• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V MENANGGAPI MASALAH LINGKUNGAN HIDUP

5.2 Kembali ke Alam

Pada Bab sebelumnya, kita telah melihat moral lingkungan hidup dengan pendekatan biosentris dan ekosentris. Sebenarnya pendekatan biosentris dan ekosentris sudah dipraktekkan oleh masyarakat-masyarakat adat dan masyarakat tradisional di berbagai tempat. Cara pandang terhadap manusia sebagai bagian

dari ekosistem dan perilaku hormat terhadap semua kehidupan juga sudah menjadi cara pandang dan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia. Biosentrisme dan ekosentrisme mendorong kita untuk meninggalkan cara pandang yang antroposentris. Kita perlu kembali ke kearifan budaya lokal yang mempunyai relasi yang sangat baik (dekat) dengan alam. Kearifan budaya lokal sangat menghormati dan menjunjung pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kita perlu belajar dari masyarakat adat, yang sangat menghargai warisan leluhur, termasuk dalam menjaga dan melestarikan alam.1 Masyarakat adat memandang dirinya, alam dan relasi keduanya dalam perspektif religius dan spiritual. Masyarakat adat memandang alam sebagai sesuatu yang sakral sekaligus sebagai “sahabat”

mereka. Mereka tidak seenaknya memperlakukan alam, karena mereka menghormatinya dan menjadi bagian darinya (komunitas ekologis). Hidup mereka sangat tergantung pada alam, oleh karena itu mereka akan selalu bersikap dan bertindak baik terhadap alam. Mereka mempunyai larangan-larangan

1Masyarakat adat atau masyarakat tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. Ada dua kategori masyarakat adat: pertama, suku-suku asli yang mempunyai sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khas. Kedua, suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang dan yang

mempertahankan atau berusaha mempertahankan sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Beberapa hal yang membedakan masyarakat adat dari masyarakat lain. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga, mereka mempunyai budaya yang khas yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peraltalatn hidup sehari-hari, termasuk cara untuk mencari nafkah. Keempat, mereka mempunyai bahasa sendiri. Kelima, mereka biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 361-362.

(tabu/pamali) dalam berelasi dengan alam. Mereka hanya mengambil kekayaan alam sesuai dengan kebutuhan mereka.

Adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, lajunya populasi manusia serta ketidakadilan yang mendorong manusia untuk mengeruk kekayaan alam tanpa batas yang mengakibatkan masalah lingkungan hidup.2 Akibatnya hutan rusak atau bahkan hilang. Selain itu, terjadi desakralisasi alam. Hilanglah rasa hormat terhadap alam. Hutan dirusak dan terjadi pencemaran lingkungan hidup.3

Dalam penghayatan “agama”, masyarakat adat biasanya mencari dan membangun harmoni dengan alam dan masyarakat karena keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Yang spiritual ada dalam yang material, maka yang material tidak dapat diperlakukan seenaknya. Keseimbangan dipahami sebagai prinsip penting dalam tatanan kosmis. Perilaku manusia ditempatkan dalam konteks yang sakral. Hubungan baik tidak boleh dirusak dengan perilaku egois dan merugikan. Hal itu dijaga dengan berbagai tabu/pamali dan upacara religius. Moralitas mereka tidak hanya menyangkut sesamanya, tetapi seluruh alam semesta seperti hutan, laut, gunung, binatang-binatang serta tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu mereka mempunyai banyak ritus yang terkait dengan alam.4 Ritus tersebut mengandung penghormatan terhadap alam dan terhadap Sang Pencipta.5

2Nota Pastoral KWI 2004, no. 11.

3Zakaria J. Ngelow, “Three River in Sulawesi: EATWOT General Assembly Ecological Vision aand Planetary Survival Vision”, Internasional EATWOT, Yogyakarta, 2012.

4Misalnya masyarakat pada suku Lokota (Indian) yang pada akhir setiap doanya menyapa semua kehidupan di alam ini sebagai kerabatnya sekaligus mengungkapkan rasa hormat dan cinta mereka pada semua bentuk kehidupan dengan sebutan “semua relasiku”. Demikian juga yang terdapat

Kembali ke alam tidak berarti hidup seperti orang primitif dengan pola hidup dan kebiasaan yang tradisional. Kembali ke alam berarti menghargai kearifan tradisional yang bersifat ekologis atau kearifan lokal yang menghormati alam.6 Kearifan lokal tidak hanya menyangkut relasi yang baik antarmanusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang alam dan relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis.7

Kembali ke alam (kearifan lokal) itu penting karena beberapa alasan.8 Pertama, karena terjadi desakralisasi alam. Alam yang bagi masyarakat adat dianggap sakral kehilangan sakralitasnya. Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, alam dipandang sebagai fakta profan yang dapat diteliti dan memberikan keuntungan. Apa yang bagi masyarakat adat dianggap sebagai misteri, bagi ilmu pengetahuan merupakan problem yang bisa dijelaskan secara rasional dan ilmiah dan ditemukan pemecahannya. Akibatnya alam tidak lagi dihormati, sebaliknya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Kedua, alam tidak dipandang sebagai

pada masyarakat Lamaholot di Flores Timur dan Lemabata yang menyebut dan menyapa binatang dan pohon atau tempat sakral tertentu sebagai “belle” (kakek/nenek). Demikian juga pada

masyarakat Mentawai (Sumatra Barat) yang percaya bahwa semua ciptaan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan harmonis. Roh-roh leluhur selalu ada di mana-mana baik dalam tumbuh-tumbuhan maupun binatang, sungai, hutan dan apa saja yang ada di alam ini. A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 367-368. Demikian juga pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan yang menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral tempat roh-roh sehingga perlu suatu upacara untuk suatu kegiatan tertentu. Masyarakat Toraja akan mengadakan upacara syukur setelah panen dengan penuh kegembiraan. Upacara tersebut merupakan ungkapan syukur masyarakat Toraja kepada Puang Matua atas panen yang boleh mereka terima.

Kegembiraan masyarakat Toraja diungkapkan dalam bentuk nyanyian dan kegitan sisemba’ (kick fighting).

5Masyarakat adat yang ada menyebutnya dengan berbagai sebutan: Puang Matua, Gusti, Hyang Widi, Puang Ala Taala dan sebagainya.

6Kearifan lokal adalah segala bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

7Kearifan lokal adalah milik komunitas adat/bersama. Kearifan lokal juga berarti pengetahuan tradisonal yang bersifat praktis yang mengajari atau menuntun orang tentang bagaimana harus berelasi dengan sesama dan alam. Kearifan lokal bersifat holistik karena menyangkut seluruh pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.

8A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 373-378.

sesuatu yang bernilai intrinsik, melainkan sesuatu yang bernilai instrumental saja.

Modernisasi menawarkan segala macam varian kebutuhan dan kemudahan, berbeda dari pola masyarakat adat. Ketiga, masayarakat bergeser pada materialisme, hedonisme, konsumerisme dan nilai kegunaan.

Dalam situasi seperti ini, Gereja seharusnya mendorong umat kembali belajar dari kearifan lokal dan masyarakat adat, bagaimana seharusnya bersikap terhadap alam. Gereja dapat mengajak dan mendorong umat lewat kegiatan-kegiatan seperti katekese, kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan-gerakan ekologis sesuai dengan situasi gereja lokal masing-masing.