• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harmoni antara Allah, Manusia dan Ciptaan

BAB III REFLEKSI TEOLOGIS ATAS LINGKUNGAN HIDUP

3.13 Pendekatan St. Fransiskus Asisi terhadap Alam

3.13.4 Harmoni antara Allah, Manusia dan Ciptaan

Pada abad pertengahan, terdapat sejumlah pendekatan terhadap kosmos.

Dalam ranah teologi, gagasan tentang kosmos masih bersifat antroposentris, di mana ciptaan lain dilihat sebagai tangga sampai kepada Allah. Hal ini antara lain juga ditemukan dalam pandangan pengikut St. Fransiskus, yakni St. Bonaventura.

Dalam refleksi St. Bonaventura, alam ciptaan lain merupakan tangga bagi manusia untuk mencapai Allah. Refleksi Bonaventura berangkat dari refleksi filosofis teologis, di mana masih dilihat adanya hirarki di antara ciptaan.

Sebagai seorang yang tidak terpelajar, Fransiskus tidak menyibukkan diri dengan kategori-kategori filosofis teologis dalam memandang ciptaan. Dengan

62V. L. Laba Ladjar, Fransiskus Assisi, Karya-karyanya, terjemahan disertai pengantar dan catatan dari Kajetan Esser, Die Opuscula des Hl. Franziskus von Assisi. Neue textkritische Edition, Collegio S. Bonaventura di Quarachi: Grotafferrata, Roma 1976, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 170-171.

intuisi mistiknya, Fransiskus mengalami dirinya sebagai bagian dari ciptaan.

Fransiskus merasa dirinya terpanggil untuk bersolider dengan ciptaan yang lain dan memandang mereka dengan penuh hormat sebagai saudara dan saudari.

Fransiskus tentu saja menghayati suatu spiritualitas, yang secara hakiki tidak terpisahkan dari teologinya. Teologi dan spiritualitas dalam diri Fransiskus merupakan suatu cara hidup. Penghargaan Fransiskus terhadap ciptaan lain terutama lahir dari interaksi Fransiskus dengan sabda Tuhan.

Inkarnasi Allah menjadi sumber solidaritas Fransiskus terhadap segala ciptaan, bahkan dengan ciptaan yang paling rendah seperti cacing. Fransiskus menaruh hormat yang besar terhadap cacing, karena ia membaca bahwa tentang Penyelamat telah dikatakan, “Aku ini cacing, dan bukan manusia (Mzm 21:7).”

Karena itu, Fransiskus memungut cacing-cacing di jalan dan meletakkannya di tempat yang aman, agar tidak diinjak kaki orang yang lewat. Fransiskus menemukan di dalam makhluk ciptaan yang lain keberadaan Allah. Perjumpaan dengan ciptaan lain merupakan pengalaman fundamental yang meninggalkan jejak tidak terhapuskan dalam hidup dan benak Fransiskus. Fransiskus menemukan bahwa kosmos yang membentuk satu tatanan yang teratur dan amat mengangumkan ini merefleksikan keindahan Allah, yang menjadikan segala sesuatu. Pandangan Fransiskus akan persaudaraan universal, dengan sebutan saudara dan saudari terhadap setiap entitas ciptaan, mengungkapkan suatu harmoni antara Allah, manusia, dan alam ciptaan. Fransiskus lebih mementingkan kesamaan segala ciptaan (creaturehood) daripada perbedaan antara manusia dan

binatang serta benda-benda mati. Seluruh realitas ciptaan adalah satu keluarga dalam Allah.

Bab IV

Moral Lingkungan Hidup

4.1 Pengantar

Masalah lingkungan hidup dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari manusia dan segala macam aktivitasnya. Kunci masalah dan penyelesaiannya terletak dalam diri manusia sebagai pribadi dan mahluk sosial. Persoalan lingkungan hidup tidak dapat dipecahkan dan diselesaikan jika penanganannya tidak dikembalikan kepada manusia. Oleh karena itulah perlu suatu perubahan pada manusia baik perilakunya maupun cara pandangnya terhadap lingkungan hidup.

Maka perlu perbaikan pada kesadaran manusia akan peran lingkungan hidup bagi segala macam bentuk kehidupan di bumi ini dan akan peran manusia di bumi ini.

4.2 Arti Moral

Kata moral berasal dari kata Latin mores yang berarti kebiasaan, adat atau norma baik/buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, akhlak dan budi pekerti atau susila. Kata yang cukup dekat artinya dengan moral adalah etika.

Etika berasal dari kata Yunani ethos yang juga berarti berarti adat kebiasaan.1

1Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika dijelaskan dengan tiga arti yakni: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2)

Dalam kaitan dengan kata moral, perlu dibedakan antara amoral dan immoral.2 Amoral berati tidak berhubungan dengan moral atau tidak ada sangkut pautnya dengan moral. Immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik atau tidak bermoral.

Suatu perbuatan dikatakan bermoral jika tindakan tersebut sesuai dengan adat atau kebiasaan baik atau norma moral yang berlaku dalam kelompok. Suatu tindakan moral didukung oleh rasio dan menuntut pertimbangan yang tidak berpihak pada kepentingan individu atau segelintir orang saja. Oleh Immanuel Kant suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan bermoral jika tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan dan demi kewajiban.3Dengan kata lain, tindakan tersebut bebas dari motivasi-motivasi lain.

4.3 Moral dan Agama

Dalam hidup sehari-hari tindakan orang seringkali diukur dengan ajaran agama. Di satu sisi orang berusaha agar segala tindakannya sesuai dengan ajaran agamanya dan di sisi lain ajaran agama menjadi patokan dan tuntunan orang dalam bertindak. Orang suka berkata, misalnya: “Kita harus melakukan tindakan ini karena sesuai dengan ajaran agama kita” atau sebaliknya “Jangan melakukan tindakan itu karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama kita”. Tidak dapat

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

2K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 2001, 7.

3Nilai moral suatu tindakan tidak tergantung pada akibat yang diharapkan dari tindakan tersebut dan juga nilai moral suatu tindakan tidak tergantung pada prinsip tindakan yang dibutuhkan suatu motivasi dari akibat tindakan tersebut. Hukum bagi Kant merupakan bagian dari tuntutan moral (imperative kategoris) yang menuntut manusia membentuk undang-undang yang adil. Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysic of Moral, translated and analysed by H. J. Paton, Harper &

Row Publisher, Harper Torchbooks, New York, 1964, 69. Lih. juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum, kanisisus, Yogyakarta, 1990, 65.

dipungkiri bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan moral. Setiap agama mengemukakan ajaran-ajaran moral, yang menjadi pegangan bagi para penganutnya. Ajaran moral tersebut menuntun dan menilai tindakan seseorang.

Ajaran moral agama dianggap penting karena ajaran moral tersebut diyakini berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak-Nya; contohnya: perintah Allah yang diturunkan kepada orang Israel lewat Musa (Kel 31:8).4

Bagi orang beriman, kehendak Tuhan adalah dasar dan tatanan moral.

Artinya segala kehendak Tuhan yang tertuang dalam ajarang-Nya menjadi dasar tindakan moral orang. Orang bisa saja luput dari hukum atau norma masyarakat, namun ia tidak bisa lolos dari hukum Tuhan. Dalam agama, moral diajarkan sebagai kehendak Tuhan (bdk. Mat 7: 21; 25:40; Luk 10:28). Perintah yang diberikan Allah adalah perintah moral karena mengarahkan manusia pada kebaikan. Dalam kaitan dengan lingkungan hidup, perintah Allah kepada manusia untuk memelihara dan mengolah alam ini (bdk. Kej 2:15) mengajarkan pentingnya sikap yang bermoral terhadap mahluk-mahluk ciptaan dan seluruh alam ini. Manusia bertanggung jawab atas seluruh bumi ini. Moralitas bukan hanya menyangkut manusia, tetapi seluruh ciptaan yang ada.5

4Berbeda dengan agama, filsafat memilih titik tolaknya dalam rasio dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya pada rasio atau akal sehat. Filsafat hanya menerima argumen-argumen atau alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua orang. Filsafat akan menghindari unsur non-rasional, yang tidak dapat ditangkap oleh akal sehat. Sedangkan iman justru tidak terbuka pada pemeriksaan rasional. Kebenaran iman tidak dibuktikan, melainkan diyakini atau dipercayai sebagai suatu kebenaran yang mutlak berasal dari Allah. Kebenaran tidak diterima karena dimengerti, melainkan karena terjamin oleh asal-usul ilahi atau Wahyu. K.

Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, 2001, 37.

5Mateus Mali, “Ekologi dan Moral”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 141.

4.4 Manusia sebagai Agen Moral

Bagi orang yang tidak beragama, moral juga merupakan hal yang penting.

Mereka bertindak baik bukan karena agama atau perintah Tuhan. Mereka bertindak demikian karena tuntutan masyarakat (aturan atau adat kebiasaan yang berlaku) atau karena dorongan kemanusiaan sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu, setiap orang dapat memberikan penilaian atas hal yang benar atau salah.6

4.4.1 Manusia sebagai Kesatuan

Gereja meyakini bahwa manusia itu jiwa dan raga merupakan satu kesatuan. Manusia bukanlah badan tanpa jiwa dan sebaliknya, manusia bukanlah jiwa tanpa badan. Dalam kondisi badaniahnya, manusia menghimpun dalam dirinya unsur-unsur dunia jasmani sehingga melalui unsur-unsur itu ia beraktivitas dan mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri tersebut membuat manusia mencapai taraf tertinggi dan melambungkan kemuliaan bagi Sang Pencipta.

Sementara itu, karena jiwa dalam dirinya bersifat rohani, ia tidak tertipu oleh khayalan yang menyesatkan, yang timbul dari kondisi fisik (bdk. GS 14).7 Manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya, melainkan menghormatinya dan menjaganya.

6Mateus Mali, Iman dalam Tindakan: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kristiani, Kanisius, Yogyakarta, 2009, 90-124.

7Paulus melihat secara lain dalam dalam pengertian yang sama. Berdasarkan 1Tes 5:23, Paulus melihat manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan Roh. Paulus mengatakan demikian “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” Baginya tubuh adalah hal-hal yang menyangkut fisik-material pada manusia; jiwa adalah segala sesuatu yang khas manusiawi seperti hati dan budi manusia; sedangkan roh adalah bidang iman dan kepercayaan, yang merupakan “tempat” pertemuan antara manusia dengan Allah. Maka roh sebenarnya bukan lagi kemampuan manusia. Allah sendirilah yang memberikan roh kepada manusia, yang

memampukan dia menyambut Allah karena panggilan Allah. KWI, Iman Katolik, Kanisius-Yogyakarta, Obor-Jakarta, 1996, 8-10.

Badan merupakan materi yang memberi bentuk pada manusia. Sedangkan jiwa merupakan daya yang mewujud dalam badan. Seluruh badan manusia bersifat manusiawi karena adanya jiwa dan jiwa memberi kemampuan kepada badan untuk bergerak dan bertindak sebagai manusia. Kesatuan jiwa dan badan ini memungkinkan manusia bertindak moral.

4.4.2 Manusia sebagai Pribadi

Manusia merupakan person (persona) yang bertindak dengan rasio dan otonominya.8 Rasio pada manusia mengarahkan tindakannya untuk mencapai sesuatu. Jika rasionya bebas dari maksim-maksim atau kecenderungan/motivasi (I.

Kant), maka tindakannya sesuai dengan norma-norma etis/moral yang ada dan demikian sebaliknya. Manusia adalah pribadi yang utuh. Unsur-unsur pembentuk dirinya saling berintegrasi sehingga tidak menimbulkan kekacauan (chaos).

Manusia merupakan individu yang unik, walaupun semua manusia mempunyai kesamaan yakni kesatuan jiwa dan raga. Kesatuan jiwa dan raga serta rasionya menjadikannya pribadi atau individu. Ia berbeda dengan yang lainnya dan bebas mengatur dirinya sendiri.

8Richard Norman, The Moral Philosophers: An Introduction to Ethics, Claarendon Press, Oxford, New York, 1983, 118. Otonomi berasal dari kata Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum. Otonomi adalah kemampuan untuk menaati hukum yang dibuatnya sendiri dan hukum itu bersifat universal. Dengan kata lain, bertindak berdasarkan hukum universal.

Otonomi manusia akan selalu mendorong manusia bebas bertindak dan selalu menghadirkan suatu hukum yang universal. Bdk. Immanuel Kant, Groundwork of The Metaphysics of Morals,

Translated and analysed by H. J. Paton, Harper & Row Publisher, Harper Torchbooks, New York, 1964, 34-44.

4.4.3 Manusia sebagai Mahluk Sosial

Menurut Aristoteles, manusia merupakan mahluk sosial. Ia tidak dapat hidup seorang diri. Ia selalu membutuhkan sesamanya. Ia merupakan mahluk yang hidup dalam polis bersama dengan orang lain. Ia selalu hidup dalam kebersamaan dengan yang lain dan selalu membutuhkan orang lain (bdk. GS 25).

Karena sifat sosial manusia, perkembangan pribadi manusia dan masyarakat saling tergantung. Maka, hidup dalam kebersamaan dengan yang lain (dalam masyarakat) sangat penting. Hidup dalam kebersamaan terwujud jika individu-individu saling menghormati dan menghargai dengan menaati aturan main yang ada. Oleh karena itu, dalam kebersamaan dengan yang lain, manusia diharapkan bertindak bijaksana.

Kesadaran manusia sebagai mahluk sosial mendorong dirinya untuk bertindak bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain dan mahluk ciptaan lainnya. Antara manusia dan ciptaan lainnya terjadi “hubungan intersubjektif”. Manusia dalam seluruh aktivitasnya selalu berelasi dengan sesamanya dan ciptaan lainnya. Manusia diharapkan menyadari bahwa ia tidak dapat hidup seorang diri. Ia membutuhkan orang lain dan ciptaan lain. Eksistensi manusia hanya berarti jika ia berada dalam kebersamaan dengan mahluk ciptaan lainnya. Selain itu, sebagai mahluk sosial, manusia seharusnya ikut memperhatikan kehidupan bersama di sekitarnya, baik dengan sesama maupun dengan alam. Manusia tidak hanya hidup dari dan untuk dirinya sendiri, karena manusia menjadi dirinya dengan hidup bersama dengan

orang lain dan ciptaan lainnya. Oleh karena itu pula, alam harus dipakai untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

4.4.4 Manusia sebagai Mahluk Religius

Manusia diciptakan Allah menurut gambar-Nya. Walaupun demikian, ia tidak sama dengan Allah. Ia menyadari bahwa di luar dirinya ada yang paling berkuasa, yang menciptakan segala sesuatu dan yang tidak dapat ia tangkap sepenuhnya. Manusia disebut sebagai mahluk religius bukan karena manusia itu kudus, tetapi karena ia berelasi dan mengambil bagian dalam karya Allah. Karena penebusan Kristus, manusia dianugerahi martabat sebagai anak-anak Allah (bdk.

Yoh 1:12; Gal 3:26; 1Yoh 3:1) dan menyapa Allah sebagai Bapa, suatu sapaan yang menunjukkan relasi yang intim.

4.4.5 Manusia yang Berpengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur khas manusiawi karena akal budi yang dimilikinya. Dengan akal budinya, manusia bisa mengetahui dan menjelaskan objek tertentu. Dengan akal budinya pula, manusia bisa mengarahkan kehendak dan tubuhnya pada hal yang ia inginkan. Berkat kemampuan akal budinya pula, manusia dapat melampaui keterbatasan fisiknya.

Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia (baik pengetahuan spekulatif maupun pengetahuan evaluatif) 9 mendasari tindakan manusiawi. Tindakan

9Pengetahuan spekulatif adalah pengetahuan ilmiah yang dipahami sebagai ilmu pengetahuan.

Sebagai ilmu pengetahuan, ia indepnden dan tidak tergantung pada subjek tertentu, yang menjadi kebenaran umum dan diterima semua orang. Sedangkan pengetahuan evaluatif adalah pengetahuan yang berhubungan dengan kualitas dari si subjek. Pengetahuan evaluatif tidak didasarkan pada

manusiawi didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya. Gerakan kehendak mendorong seseorang untuk bertindak dan dorongan itu didasarkan pada pengetahuan evaluatifnya. Tindakan disebut baik, bila tujuan dari tindakan itu baik, cara mencapai tujuan tindakan itu baik dan hasilnya pun baik.

4.5 Moral Lingkungan Hidup

Masalah lingkungan hidup menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengelola lingkungan hidup belum membudaya. Lingkungan hidup masih dianggap sebagai suatu “tempat” yang menyediakan segala kebutuhan manusia, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Manusia telah mengeruk kekayaan alam untuk berbagai macam kepentingan dengan tidak bijaksana. Akibatnya, kerusakan lingkungan hidup semakin parah. Berhadapan dengan situasi demikian, manusia harus berusaha keras agar kehidupan di bumi menjadi nyaman lagi, berbagai kebutuhan hidup manusia dan mahluk ciptaan lainnya dapat terpenuhi dan bencana-bencana dapat dicegah.

Masalah ekologi terkait dengan krisis moral. Kesadaran ekologis muncul sejak kerusakan lingkungan hidup disadari oleh masyarakat, yang menyadari adanya kesalahan sikap dasar manusia terhadap lingkungan hidup. Banyak orang yang berpandangan bahwa hanya manusialah yang mempunyai nilai intrinsik, sedangkan mahluk ciptaan lainnya hanya bernilai instrumental. Oleh karena itu lingkungan hidup dapat dieksploitasi oleh manusia.

fakta melainkan pada nilai yang melekat pada fakta. Oleh karena itu nilai muncul sebelum, saat atau setelah mengenal fakta.

Ada tiga pendekatan yang dipakai dalam berelasi dengan lingkungan hdiup, yakni: pendekatan anthroposentris, pendekatan biosentris dan pendekatan ekosentris.10 Pendekatan anthroposentris mendukung kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena alam itu berguna bagi manusia. Alam dilihat dari sudut kegunaannya bagi manusia. Manusia menjadi pusat perhatian dalam pembicaraan tentang lingkungan hidup. Titik berat pendekatan ini adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta. Lingkungan hidup hanya dinilai berharga bila memenuhi berbagai macam kepentingan manusia. Hubungan antara manusia dan mahluk ciptaan lainnya bersifat instrumental, hanya mengutamakan kepentingan manusia. Alam dihormati dan berharga hanya sejauh bermanfaat bagi manusia. Ciptaan lain dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia peduli terhadap alam, itu hanya dilakukan supaya alam tetap menyediakan dan menjamin kebutuhan manusia, bukan karena alam itu mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Pendekatan ini dinilai sebagai etika lingkungan hidup yang dangkal (shallow environmental ethics).11 Pendekatan ini memandang bahwa hanya manusialah yang layak

10Lihat lebih jauh dalan A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 47-121.

Juga dalam Maria Purwanto, “Bumiku Sakit”, Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan Perspektif Pastoral Sosial, Sekertariat Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD-KAJ dan Komisi PSE KWI, Jakarta, 2007, 81-83.

11Para peganut antroposentrisme memberikan argumen bahwa Allah memberikan kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia dalam Kej 1:26-28). Selain itu, karena manusia memakan buah tentang pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, maka manusia tidak lagi patuh secara otomatis kepada perintah dan kehendak Allah melainkan manusia dapat memutuskan sendiri mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang harus dihindari. Manusia terbuka matanya untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk secara moral. Selain itu, dalam rantai kehidupan/the great chain of being (oleh tradisi Aristotelian yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas), manusia menempati urutan teratas dari rantai ciptaan sehingga dianggap paling mendekati yang Kuasa dan dengan demikian menjadi superior atas yang lain. Di samping itu pula, manusa lebih tinggi dari ciptaan lain karena manusia merupakan mahluk bebas dan rasional (the free and rational being). A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 46-63.

dipertimbangkan secara moral. Manusia adalah subjek dan alam adalah objek.

Yang mendapat pertimbangan moral adalah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia.

Pendekatan biosentris melihat manusia sebagai anggota dari komunitas kehidupan.12Mahluk hidup tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga mencakup mahluk hidup lainnya. Manusia hanyalah merupakan salah satu bagian dari seluruh mahluk hidup yang ada di bumi ini. Pendekatan ini menegaskan bahwa semua unsur dalam alam ini mempunyai nilai bawaan (inherent value). Setiap mahluk hidup memiliki nilai pada dirinya sendiri, lepas dari kepentingan dan penilaian manusia. Nilai tersebut melekat pada diri masing-masing sejak mereka diciptakan dan hidup di bumi ini. Karena mahluk hidup mempunyai nilai masing-masing, maka setiap mahluk hidup mempunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan nilai yang melekat pada dirinya sendiri.

Pendekatan biosentris menekankan bahwa setiap mahluk mempunyai nilai dan berharga. Oleh karena itu, setiap mahluk hidup harus diperlakukan dengan baik. Segala bentuk kehidupan di bumi memiliki nilai, terlepas dari pertimbangan untung rugi bagi manusia.13

12Manusia termasuk anggota kesatuan ciptaan dan kehidupan di bumi sebagaimana mahluk ciptaan lainnya. Hal ini didasarkan pada: adanya kesamaan kebutuhan antara manusia dan mahluk hidup lainnya; setiap mahluk hidup memiliki kelebihannya masing-masing; setiap mahluk hidup memiliki kebebasan untuk melestarikan keberadaannya; semua mahluk hidup berasal dari Pencipta yang sama; manusia sangat tergantung pada biosfer, tetapi tidak sebaliknya. Selain itu, manusia dan mahluk hidup lainnya merupakan kesatuan ekosistem yang mempunyai korelasi satu dengan yang lainnya (interdependensi). Di samping itu pula, setiap mahluk hidup memiliki hidupnya masing-masing dan manusia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya dan demikian sebaliknya. Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics, Princenton Press University, New Jersey, 1986, 12.

13Biosentris didasarkan pada empat keyakinan, yakni: pertama, bahwa manusia adalah anggota dari kesatuan ciptaan dan komunitas kehidupan di bumi yang berada dalam arti dan kerangka yang sama dengan mahluk ciptaan lainnya sebagai anggota komunitas ciptaan yang hidup; kedua,

Pendekatan ekosentris melihat segala sesuatu yang ada di bumi sebagai keseluruhan. Secara ekologis, mahluk hidup dan ciptaan abiotis saling terkait.

Oleh karena itu, yang bernilai tidak hanya manusia dan mahluk hidup lainnya, melainkan semua realitas ekologis.14 Manusia tidak dapat dipisahkan atau memisahkan diri dari ciptaan lainnya. Oleh karena itu, manusia hendaknya memperhatikan dan memperlakukan lingkungan hidup dengan baik karena manusia hanyalah bagian dari seluruh ekosistem.

Tidak ada ciptaan yang tidak dikenal oleh Allah. Manusia maupun ciptaan lainnya adalah ciptaan Allah yang mempunyai nilai karena keberadaannya dikehendaki oleh Allah. Karena setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik (intrinsic value), ia harus dihormati oleh manusia. Alam atau lingkungan hidup tidak boleh diperlakukan sesuka manusia, karena lingkungan hidup mempunyai nilai luhur.

Etika ekologis mengajak manusia untuk melihat kembali konsep moralitas yang selama ini dianut. Moralitas tidak hanya diarahkan kepada sesama manusia melainkan juga kepada subjek yang berada di luar dirinya dengan tetap memperhatikan nilai intrinsik masing-masing.15 Moralitas tidak hanya mencari apa yang baik bagi manusia melainkan juga apa yang baik untuk ciptaan lainnya.

Maka, sikap yang perlu dibangun adalah sikap menghargai dan menghormati.

bahwa spesies manusia bersama dengan semua spesies yang lain adalah bagian dari sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari mahluk hidup dan

peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan

peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan