• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MORAL LINGKUNGAN HIDUP

4.6 Cara Pandang Baru

4.6.3 Prinsip Etis Perlindungan Alam

Alam harus kita lestarikan untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan semua mahluk hidup. Melestarikan alam juga berarti menahan laju perusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi yang tidak terkendali. Dalam melestarikan lingkungan hidup, ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan,

21Reduce: menggunakan barang2 yang ramah lingkungan dan menghindari penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan seperti plastik, kaleng dan sebagainya; reuse: menggunakan barang-barang yang masih dapat dimanfaatkan; recycle: mendaur ulang bahan-bahan sisa konsumsi untuk dijadikan brang baru bagi keperluan sehari-hari; replant: penghijauan kemabali pada lahan-lahan yang gersang atau tandus. Bdk. Maria Purwanto, “Bumiku Sakit”, Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan Perspektif Pastoral Sosial, Sekertariat Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD-KAJ dan Komisi PSE KWI, Jakarta, 2007, 122-123.

yakni: utilitarianisme, perlindungan, kemungkinan memilih, melindungi yang lemah dan menghindari kerugian atau kerusakan.22

Utilitarianisme menekankan bahwa suatu tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat. Dengan kata lain, setiap tindakan akan dinilai atau diukur berdasarkan manfaatnya. Para penganut paham ini (Jeremy Bentham, 1748-1832 dan John Stuart Mill, 1806-1873) berpendapat bahwa moralitas tidak merujuk pada Tuhan. Moralitas bermanfaat bagi mahluk-mahluk di dunia.23Kaum utilitarian berpendapat bahwa bukan hanya mahluk yang rasional yang dapat masuk dalam wilayah moral, tetapi setiap mahluk yang dapat merasakan “bahagia atau tidak bahagia”, “rasa sakit atau nikmat”. Jika mahluk dapat merasa sakit, maka manusia berkewajiban untuk mempertimbangkan tindakannya terhadap mahluk tersebut.24 Kaum utilitarian mengupayakan kesejahteraan semaksimal mungkin karena orientasi tindakan mereka adalah hal yang berguna. Oleh karena itu, suatu tindakan dikatakan baik dan bermoral jika tindakan tersebut bermanfaat.

22William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2001, 73-75.

23Bentham mengatakan bahwa setiap kita mengambil suatu tindakan, maka kita mengambil tindakan yang paling baik bagi setiap orang yang terkena dampaknya. Stuart juga berpandangan sama yakni tujuan akhir dari tindakan adalah kebahagiaan dari segala sesuatu yang diinginkan.

James Rachels, Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 168-171.

24Bentham berpendapat demikian: mungkin akan tiba waktunya ketika seluruh mahluk hewani akan memperoleh hak-hak yang hingga sekarang tidak pernah di berikan kepada mereka. Mereka malah menerima perlakuan dari tangan tirani. Pada suatu saat akan diakui bahwa perbedaan jenis, habitat, kebiasaan dan perilaku (jumlah kaki, jenis kulit yang berbuluh dsb.) bukanlah alasan yang memadai untuk mengabaikan mereka. Tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan pembedaan, baik itu kemampuan rasio maupun kemampuan berbicara. Oleh karena itu, seekor kuda atau anjing yang sudah dewasa merupakan binatang yang tidak bisa dibandingkan lagi atas dasar rasio atau kemampuan bicara, seperti halnya seorang anak normal yang berusia sehari atau seminggu atau sebulan. Tetapi apa yang menjadi ukurannya? Pertanyaannya bukan lagi apakah mereka berakal atau berbicara atau dapat menggunakan rasionya, melainkan apakah mereka bisa menderita atau tidak? Karena manusia dan mahluk non-human dapat menderita, maka kita mempunyai alasan untuk tidak memperlakukan mereka seenaknya. James Rachels, Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 168-181.

Prinsip ini baik, namun perlu dikritisi. Jika hanya mahluk yang mampu merasakan sakit yang termasuk dalam wilayah moral, lalu bagaimana dengan tumbuhan dan mereka yang tidak dapat lagi merasakan sakit karena tidak sadarkan diri (koma)? Tindakan membuka hutan baik untuk industri, tetapi tidak baik untuk tumbuh-tumbuhan yang ada di sana. Tindakan manusia hendaknya memberikan hasil yang juga baik bagi tumbuh-tumbuhan, bukan hanya baik untuk manusia dan hewan saja.

Prinsip “perlindungan” membela kelangsungan eksistensi mahluk non-human yang terancam punah. Kekayaan alam yang terancam punah harus dilindungi agar kekayaan alam tidak berkurang, khususnya jenis endemik;25 seperti yang dilakukan oleh Dr. Willie Smits, seorang ilmuan kehutanan Belanda yang menyelamatkan spesies Orang Utan di Kalimantan, melalui Yayasan Penyelamatan Orang Utan. 26 Perlindungan ini perlu untuk mencegah berkurangnya biodiversity. Ada berbagai cara untuk melakukan perlindungan terhadap kehidupan di bumi ini, misalnya dengan mengurangi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan dan menolak penggunaan nuklir untuk industri serta perang.

25Yang dimaksud dengan endemik (endemisme) adalah jenis mahluk hidup yang hanya terdapat pada suatu daerah tertentu saja dan tidak terdapat di daerah lain. Endemisme yang tinggi terdapat di daerah yang mempunyai faktor khusus atau terisolasi dari daerah lain untuk waktu yang lama.

Karena itu endemisme sering terdapat di puncak gunung, pulau dan tempat lain yang mempunyai halangan geografi untuk penyebaran jenis, misalnya Pulau Siberut di kepulauan Mentawai, yang telah terpisah dari daratan Sumatra untuk 500 ribu tahun, mempunyai tingkat endemisme yang tinggi. Kurang lebih 65% dari hewan yang menyusui merupakan jenis endemik. Contoh yang terkenal adalah empat jenis primate yaitu bilou (Hylobates klossi, siamang kerdil atau siamang Mentawai), simakobu (Simias Concolo, siamang berhidung mancung atau simpai Mentawai), Joja ( Presbytis Potenziani, kera Mentawai atau siamang berekor panjang) dan bokkoi (Macaca Pagensis, beruk Mentawai atau siamang berekor babi). Otto Soemarwoto, Indonesia dalam Kanca Isu Lingkungan Global, Gramedia, Jakarta, 1991, 103.

26Al Gore, Our Choice: A Plan to Solve the Climate Crisis, Rodale, New York, 2009, 192.

Prinsip “kemungkinan memilih” mengajak kita untuk mempertimbangkan suatu tindakan dari segi untung/rugi atau baik/buruk tindakan tersebut.

Pertimbangan tersebut bukan saja untuk kepentingan manusia, tetapi juga untuk kepentingan mahluk hidup lainnya. Prinsip ini mengajak kita untuk memilih hal-hal yang tidak menghasilkan dampak negatif bagi ekosistem, untuk menghindari sikap dan tindakan kita yang merusak lingkungan hidup.

Prinsip “melindungi yang lemah” memperhatikan jenis atau kelompok tumbuhan atau hewan yang lemah. Tumbuhan dan hewan yang lemah tidak dapat disamakan dengan yang kuat. Yang lemah hendaknya mendapat perlakuan dan perhatian yang lebih baik, agar yang lemah tersebut dapat bertahan hidup dan tidak punah.

Prinsip “menghindari kerusakan” mendorong kita untuk tidak merusak alam. Kita boleh mengambil kekayaan alam asal tidak merusaknya. Kerusakan dapat saja terjadi. Maka, menghindari kerusakan jauh lebih baik daripada mengatasi kerusakan. Prinsip ini penting untuk melawan pengelolaan alam yang menyebabkan dampak negatif yang signifikan.

Bab V

Menanggapi Masalah Lingkungan Hidup

5.1 Pengantar

Berhadapan dengan masalah lingkungan hidup, Gereja harus peduli dan terlibat secara aktif dalam mencari pemecahannya demi kelangsungan hidup yang baik di bumi. Memang bukan tanggung jawab Gereja sepenuhnya untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup, namun Gereja dapat berperan aktif menyelesaikan masalah tersebut. Dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak yakni lembaga-lembaga sosial, masyarakat luas, pemerintah dan negara-negara.

Dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup, Gereja tidak hanya menyampaikan seruan profetis atau himbauan, tetapi juga ikut mencari akar masalahnya dan terlibat menyelesaikan masalah tersebut.

5.2 Kembali ke Alam

Pada Bab sebelumnya, kita telah melihat moral lingkungan hidup dengan pendekatan biosentris dan ekosentris. Sebenarnya pendekatan biosentris dan ekosentris sudah dipraktekkan oleh masyarakat-masyarakat adat dan masyarakat tradisional di berbagai tempat. Cara pandang terhadap manusia sebagai bagian

dari ekosistem dan perilaku hormat terhadap semua kehidupan juga sudah menjadi cara pandang dan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia. Biosentrisme dan ekosentrisme mendorong kita untuk meninggalkan cara pandang yang antroposentris. Kita perlu kembali ke kearifan budaya lokal yang mempunyai relasi yang sangat baik (dekat) dengan alam. Kearifan budaya lokal sangat menghormati dan menjunjung pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kita perlu belajar dari masyarakat adat, yang sangat menghargai warisan leluhur, termasuk dalam menjaga dan melestarikan alam.1 Masyarakat adat memandang dirinya, alam dan relasi keduanya dalam perspektif religius dan spiritual. Masyarakat adat memandang alam sebagai sesuatu yang sakral sekaligus sebagai “sahabat”

mereka. Mereka tidak seenaknya memperlakukan alam, karena mereka menghormatinya dan menjadi bagian darinya (komunitas ekologis). Hidup mereka sangat tergantung pada alam, oleh karena itu mereka akan selalu bersikap dan bertindak baik terhadap alam. Mereka mempunyai larangan-larangan

1Masyarakat adat atau masyarakat tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. Ada dua kategori masyarakat adat: pertama, suku-suku asli yang mempunyai sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khas. Kedua, suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang dan yang

mempertahankan atau berusaha mempertahankan sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Beberapa hal yang membedakan masyarakat adat dari masyarakat lain. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga, mereka mempunyai budaya yang khas yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peraltalatn hidup sehari-hari, termasuk cara untuk mencari nafkah. Keempat, mereka mempunyai bahasa sendiri. Kelima, mereka biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 361-362.

(tabu/pamali) dalam berelasi dengan alam. Mereka hanya mengambil kekayaan alam sesuai dengan kebutuhan mereka.

Adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, lajunya populasi manusia serta ketidakadilan yang mendorong manusia untuk mengeruk kekayaan alam tanpa batas yang mengakibatkan masalah lingkungan hidup.2 Akibatnya hutan rusak atau bahkan hilang. Selain itu, terjadi desakralisasi alam. Hilanglah rasa hormat terhadap alam. Hutan dirusak dan terjadi pencemaran lingkungan hidup.3

Dalam penghayatan “agama”, masyarakat adat biasanya mencari dan membangun harmoni dengan alam dan masyarakat karena keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Yang spiritual ada dalam yang material, maka yang material tidak dapat diperlakukan seenaknya. Keseimbangan dipahami sebagai prinsip penting dalam tatanan kosmis. Perilaku manusia ditempatkan dalam konteks yang sakral. Hubungan baik tidak boleh dirusak dengan perilaku egois dan merugikan. Hal itu dijaga dengan berbagai tabu/pamali dan upacara religius. Moralitas mereka tidak hanya menyangkut sesamanya, tetapi seluruh alam semesta seperti hutan, laut, gunung, binatang-binatang serta tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu mereka mempunyai banyak ritus yang terkait dengan alam.4 Ritus tersebut mengandung penghormatan terhadap alam dan terhadap Sang Pencipta.5

2Nota Pastoral KWI 2004, no. 11.

3Zakaria J. Ngelow, “Three River in Sulawesi: EATWOT General Assembly Ecological Vision aand Planetary Survival Vision”, Internasional EATWOT, Yogyakarta, 2012.

4Misalnya masyarakat pada suku Lokota (Indian) yang pada akhir setiap doanya menyapa semua kehidupan di alam ini sebagai kerabatnya sekaligus mengungkapkan rasa hormat dan cinta mereka pada semua bentuk kehidupan dengan sebutan “semua relasiku”. Demikian juga yang terdapat

Kembali ke alam tidak berarti hidup seperti orang primitif dengan pola hidup dan kebiasaan yang tradisional. Kembali ke alam berarti menghargai kearifan tradisional yang bersifat ekologis atau kearifan lokal yang menghormati alam.6 Kearifan lokal tidak hanya menyangkut relasi yang baik antarmanusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang alam dan relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis.7

Kembali ke alam (kearifan lokal) itu penting karena beberapa alasan.8 Pertama, karena terjadi desakralisasi alam. Alam yang bagi masyarakat adat dianggap sakral kehilangan sakralitasnya. Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, alam dipandang sebagai fakta profan yang dapat diteliti dan memberikan keuntungan. Apa yang bagi masyarakat adat dianggap sebagai misteri, bagi ilmu pengetahuan merupakan problem yang bisa dijelaskan secara rasional dan ilmiah dan ditemukan pemecahannya. Akibatnya alam tidak lagi dihormati, sebaliknya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Kedua, alam tidak dipandang sebagai

pada masyarakat Lamaholot di Flores Timur dan Lemabata yang menyebut dan menyapa binatang dan pohon atau tempat sakral tertentu sebagai “belle” (kakek/nenek). Demikian juga pada

masyarakat Mentawai (Sumatra Barat) yang percaya bahwa semua ciptaan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan harmonis. Roh-roh leluhur selalu ada di mana-mana baik dalam tumbuh-tumbuhan maupun binatang, sungai, hutan dan apa saja yang ada di alam ini. A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 367-368. Demikian juga pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan yang menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral tempat roh-roh sehingga perlu suatu upacara untuk suatu kegiatan tertentu. Masyarakat Toraja akan mengadakan upacara syukur setelah panen dengan penuh kegembiraan. Upacara tersebut merupakan ungkapan syukur masyarakat Toraja kepada Puang Matua atas panen yang boleh mereka terima.

Kegembiraan masyarakat Toraja diungkapkan dalam bentuk nyanyian dan kegitan sisemba’ (kick fighting).

5Masyarakat adat yang ada menyebutnya dengan berbagai sebutan: Puang Matua, Gusti, Hyang Widi, Puang Ala Taala dan sebagainya.

6Kearifan lokal adalah segala bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

7Kearifan lokal adalah milik komunitas adat/bersama. Kearifan lokal juga berarti pengetahuan tradisonal yang bersifat praktis yang mengajari atau menuntun orang tentang bagaimana harus berelasi dengan sesama dan alam. Kearifan lokal bersifat holistik karena menyangkut seluruh pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.

8A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 373-378.

sesuatu yang bernilai intrinsik, melainkan sesuatu yang bernilai instrumental saja.

Modernisasi menawarkan segala macam varian kebutuhan dan kemudahan, berbeda dari pola masyarakat adat. Ketiga, masayarakat bergeser pada materialisme, hedonisme, konsumerisme dan nilai kegunaan.

Dalam situasi seperti ini, Gereja seharusnya mendorong umat kembali belajar dari kearifan lokal dan masyarakat adat, bagaimana seharusnya bersikap terhadap alam. Gereja dapat mengajak dan mendorong umat lewat kegiatan-kegiatan seperti katekese, kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan-gerakan ekologis sesuai dengan situasi gereja lokal masing-masing.

5.3 Paradigma Baru

Penyelesaian persoalan lingkungan hidup sebaiknya tidak hanya diselesaikan dengan tindakan praktis pragmatis. Perlu dilakukan perubahan cara berpikir dan bersikap terhadap lingkungan hidup. Paradigma lama tentang lingkungan hidup di mana manusia ditempatkan di atas ciptaan lainnya kiranya perlu diganti. Perlu suatu paradigma baru yang mengubah pola pikir kita dan dengan demikian juga dapat mengubah sikap dan perilaku kita yang destruktif terhadap lingkungan hidup menjadi sikap dan perilaku yang konstruktif.

5.3.1 Deep Ecology

Manusia mempunyai hubungan keterkaitan dan ketergantungan terhadap ciptaan lain yang ada di permukaan bumi. Kodrat manusia sebagai mahluk sosial mencirikan hubungannya dengan sesamanya, mahluk hidup lainnya dan segala

unsur yang terdapat di permukaan bumi ini. Keyakinan tentang adanya keterkaitan antara satu mahluk hidup dengan mahluk hidup lainnya dikenal sebagai deep ecology.9Deep ecology menyatakan bahwa manusia bukan penguasa atas alam ini dan juga bukan pusat dari segala ciptaan yang ada. Manusia terkait dengan seluruh alam yang luas. Deep ecology melampaui pandangan antroposentrisme yang berbau chauvinisme. Menurut deep ecology, ada saling keterkaitan antarorganisme dalam lingkungan hidup. Karena itu, deep ecology mengusulkan transformasi yang radikal dalam cara berpikir, cara pandang dan cara bertindak.

Deep ecology mengakui dan menghormati nilai intrinsik seluruh lingkungan hidup. Setiap mahluk hidup memiliki nilai intrinsik dan mempunyai hak untuk hidup dan berkembang. Manusia merupakan bagian dari ekosistem, atau salah satu bagian dari ciptaan Allah, yang tidak mempunyai hak absolut atas ciptaan lainnya. Manusia merupakan bagian dari ciptaan. Manusia diberi tanggung jawab oleh Allah untuk memelihara dan mengusahakan bumi. Hidup manusia tergantung pada ciptaan lainnya. Oleh karena itu, manusia harus menghargai dan menghormati mahluk ciptaan lainnya. Deep ecology juga menegaskan bahwa yang harus diperhatikan bukan hanya generasi sekarang melainkan juga generasi yang akan datang.10

Deep ecology berupaya menata ulang kosmologi dan kosmogoni (asal usul alam semesta). Deep ecology memberi perhatian yang lebih besar pada ekosistem

9Deep ecology dikembangkan pertama kali oleh Arne Naess yang mengklaim bahwa seperti humanitas, lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Eddy Kristyanto, “Ecosophia dan Asketisme Politis: Gagasan Alternatif Kepedulian Ekologis”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 162. Lih. juga dalam A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, 2010, 98-99.

10William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2001, 78.

dan cara pandang terhadap alam daripada tindakan-tindakan praktis. Deep ecology menentang sikap dan kebiasaan-kebiasaan hidup yang mengantar orang pada materialisme, hedonisme, militerisme dan dominasi atas alam semesta. Deep ecology berusaha memahami sikap dasar yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.

Kesatuan antara manusia dan mahluk hidup lainnya merupakan kepedulian konseptual deep ecology, yang menganggap bahwa semua mahluk hidup memiliki nilai intrinsik. Nilai tersebut tidak dapat diganggu gugat dan menuntut agar mahluk lain menghormatinya. Di balik ini semua, terdapat suatu harapan bahwa manusia akan mampu mengendalikan keserakahan dan bersikap lebih bijak terhadap alam.

Deep ecology mengkritik antroposentrisme yang disebut shallow ecology.

Shallow ecology dinilai sebagai kepeduliaan ekologis yang dangkal. Shallow ecology dinilai hanya menghadapi dan mengatasi masalah lingkungan hidup dengan pendekatan dan pemecahan masalah yang tidak mendasar. Pemecahan masalah yang ditawarkannya tidak menyentuh akar masalah sebenarnya dan hanya bersifat jangka pendek dan menengah. Shallow ecology menanggapi masalah lingkungan hidup hanya dengan langkah-langkah praktis. Shallow ecology menyelesaikan persoalan lingkungan hidup dengan solusi praktis yang langsung menyentuh persoalannya tanpa memperhatikan akar masalah persoalan tersebut. Shallow ecology melihat masalah lingkungan hidup sebagai persoalan teknis, yang tidak membutuhkan perubahan dalam kesadaran manusia. 11

11A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, 99.

Akibatnya persoalan yang sama dapat berulang dan bahkan meningkat; misalnya:

masalah sampah diatasi hanya dengan membersihkan sampah tersebut dan membuang pada tempatnya. Pada saat itu persoalan dapat selesai, tetapi kebiasaan membuang sampah secara sembarangan akan terulang lagi. Berbeda dari itu, deep ecology akan menyelesaikannya dengan memberikan penyadaran kepada orang bahwa membuang sampah secara sembarangan merupakan tindakan yang tidak ramah lingkungan. Kebiasaan yang tidak ramah lingkungan itu harus disadari dan diubah.

5.3.2 Spiritualitas Bumi

Meskipun pemikiran kristiani dapat membawa dampak pada penguasaan bumi oleh manusia seperti yang dikritisi oleh Lynn White (1967), kristianitas juga memiliki konsep-konsep yang menentang eksploitasi alam secara berlebihan.

Kristianitas menghormati setiap mahluk. Setiap mahluk diciptakan dengan nilai intrinsik. Dunia ini ada dalam perjalanan menuju kepenuhannya dalam Tuhan dan manusia adalah salah satu bagian di dalamnya. Pemikiran yang lain berkembang dari konsep keadilan sosial. Ide keadilan untuk semua orang menjadi ide keadilan bagi semua mahluk. Kebaikan bagi semua bangsa menjadi kebaikan bagi semua mahluk. Solidaritas bagi orang-orang yang terpinggirkan menjadi solidaritas bagi spesies yang mendapat ancaman. Dalam hal itu, spiritualitas kristiani belajar dari ilmu-ilmu lain, misalnya yang terkait dengan ekosistem dan nilai-nilai intrinsik.12

12Neil Darragh, “An Ascetic Theology, Spirituality and Praxis”, Eco-Theology, SCM Press, London, 2009, 80.

Sabda Bahagia (Mat 5:1-12) menampilkan sebuah spiritualitas yang dipusatkan pada Allah dan mewujud di dalam hubungan-hubungan dengan ciptaan-Nya. Kita harus memahami Sabda Bahagia sebagai ajakan untuk bersikap miskin, berdukacita, lemah lembut, lapar dan haus akan keadilan, suci hati, menciptakan kedamaian, dan siap dianiaya. Relasi dengan Allah tidak hanya menyangkut manusia, tetapi semua yang ada. Terberkatilah mereka yang rela hidup sederhana, yang tidak mencari untuk menghabiskan dan memiliki, yang sedih karena hilangnya berbagai macam makhluk hidup serta kehancuran ekosistem, yang “berjalan” dengan hati-hati agar tidak merusak bumi, yang mencari hubungan baik dengan ciptaan yang lain, yang mempunyai hati yang murni, yang hidup dengan damai tanpa kekerasan kepada ciptaan yang lain, dan yang memelihara keutuhan dan menolak penganiayaan dan perendahan terhadap yang lain.13

Partisipasi aktif umat kkristen dalam Kerajaan Allah (di dunia) juga menyediakan sebuah basis bagi spiritualitas ekologis. Kerajaan Allah tidak hanya menyangkut keadilan dan damai di antara manusia tetapi juga mencakup pelestarian ekosistem sebagaimana telah diciptakan oleh Allah.

5.3.3 Asketisme

Salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup adalah mentalitas manusia yang tidak baik, yakni mentalitas atau sikap yang serakah terhadap alam dan ciptaan-ciptaan lain. Mentalitas inilah yang mendorong manusia

13Neil Darragh, “An Ascetic Theology, Spirituality and Praxis”, Eco-Theology, SCM Press,

13Neil Darragh, “An Ascetic Theology, Spirituality and Praxis”, Eco-Theology, SCM Press,