). Allah tidak hanya berjanji, tetapi juga menuntut suatu sikap setia manusia melalui sebuah perjanjian yang dilaksanakan antara Allah dan manusia (Kej 9:9-17). Kesetiaan manusia pada Allah mendatangkan berkat dan sebaliknya ketidaksetiaan manusia mendatangkan kutuk, yang berdampak bagi seluruh ciptaan.

Dalam bagian ini ditekankan kekuasaan Allah dalam penciptaan dan penyelenggaraan-Nya atas semua ciptaan-Nya. Allah menentukan aturan, keseimbangan dan stabilitas dalam kosmos.4 Selain itu, juga dikemukakan pemeliharaan Allah kepada yang lemah dan kecil (bdk. Ayb 38:4 – 39:33). Di

4Wim van der Weiden, Seni Hidup Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, 103.

hadapan Allah, Pencipta, manusia tidak berdaya. Segala yang Allah ciptakan luar biasa dan menimbulkan kekaguman. Manusia sangat kecil di hadapan Allah (bdk.

Ayb 42:2-3).

3.2.2 Hubungan Manusia dengan Ciptaan Lain

Manusia dan ciptaan lainnya adalah ciptaan yang sama-sama diciptakan oleh Allah. Tidak ada yang mengatasi atau menjadi superior atas ciptaan lainnya.

Baik manusia maupun ciptaan lainnya sama-sama mempunyai martabat dan bernilai sama, sebagai ciptaan, di hadapan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai hak untuk menguasai ciptaan lainnya (bdk. Im 25), apalagi memperlakukan mereka seenaknya. Ciptaan lain mempunyai hak untuk

“mengatur dan mengelolah” hidupnya sendiri. Selain itu, keberadaan dan kelangsungan hidup manusia di bumi ini sangat ditentukan oleh keberadaan ciptaan lainnya. Manusia membutuhkan udara, sinar matahari, air dan berbagai macam tumbuh-tumbuhan untuk hidup. Manusia tidak dapat hidup tanpa mahluk ciptaan lainnya. Hidup manusia sangat tergantung pada alam; misalnya manusia menanam padi dan umbi-umbian untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Demikian juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan membutuhkan ciptaan lain (kecuali manusia) untuk bertahan hidup dan melanjutkan kehidupannya.

Dalam kisah penciptaan, dosa manusia mendatangkan hukuman baik bagi manusia maupun binatang (lih. Kej 3). Akibat dosa Adam dan Hawa, terjadi

“permusuhan” antara Allah dan ciptaan-Nya. Terjadi perpecahan antara Allah dan manusia serta antara Allah dan binatang. Dosa manusia yang semakin meluas

(bdk. Kej 3:5,11,16; 4:11-12) menimbulkan murka Allah, sehingga Ia membinasakan ciptaan-Nya kecuali mereka yang telah ditentukan-Nya untuk selamat melalui bahtera Nuh (Kej 6:9). Dosa manusia yang nampak dalam sikap dan tindakan yang tamak, serakah dan superior terhadap ciptaan lain (kekayaan alam) mengakibatkan “penderitaan” (bdk. Ul 28) bagi ciptaan lain. Dosa itu juga yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup berdampak negatif baik bagi manusia, maupun bagi mahluk hidup lainnya.

Lingkungan hidup, yang merupakan tempat habitat sekaligus sumber kehidupan mereka, yang rusak berakibat buruk bagi kenyamanan dan kelangsungan hidup mereka. Di samping itu, kerusakan lingkungan hidup juga mengakibatkan beberapa spesies menjadi langka bahkan punah. Oleh karena itu, relasi antara manusia dan ciptaan lainnya perlu dibangun dengan baik dan bijaksana sebab mempunyai hubungan saling ketergantungan satu sama lain.