• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III REFLEKSI TEOLOGIS ATAS LINGKUNGAN HIDUP

3.4 Manusia sebagai Citra Allah

Menurut kisah Yahwista, manusia (Ibrani: adam) diciptakan dari debu tanah (Ibrani: adamah). Hal itu menunjukkan bahwa tubuh manusia berasal dari materi. Namun tubuh yang berasal dari materi itu menjadi mahluk yang hidup berkat nafas ilahi Allah. Berbeda dari binatang, manusia berakal budi, berkehendak, bebas, berkuasa atas alam ciptaan, dan terutama dalam sanggup

8Status manusia di hadapan Allah dirumuskan sebagai citra Allah yang menyerupai Allah namun tidak identik dengan Allah. Guido Tisera, “Perempuan di Tengah Dunia Lelaki”, Info Gender, Edisi 43 Tahun XII, Januari – Maret 2007,2.

9Amatus Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 23.

berdialog dengan Allah, sang pencipta. Berkat sifat-sifat ini manusia adalah pribadi yang serupa dengan Allah (bdk. Mzm 8, sir 17:2-8, Ye 28:12b-15.10

Konsep tentang manusia sebagai citra Allah dapat keliru dipahami bila konsep tersebut digunakan untuk menempatkan manusia di atas ciptaan-ciptaan yang lain, seolah-olah manusia mempunyai hak-hak absolut atas ciptaan yang lain. Teologi ekologi meletakkan manusia sebagai salah satu dari ciptaan. Istilah citra Allah sebenarnya dapat menunjuk pada seluruh ciptaan.11Gagasan mengenai manusia sebagai citra Allah menunjuk pada keistimewaan manusia yang nampak dalam partisipasi manusia pada kuasa Allah untuk bertanggung jawab atas bumi ini. Oleh karena itu, kuasa itu (Kej 1:28) harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan Allah sehingga tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus dipandang sebagai citra Allah atau ikon Allah. Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah citra Allah (2Kor 4:4) dan yang lain mengambil bagian dalam Kristus (Rom 8:29; 1Kor 15:49; 2 Kor 3:18).12 Himne yang ditujukan pada Kristus dalam surat kepada jemaat di Kolose menyatakan bahwa Kristus adalah citra dari Allah yang tidak kelihatan (1:15).13 Kristus adalah ikon Allah yang sesungguhnya, dan di dalam Dia segala sesuatu telah dijadikan dan di dalam Dia segala sesuatu telah ditebus. Kehadiran Kristus

10Stefan Leks, Kejadian, Arnoldus, Ende, 1977, 26.

11Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith:the Change of Heart that Leads to a New Way of Living on Earth, Orbis Books, Maryknoll, New York, 2006,14.

12Rom 8:29 Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. 1Kor 15:49 Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang sorgawi. 2Kor 3:18 Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.

131:15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.

merupakan yang sulung dari segala sesuatu dalam penciptaan, sebab Dia telah ada sebelum segala sesuatu dijadikan (lih. Yoh 1:2). Gelar “citra Allah” menunjuk pada Kristus sebagai gambar Allah yang sesungguhnya. Dalam Dia seluruh ciptaan mendapatkan keselamatan dan kehidupan baru.14Itu berarti keselamatan yang dibawa oleh Kristus adalah keselamatan bagi seluruh ciptaan. Dalam Dia, rekonsiliasi segala sesuatu telah dimulai.

Mengapa manusia disebut sebagai citra Allah? Ada yang mengaitkan gagasan citra Allah dengan kekhasan manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk lain yakni akal budi, kehendak bebas dan kesadaran diri (self consciousness).15 Kekhasan itu menjadikan manusia lebih berkualitas daripada mahluk hidup lain.

Jika demikian, lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami gangguan psikologis dan orang yang tidak sadar sehingga tidak dapat menggunakan akal budinya? Apakah mereka boleh disamakan dengan mahluk non-human? Kekhasan manusia sebaiknya dikaitkan dengan tanggung jawab yang diberikan Allah kepadanya. Manusia diharapkan menjalin relasi yang baik dengan ciptaan lain.

Teologi penciptaan memahami bahwa ketika Allah berhubungan dengan Nya Ia memperhatikan keunikan, integritas dan otonomi segenap

ciptaan-14Gambaran tentang Kristus sebagai gambar Allah yang sesungguhnya juga dipakai untuk menggambarkan manusia sebagai gambar Allah yang menempatkan manausia sebagai ciptaan yang unik atau khusus dibandingkan dengan ciptaan lainnya di hadapan Allah. Beberapa teolog pada Gereja awal seperti Irenius, memisahkan antara “image” dan “likeness”. Ia menggunakan

“image” untuk menunjuk pada manusia yang diciptakan oleh Allah dan “likeness” untuk menunjuk manusia yang mengambil bagian dalam Kristus karena rahmat. Athanasius juga mengatakan bahwa Kristus adalah “image” yang sesungguhnya dan yang lain karena rahmat mengambil bagian dalam Kristus. Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith: the Change of Heart that Leads to a New Way of Living on Earth, Orbis Books, Maryknoll, New York, 2006, 15.

15Menurut Karl Rahner, manusia sebagai ciptaan Allah mampu sampai pada kesadaran diri yang memungkinkannya memberikan tanggapan tehadap penciptanya di dalam kebebasan dan cinta.

Nya.16Sebagai citra Allah, manusia dituntut untuk mencintai ciptaan lain dengan menghargai keunikan, integritas dan otonominya. Masuk ke dalam relasi dengan Allah yang hidup berarti masuk ke dalam dunia yang di didalamnya Allah hadir bagi segenap ciptaan dengan penuh cinta. Semua orang memiliki kemungkinan untuk menanggapi penganugerahan diri Allah. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat menghormati atau mengeksploitasi ciptaan lainnya untuk mendapatkan berkat atau kutuk.

Pada tahun1967, Lynn White menuduh kekristenan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan ekologis. Menurut White, etika Kristen terlalu menekankan superioritas manusia atas alam sehingga manusia bertindak destruktif terhadap alam.17 Memang ada orang Kristen yang tidak respek terhadap alam.

Namun, kerusakan alam tidak semata-mata karena ulah orang Kristen. Kerusakan alam terutama disebabkan oleh pandangan yang melihat alam sebagai “alat”

pemenuhan kebutuhan manusia, kapitalisme, revolusi industri dan ketamakan/keinginan manusia yang tidak terkontrol.

Manusia maupun ciptaan lainnya menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah di bumi. Mereka menghadirkan Allah dalam keunikan dan kekhasan mereka masing-masing. Kekhasan atau kekhususan manusia adalah bahwa ia dipangil untuk membangun relasi yang baik dan harmonis dengan ciptaan lain (Kej 1 dan 2). Sebagai bagian dari ciptaan, manusia memuji Allah untuk kepentingan seluruh ciptaan. Panggilan manusia adalah mencintai dunia ini sebagaimana Allah

16Denis Edwards, Ecology a the Heart of Faith: the Change of Heart that Leads to a New Way of Living on Earth, Orbis Books, Maryknoll, New York, 2006, 16.

17Lih. John B. Cobbs, Is It Too Late?: A Theology of Ecology, Environmental Ethics Books, Denton, Texas, 1995, 21-24.

mencintai dunia ini dan bergembira dalam keanekaragaman ciptaan di bumi sebagaimana Allah juga bergembira di dalam mereka.18

3.5 Manusia Sepadan dengan Ciptaan yang Lain

Pada bagian awal telah diuraikan secara singkat bahwa segala yang ada di bumi ini (bumi dan langit serta segala isinya) merupakan ciptaan Allah. Semua ciptaan tersebut mempunyai relasi satu sama lain. Gagasan mengenai Allah pencipta memberi pesan tentang hubungan antara Allah dan manusia serta ciptaan lainnya. Kitab Kejadian, seperti telah disinggung di muka, memberikan pesan penting tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap ciptaan Allah lainnya.

Kej 1:31 menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dan Allah melihat bahwa apa yang telah Ia ciptakan baik adanya. Lebih lanjut (Kej 2:15) Allah memberikan tugas kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara apa yang sudah diberikan-Nya. Semua ini menunjukkan suatu visi tentang realitas yang teosentris bukan antroposentris.

Relasi antara manusia dan ciptaan yang lain adalah sepadan, tidak saling mendominasi. Dengan kata lain, manusia tidak superior atas ciptaan yang lain.

Manusia bukanlah penguasa atas ciptaan lainnya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat dengan seenaknya mengeksplotasi bumi ini untuk kepentingannya semata, walaupun menurut Kej 1:28 Allah memberikan perintah untuk menaklukkan bumi dan menguasainya. Perintah tersebut bukanlah suatu perintah dominasi, melainkan

18Denis Edwards, Ecology at the Heart of Faith: the Change of Heart that Leads to a New Way of Living on Earth, Orbis Books, Maryknoll, New York, 2006,17.

suatu “delegasi tanggung jawab” kepada manusia untuk mengolah dan memelihara bumi ini.

Kesepadanan manusia dengan ciptaan lainnya tidak berarti kesamaan kemampuan manusia dengan ciptaan lainnya, karena manusia mempunyai akal budi, kehendak dan kebebasan. Manusia dan ciptaan lainnya sepadan karena mereka sama-sama ciptaan Allah. Kesepadanan antara manusia dan ciptaan lainnya tidak membenarkan antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari segala ciptaan yang ada.19

3.5.1 Manusia Bagian dari Alam

Manusia menemukan dirinya sebagai bagian dari alam. Hal itu ditandai dengan ketidakmampuan manusia untuk mengetahui secara persis gejala alam dan ketidakmampuan manusia untuk mengatasi kekuatan alam, misalnya bencana gempa bumi, letusan gunung api, badai dan angin topan.20

Ada dua macam pandangan tentang relasi antara manusia dan ciptaan lainnya, yakni eksklusionis dan inklusionis. Paham eksklusionis memandang manusia sebagai bagian yang terpisah dari alam. Sedangkan paham inklusionis

19Antroposentrisme adalah paham yang memandang manusia sebagai pusat dari segala ciptaan.

Manusia dan kepentingannya dianggap sebagai hal yang paling menentukan dalam kebersamaan dengan ciptaan lainnya. Nilai yang tertinggi adalah manusia dan segala kebutuhan dan

kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai sehingga ia dapat menentukan nilai bagi yang lainnya. Dengan kata lain, segala ciptaan yang lainnya hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang kebutuhan dan kepentingan manusia. Oleh karenanya alam dipandang sebagai objek dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Ciptaan lainnya atau alam menjadi alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Ben A. Minteer, “Anthropocentrism”, dalam J. Baird Callicott and Robert Frodeman, Editors in Chief, Encyclopedia Of Environmental Ethics And Philosophy, Gale Cengage Learning, Macmillan, 2009, 58.

20John B. Cobbs, Is It Too Late?: A Theology of Ecology, Environmental Ethics Books, Denton, Texas, 1995, 49-53.

memandang manusia sebagai bagian dari alam. Pandangan inklusionis melihat kebenaran faktual bahwa manusia berevolusi dari dan bersama dengan non-human. Perbedaan antara manusia dan mahluk ciptaan lainnya menunjukkan adanya evolusi dalam kurun waktu yang sangat lama. Pandangan eksklusionis tidak mempertimbangkan evolusi meskipun bukti-bukti evolusi telah ada.

Pandangan eksklusionis hanya melihat aspek-aspek tertentu dari manusia yakni awal mula (asal) manusia, kesadaran dan kemampuan berbicara. Pandangan eksklusionis yakin bahwa semua itu ada hanya dalam diri manusia dan menjadi ciri khas manusia.

Pandangan inklusionis tidak hanya memusatkan perhatian pada manusia, tetapi juga pada keseluruhan hidup di bumi. Dasarnya adalah cinta. Cinta tersebut bukanlah cinta yang didasarkan pada unsur erotis. Cinta tersebut tidak untuk terikat dengan objeknya dan tidak untuk memilikinya agar manusia dan ciptaan lainnya dapat bertumbuh dan berkembang dengan bebas. Karena jika tidak demikian, maka manusia akan selalu mengobjekkan ciptaan lainnya dan memiliki (=menguasai) mereka. Cinta yang diidealkan adalah cinta yang saling memberi dan melindungi atau saling memperhatikan. Saya mencintai yang lain karena yang lain sama seperti diri saya sendiri. Sesamaku adalah sama seperti diriku saya sendiri (bdk. Mat 22:39: Mrk 12:30; Luk 10:7; Yoh 15:13-17; Gal 5:14).

Baik manusia maupun binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ciptaan non-human lainnya sama-sama diciptakan oleh Allah. Semuanya itu merupakan ciptaan dan semua itu merupakan bagian dari alam. Yang berbeda adalah pencipta (Allah). Manusia dan binatang hanya berbeda dalam bentuk fisik, perilaku, habitat

dan cara hidup, tetapi sama-sama bagian dari alam dan ciptaan. Manusia mempunyai kesamaan dengan ciptaan lainnya yakni sama-sama sebagai ciptaan.

Fungsi dan peran atau cara hidup dan perilaku mereka saling melengkapi satu sama lain.

3.5.2 Tidak Saling Mengatasi dan Bukan Instrumen

Telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa manusia merupakan bagian dari alam, tidak dapat memisahkan diri dari ciptaan lainnya. Manusia sepadan dengan ciptaan lainnya, bukan pusat semua ciptaan. Manusia tidak mengatasi ciptaan lainnya. Dengan kata lain, tidak ada subordinasi di antara ciptaan.

Jika tumbuh-tumbuhan dan hewan berada di bawah (sub) manusia, maka mereka boleh menjadi objek dari perilaku dan tindakan manusia. Dengan demikian, manusia dapat memperlakukan mereka seenaknya sesuai dengan keinginan mereka. Mereka menjadi pelayan bagi manusia. Padahal, di mata Tuhan tidak ada yang menjadi penguasa atas yang lain dan tidak ada yang menjadi pusat untuk semuanya. Allah menciptakan masing dengan kekhasan masing-masing. Yang berbeda adalah bahwa manusia diberi kepercayaan untuk mengusahakan dan mengolah serta memelihara bumi ini (bdk. Kej 2:15).

3.5.3 Nilai Inheren Ciptaan

Pemberian perintah kepada manusia (Kej 1:31 dan Kej 2:15) merupakan penyerahan tanggung jawab kepada manusia untuk mengatur, memelihara dan

mengusahakan bumi ini agar segala ciptaan yang ada berlangsung dengan baik.

Manusia diharap mengolah dengan menyadari bahwa bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri, yang harus dihormati oleh manusia. Nilai itu tidak berasal dari pemberian manusia, seperti sebuah barang yang diberi nilai atau harga karena kegunaan atau mutu barang tersebut. Nilai tersebut sudah melekat pada diri alam (ciptaan non-human) sejak Allah menciptakannya.

Oleh karena itu, manusia tidak dapat dengan sesukanya memperlakukan mereka layaknya suatu barang yang telah dibeli. Manusia hendaknya menghargai nilai bawaan (inheren value) yang melekat pada diri setiap ciptaan,21sebab nilai inheren tersebut bukanlah pemberian manusia. Manusia hendaknya memperlakukan ciptaan lain tidak sebagai objek. Ciptaan lainnya hendaknya diperlakukan sebagai subjek. Ciptaan lain bukanlah sarana atau alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia. Ciptaan non-human tidak hanya mempunyai nilai instrumental (instrumental value), tetapi juga nilai intrinsic, yang melekat pada dirinya sejak awal mula. Oleh karena itu mereka hendaknya dihargai dan dihormati sebagai subjek.

Manusia seringkali memandang ciptaan lain dari sudut pandangnya.

Dengan kata lain manusia memandang dirinya sebagai pusat dari seluruh ciptaan.

Ciptaan lainnya hanya dinilai dari kegunaannya bagi manusia, baik secara pribadi maupun kolektif.22 Cara pandang yang demikian (antroposentris) memandang

21Mateus Mali, “Ekologi dan Moral”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 143.

22Misalnya: Kerbau (tedong) adalah salah satu hewan kurban di Tana Toraja dalam suatu upacara adat khusunya upacara kematian. Juga terdapat hewan kurban lainnya, tetapi tedong menempati tempat yang paling tinggi. Tedong menjadi hewan yang sangat bernilai tinggi karena fungsinya sebagai hewan kurban dalam pesta kematian (rambu solo’). Oleh karena itu, perlakuan manusia

alam atau ciptaan lain sebagai instrumen bagi manusia. Mereka harus memberikan yang terbaik bagi manusia. Mereka dieksploitasi sebesar-besarnya untuk memenuhi keinginan manusia. Cara pandang dan sikap yang demikian menghasilkan tindakan yang semena-mena dan eksploitatif terhadap alam.

Oleh karena itu, teologi ekologi mengajak orang beriman merefleksikan kembali perilaku hidupnya dalam berhadapan dengan alam, hidup secara ekologis.

Pemikiran yang antroposentris harus diubah menjadi ekologis. Semua ciptaan mempunyai martabat dan menuntut manusia untuk menghormatinya. Pemikiran demikian mendorong manusia untuk selalu melihat dirinya sebagai bagian dari alam dan menghindarkan godaan untuk memperlakukan alam semesta sebagai sumber kekayaan untuk manusia. Alam adalah pusat bagi dirinya sendiri dan manusia hanyalah salah satu bagian dari alam.

3.6 Perintah Menguasai Bumi

Dalam Kej 1:26-28, Allah menjadikan manusia dan memberikan perintah kepada mereka:

26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." 27

“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.

terhadap tedong di Toraja akan berbeda dibandingkan dengan perlakuan terhadap hewan lainnya.

Tedong akan selalu disiapkan makanannya, minumnya dan mempunyai tempat khusus (kandang) serta akan selalu dibawa ke tempat rumput yang hijau dan bahkan akan selalu ditunggui oleh penggembalanya (pangkambi’). Bahkan untuk beberapa jenis tedong spesial untuk pesta rambu solo’ (seperti saleko, bonga, pu’du’, dll./kerbau belang), akan diperlakukan lebih khusus lagi.

Tedong spesial akan tinggal dalam semacam kelambu dan akan selalu bersih(kadang-kadang tedong tersebut lebih sering mandi daripada pangkambi’nya).

Perintah Allah itu tidak memberi kepada manusia hak untuk melakukan apa saja atas ciptaan di bumi ini.23Teks ini tidak melegitimasi perlakuan yang semena-mena terhadap kekayaan alam dengan mengeksploitasinya. Oleh karena itu teks tersebut tidak dapat dijadikan dasar atau pembenaran atas berbagai upaya eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab.24

Kata “berkuasa” hendaknya dimengerti berdasarkan konteks penulisan.

Kata “berkuasa” harus dikaitkan dengan konsep berkat yang diberikan Allah kepada manusia (Kej 1:28) dan dengan pembagian yang diberikan Allah kepada manusia dan binatang (Kej 1:29-30). Yang menjadi makanan manusia adalah segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala pohon yang buahnya berbiji.

Sedangkan yang menjadi makanan binatang adalah segala tumbuh-tumbuhan hijau. Tidak ada saling membunuh atau saling memakan dan dimakan.25 Perlu juga dipahami bahwa kisah penciptaan dalam Kej 1 menggambarkan bumi yang ditata secara teratur dan harmonis. Dengan memperhatikan konteks tersebut kita dapat memahami bahwa perintah Allah itu tidak melegitimasi tindakan yang menguasai mahluk ciptaan lainnya. Perintah itu lebih tepat diartikan sebagai tugas dari Allah untuk memelihara dan mengusahakan atau mengelola bumi ini. Hal tersebut sesuai dengan gambaran tentang raja di Timur Tengah kuno yang bertugas mengatur dan mengupayakan agar rakyat yang dipimpinnya hidup dalam

23Stefan Leks, Kejadian, Arnoldus, Ende, 1977, 28-29.

24M. Harun, “Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah”, Alkitab Ibrani dan Dampaknya untuk Lingkungan Hidup, STF Driyarkara, Jakarta, 1998, dalam Adrianus Sunarko,”Perhatian pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 33-38.

25Nanti setelah manusia jatuh ke dalam dosa dan karenanya Allah memusnahkan seluruh ciptaan-Nya kecuali Nuh beserta keluarganya dan mahluk yang ditetapkan dan yang diperintahkan kepada Nuh untuk dibawa serta ke dalam bahtera, barulah terjadi konflik antara manusia dan hewan. Allah menyerahkan segala mahluk untuk menjadi makanan manusia (Kej 9:2-3). Jadi toleransi untuk memakan hewan baru ada setalah air bah surut dan mulailah kehidupan baru di permukaan bumi.

keadaan damai dan sejahtera (bdk. Yes 11:6-9), ibarat seorang gembala yang selalu mengantar ternaknya ke padang yang berumput dan ke dekat sumber air serta menjaga segala ternaknya di padang baik pada siang hari maupun malam hari agar ternaknya aman dari ancaman atau serangan binatang buas.

Demikian pula kata “taklukkanlah” harus diartikan dalam konteks Kej 1.

Kata tersebut tidak boleh diartikan secara negatif (bdk. Zak 9:15),26melainkan secara positif. Jika dipahamai atau dimengerti demikian, maka perintah Allah untuk menaklukkan bumi (Kej 1) tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan eksploitasi atas alam. Manusia dalam konteks Kej 1 hendaknya dilihat sebagai wakil Allah di bumi ini yang bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan dan pengelolaan segala hal yang ada di bumi. Kepada manusia Allah memberikan (=mempercayakan) segalanya untuk dipelihara dan dikelola atau diusahakan, untuk kepentingan bersama seluruh mahluk di bumi. Tanggung jawab dan tugas tersebut harus dilaksanakan dengan semangat dan penuh tanggung jawab terhadap Allah yang telah mengaruniakan semuanya. Allah menyerahkan segalanya kepada manusia dalam keadaan baik. Maka segala kerusakan/krisis atau kekacauan yang terjadi di bumi merupakan tanggung jawab manusia, sebagai pengelola dan penerima tanggung jawab atas bumi ini.

Menurut Jürgen Moltmann pandangan di atas masih bersifat antroposentris. Dalam pandangan itu, manusia masih ditempatkan di atas ciptaan yang lain, manusia masih menjadi pusat ciptaan dan bumi dilihat sebagai milik

26TUHAN semesta alam akan melindungi mereka, dan mereka akan menghabisi dan menginjak-injak pengumban-pengumban. Mereka akan minum darah seperti minum anggur dan menjadi penuh seperti bokor penyiraman, seperti penjuru-penjuru mezbah.

manusia. Moltman menegaskan bahwa pusat ciptaan bukan manusia, melainkan Allah atas segala karya ciptaan-Nya yang sungguh baik (Kej 1:31).27

Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia sebagai ciptaan Allah. Manusia tidak boleh dipandang sebagai yang utama dari yang lain. Ciptaan adalah sesuatu yang fana dan bukan ilahi. Oleh karena itu ia tidak boleh disembah (“didewakan”). Ciptaan juga bukan sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri, sehingga ia tidak perlu ditakuti. Ciptaan yang ada tidak dapat diobjekkan karena manusia adalah juga ciptaan Allah. Iman kristiani mengakui bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Manusia adalah bagian dari ciptaan dan karenanya tidak dapat ditempatkan menjadi yang utama dari seluruh ciptaan yang ada.

Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia sebagai ciptaan Allah. Manusia tidak boleh dipandang sebagai yang utama dari yang lain. Ciptaan adalah sesuatu yang fana dan bukan ilahi. Oleh karena itu ia tidak boleh disembah (“didewakan”). Ciptaan juga bukan sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri, sehingga ia tidak perlu ditakuti. Ciptaan yang ada tidak dapat diobjekkan karena manusia adalah juga ciptaan Allah. Iman kristiani mengakui bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Manusia adalah bagian dari ciptaan dan karenanya tidak dapat ditempatkan menjadi yang utama dari seluruh ciptaan yang ada.