• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MORAL LINGKUNGAN HIDUP

4.4 Manusia sebagai Agen Moral

Bagi orang yang tidak beragama, moral juga merupakan hal yang penting.

Mereka bertindak baik bukan karena agama atau perintah Tuhan. Mereka bertindak demikian karena tuntutan masyarakat (aturan atau adat kebiasaan yang berlaku) atau karena dorongan kemanusiaan sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu, setiap orang dapat memberikan penilaian atas hal yang benar atau salah.6

4.4.1 Manusia sebagai Kesatuan

Gereja meyakini bahwa manusia itu jiwa dan raga merupakan satu kesatuan. Manusia bukanlah badan tanpa jiwa dan sebaliknya, manusia bukanlah jiwa tanpa badan. Dalam kondisi badaniahnya, manusia menghimpun dalam dirinya unsur-unsur dunia jasmani sehingga melalui unsur-unsur itu ia beraktivitas dan mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri tersebut membuat manusia mencapai taraf tertinggi dan melambungkan kemuliaan bagi Sang Pencipta.

Sementara itu, karena jiwa dalam dirinya bersifat rohani, ia tidak tertipu oleh khayalan yang menyesatkan, yang timbul dari kondisi fisik (bdk. GS 14).7 Manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya, melainkan menghormatinya dan menjaganya.

6Mateus Mali, Iman dalam Tindakan: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kristiani, Kanisius, Yogyakarta, 2009, 90-124.

7Paulus melihat secara lain dalam dalam pengertian yang sama. Berdasarkan 1Tes 5:23, Paulus melihat manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan Roh. Paulus mengatakan demikian “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” Baginya tubuh adalah hal-hal yang menyangkut fisik-material pada manusia; jiwa adalah segala sesuatu yang khas manusiawi seperti hati dan budi manusia; sedangkan roh adalah bidang iman dan kepercayaan, yang merupakan “tempat” pertemuan antara manusia dengan Allah. Maka roh sebenarnya bukan lagi kemampuan manusia. Allah sendirilah yang memberikan roh kepada manusia, yang

memampukan dia menyambut Allah karena panggilan Allah. KWI, Iman Katolik, Kanisius-Yogyakarta, Obor-Jakarta, 1996, 8-10.

Badan merupakan materi yang memberi bentuk pada manusia. Sedangkan jiwa merupakan daya yang mewujud dalam badan. Seluruh badan manusia bersifat manusiawi karena adanya jiwa dan jiwa memberi kemampuan kepada badan untuk bergerak dan bertindak sebagai manusia. Kesatuan jiwa dan badan ini memungkinkan manusia bertindak moral.

4.4.2 Manusia sebagai Pribadi

Manusia merupakan person (persona) yang bertindak dengan rasio dan otonominya.8 Rasio pada manusia mengarahkan tindakannya untuk mencapai sesuatu. Jika rasionya bebas dari maksim-maksim atau kecenderungan/motivasi (I.

Kant), maka tindakannya sesuai dengan norma-norma etis/moral yang ada dan demikian sebaliknya. Manusia adalah pribadi yang utuh. Unsur-unsur pembentuk dirinya saling berintegrasi sehingga tidak menimbulkan kekacauan (chaos).

Manusia merupakan individu yang unik, walaupun semua manusia mempunyai kesamaan yakni kesatuan jiwa dan raga. Kesatuan jiwa dan raga serta rasionya menjadikannya pribadi atau individu. Ia berbeda dengan yang lainnya dan bebas mengatur dirinya sendiri.

8Richard Norman, The Moral Philosophers: An Introduction to Ethics, Claarendon Press, Oxford, New York, 1983, 118. Otonomi berasal dari kata Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum. Otonomi adalah kemampuan untuk menaati hukum yang dibuatnya sendiri dan hukum itu bersifat universal. Dengan kata lain, bertindak berdasarkan hukum universal.

Otonomi manusia akan selalu mendorong manusia bebas bertindak dan selalu menghadirkan suatu hukum yang universal. Bdk. Immanuel Kant, Groundwork of The Metaphysics of Morals,

Translated and analysed by H. J. Paton, Harper & Row Publisher, Harper Torchbooks, New York, 1964, 34-44.

4.4.3 Manusia sebagai Mahluk Sosial

Menurut Aristoteles, manusia merupakan mahluk sosial. Ia tidak dapat hidup seorang diri. Ia selalu membutuhkan sesamanya. Ia merupakan mahluk yang hidup dalam polis bersama dengan orang lain. Ia selalu hidup dalam kebersamaan dengan yang lain dan selalu membutuhkan orang lain (bdk. GS 25).

Karena sifat sosial manusia, perkembangan pribadi manusia dan masyarakat saling tergantung. Maka, hidup dalam kebersamaan dengan yang lain (dalam masyarakat) sangat penting. Hidup dalam kebersamaan terwujud jika individu-individu saling menghormati dan menghargai dengan menaati aturan main yang ada. Oleh karena itu, dalam kebersamaan dengan yang lain, manusia diharapkan bertindak bijaksana.

Kesadaran manusia sebagai mahluk sosial mendorong dirinya untuk bertindak bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain dan mahluk ciptaan lainnya. Antara manusia dan ciptaan lainnya terjadi “hubungan intersubjektif”. Manusia dalam seluruh aktivitasnya selalu berelasi dengan sesamanya dan ciptaan lainnya. Manusia diharapkan menyadari bahwa ia tidak dapat hidup seorang diri. Ia membutuhkan orang lain dan ciptaan lain. Eksistensi manusia hanya berarti jika ia berada dalam kebersamaan dengan mahluk ciptaan lainnya. Selain itu, sebagai mahluk sosial, manusia seharusnya ikut memperhatikan kehidupan bersama di sekitarnya, baik dengan sesama maupun dengan alam. Manusia tidak hanya hidup dari dan untuk dirinya sendiri, karena manusia menjadi dirinya dengan hidup bersama dengan

orang lain dan ciptaan lainnya. Oleh karena itu pula, alam harus dipakai untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

4.4.4 Manusia sebagai Mahluk Religius

Manusia diciptakan Allah menurut gambar-Nya. Walaupun demikian, ia tidak sama dengan Allah. Ia menyadari bahwa di luar dirinya ada yang paling berkuasa, yang menciptakan segala sesuatu dan yang tidak dapat ia tangkap sepenuhnya. Manusia disebut sebagai mahluk religius bukan karena manusia itu kudus, tetapi karena ia berelasi dan mengambil bagian dalam karya Allah. Karena penebusan Kristus, manusia dianugerahi martabat sebagai anak-anak Allah (bdk.

Yoh 1:12; Gal 3:26; 1Yoh 3:1) dan menyapa Allah sebagai Bapa, suatu sapaan yang menunjukkan relasi yang intim.

4.4.5 Manusia yang Berpengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur khas manusiawi karena akal budi yang dimilikinya. Dengan akal budinya, manusia bisa mengetahui dan menjelaskan objek tertentu. Dengan akal budinya pula, manusia bisa mengarahkan kehendak dan tubuhnya pada hal yang ia inginkan. Berkat kemampuan akal budinya pula, manusia dapat melampaui keterbatasan fisiknya.

Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia (baik pengetahuan spekulatif maupun pengetahuan evaluatif) 9 mendasari tindakan manusiawi. Tindakan

9Pengetahuan spekulatif adalah pengetahuan ilmiah yang dipahami sebagai ilmu pengetahuan.

Sebagai ilmu pengetahuan, ia indepnden dan tidak tergantung pada subjek tertentu, yang menjadi kebenaran umum dan diterima semua orang. Sedangkan pengetahuan evaluatif adalah pengetahuan yang berhubungan dengan kualitas dari si subjek. Pengetahuan evaluatif tidak didasarkan pada

manusiawi didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya. Gerakan kehendak mendorong seseorang untuk bertindak dan dorongan itu didasarkan pada pengetahuan evaluatifnya. Tindakan disebut baik, bila tujuan dari tindakan itu baik, cara mencapai tujuan tindakan itu baik dan hasilnya pun baik.