Keluarga
Pendidikan karakter dan nilai anak merupakan tanggung jawab utama orang tua dalam keluarga. Mereka berperilaku sebagai agen pendidikan moral dan nilai hidup bagi anak- anak, sehingga gereja perlu memberikan perhatian pada pertumbuhan karakter keluarga- keluarga tersebut. Keluarga mempengaruhi pembentukan watak, iman dan tata nilai anak- anaknya. Robert Coles mengakui bahwa keluarga merupakan lingkungan primer dalam
membentuk kecerdasan moral anak31. Sebelum
menerima pengaruh dari teman sebaya dan guru di sekolah, anak sudah mendapat pengaruh dari keluarganya.
Terdapat hal-hal penting mengenai pertumbuhan anak dalam keluarga, menurut Paul Meier aspek-aspek yang bertumbuh dalam kehidupan keluarga adalah kasih, disiplin, konsistensi aturan, keteladanan, kepemim-
pinan32. Melalui uraian tersebut dikemukakan
bahwa karakter, tata nilai, potensi, dan cara beriman tercipta dan berkembang dari keluarga asal yaitu tempat dibesarkan. Dalam keluarga pendidikan nilai-nilai Kristiani dapat dipraktik- kan. Ada banyak cara dapat dikembangkan orang tua dan komunitas keluarga untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak. Orang tua dengan sadar menjadikan dirinya teladan moral dalam mendemonstrasikan nilai hidup dan karakter yang baik dan benar untuk diteladani anak. Orang tua dapat memberi berbagai latihan untuk terus berbuat baik disertai hukuman dan pujian yang seimbang. Orang tua dapat memberikan penjelasan melalui nasihat dan diskusi untuk memberi informasi kepada anak. Orang tua memelihara kedekatan dengan anak supaya mereka dapat mengidenfikasi dirinya. Orang tua dapat membangun persahabatan dengan saudara di lingkungan keluarga dan teman-teman di luar rumah tempat anak belajar dari sesamanya.
Keluarga khususnya orang tua memiliki tugas untuk mendidik anak-anaknya bertumbuh dalam nilai-nilai kerohanian kepada Allah dalam Yesus Kristus. Orang tua adalah tokoh terdekat bagi anak yang Allah kehendaki menjadi pembentuk generasi penerus. Kasih, kesetiaan, dan kesediaan belajar terus menerus itulah yang sangat diperlukan. Berhubungan dengan tersebut keluarga secara teologis disebut sebagai miniatur gereja. Keluarga sebagai komunitas yang mengemban misi panggilan Allah untuk menyatakan kasih dan kebenaran- Nya33. Keluarga memiliki tanggung jawab untuk
membimbing anak-anaknya dalam menentukan sikap sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Allah. Keluarga menjadi tempat ditaburnya nilai-nilai ketaatan, ketekunan, pengendalian diri, kepeduliaan, kejujuran dan tuntunan Allah.
Guru Kristen
Guru Kristen yang dimaksud meliputi guru Sekolah Minggu dan guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah. Mereka memiliki peranan dalam pembentukan dan pertumbuhan spiritual anak melalui praktik nilai-nilai Kristiani. Mereka merupakan rekan kerja orang tua dalam mendidik dan mengajar anak. Salah satu keterampilan emosi dasar yang dimiliki guru meliputi pengajaran mengenai pengenalan perasaan dan memberikan label pada setiap emosi yang dirasakan. Hal ini penting untuk menyadari adanya hubungan antara pikiran, perasaan dan tindakan. Seorang guru dapat membimbing anak didiknya untuk mengenali perasaan-perasaannya dalam berbagai situasi serta memahami bagaimana munculnya berbagai perasaan tersebut. Pada bagian ini seorang guru mengajarkan dan memberikan contoh bagaimana mencari cara untuk mengendalikan emosi. Mengarahkan perasaan takut, cemas dan sedih menjadi sesuatu yang positif dalam hidup mereka.
Peranan seorang guru bukan hanya sekadar mengajar dan menghasilkan orang yang suci dan alim tetapi dengan pengetahuan yang rendah. Pengajaran pengetahuan didasari dengan pembentukan sikap menghargai orang lain walaupun berbeda pendapat, saling mempercayai keterampilan sosial, saling
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
mengampuni, dan membantu peserta didik untuk memiliki ketaatan kepada kehendak Allah. Pembinaan dan penanaman karakter yang dikehendaki Allah harus benar-benar dilakukan34.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian yang dituliskan, terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merelevansikan orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1- 10 bagi pendidikan karakter. Saran-saran tersebut sebagai berikut:
Pertama, praktik kehidupan umat harus berpusat pada pengajaran kebenaran Allah dengan menghadirkan otoritas-Nya. Kehadiran Allah akan terlibat dalam proses pembentukan manusia, karakter, keterampilan dan kemampuan intelektualnya. Panggilan untuk menghadirkan otoritas Allah dalam pendidikan yang dijalankannya dapat diartikan bahwa pendidikan Kristen terpanggil untuk menjunjung prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan meskipun berada di tengah-tengah degradasi moral dan praktik penghalalan segala cara yang berkembang luas. Pendidikan Kristen memiliki peran rangkap di tengah masyarakat, yaitu terus mengupayakan menahan laju kejahatan, kebobrokan, kepalsuan dan ketidakadilan. Pada saat yang bersamaan harus mengupayakan penyebaran secara luas asas- asas kebenaran, keadilan dan kebaikan Allah. Upaya mempertahankan jati diri dalam pendidikan Kristen dilakukan dengan mentransfer nilai-nilai moral dan pembentukan karakter kepada seluruh anak didik. Para anak didik tidak saja mendapat pengajaran tetapi juga mengalami dan merasakan begaimana kehidupan menjadi pelaku kebenaran Allah.
Kedua, Pendidikan Kristen sebagai pilar untuk taat melakukan perintah dan peraturan Allah. Praktik ketaatan ini dapat dinyatakan melalui pelayanan yang holistik dalam aspek pendidikan yang dilaksanakan. Melayani sesama merupakan wujud dari melakukan kehendak dan perintah Allah. Melayani berasal dari hati, motivasi dan semangat serta jiwa yang mendasari aktivitas tersebut. Pelayanan yang
dapat dilakukan pendidikan Kristen memberikan perhatian yang lebih dalam bentuk apresiasi terhadap hasil kerja dan prestasi para siswa. Gereja dalam pendidikan Kristen terpanggil untuk menjangkau sebanyak mungkin orang untuk mendapatkan akses pendidikan. Ia tidak menjadi eklusif dan berdiam dalam menara gading. Sudah selayaknya, ia tidak segan-segan turun tangan, mengulurkan tangan, dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Pendidikan Kristen harus memperhatikan dan memper- juangkan rakyat kecil dan kaum yang lemah agar mendapat kesempatan memperolah pendidikan yang baik.35 Melalui pilar pelayanan yang kokoh,
lembaga pendidikan Kristen akan memini- malisasikan konflik dan gesekan ke dalam maupun keluar dengan mengusung praktik ketaatan kapada kehendak Allah sehingga tonggak kebenaran dan keadilan Allah akan terus berdiri dengan kuat.
Ketiga, pendidikan yang jalankan oleh lembaga-lembaga Kristen memperhatikan proses humanisasi manusia dengan mengenal sumber etika dan moral yang benar di hadapan Allah. Upaya mewujudkan proses humanisasi ini dapat dilakukan melalui sikap toleransi yang tinggi yang menerima kepelbagaian umat manusia. Proses pendidikan yang dipraktikan harus dapat membebaskan manusia dari kemiskinan dan penindasan. Berbagai penin- dasan seperti penindasan gender, penindasan mayoritas harus dapat dihapuskan melalui pendidikan yang membebaskan. Proses pendidikan ini mengembangkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan berkeadilan. Keempat, usaha untuk menciptakan pendidikan yang berfokus pada ajaran Allah melibatkan peran serta guru sebagai tonggak pelaksana di lapangan. Seorang guru yang mengajar anak didik perlu mengembangkan mutu pemahaman dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda kehidupan dan pencipta semuanya itu. Guru harus dapat menolong orang bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai hidup, menabur benih nilai-nilai hidup, menabur benih di hati sendiri dan orang lain
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Catatan kaki:
1 Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus
Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2000), 175-176.
2 Thomas Lickona, The Return of Character
Education, Jurnal Education Leadership (1993), 35.
3 Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan
Persoalannya, dalam Education For Change (Jakarta: BPK GM, 2010), 307.
4http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/04
5 Armada Riyanto, “Kutuk Plagiarisme, Lalu?”
dalam harian Kompas, 24 Februari 2010.
6 Agus Santoso, Pengantar Perjanjian Lama, 155-
156.
7 Julius Wellhausen, Prolegomena to the History of
Ancient Israel (Cleveland: Meridian Books, 1957), 182.
8 Gerald Eddie Gerbrandt, Kingship According to
the Deuteronomistic History (Atlanta:Scholars, 1986), 18.
9 Aristotle, The Basic Works of Aristotle,Rhetorica,
diedit oleh R. Mckeon dan diterjemahkan oleh W.Rhys Roberts (NewYork:Random House, 1955), 51.
10 Andrew G.Vough, Theologi, History And
Archeology in The Chronicler’s Account of
Hezekiah, diedit oleh Edelman, S B L no.4
(Atlanta:Scholar Press, 1999), 62.
11 Kenneth Hoglund , The Chronicler As
Historian, diedit oleh Patrick Graham, Steven
McKenzie, JSOTSup 238 (Sheffield:Sheffield
Academic Press, 1997), 25. Melalui narasi Tawarikh, gambaran nabi-nabi menyampaikan hubungan antara Allah dan komunitas melalui tanggung jawab moral.
12 Japhet, I And II Chronicles, 34.
13 Gary N.Knoppers, I Chronicles , 938.
14 Michael Wilcock, The Message of Chronicles,
TBST (DownesGroves: IVP, 1987), 109.
15 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 10.
Analisa karakteristik perkataan raja dikelompokkan menurut strukturnya dalam
James D. Newsome, The Chronicler’s View of
Prophecy (Vanderbilt Univ, 1973), 124. Berdasarkan catatan disertasi Braun diuraikan cirri-ciri bentuk perkataan raja yang ditemukan
dalam Tawarikh. Roddy L.Braun, Salomon the
Chosen Temple Builder, 581-590.
16 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 20.
17 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 34.
18 Jacob M. Myers, I Chronicles, 191.
19 H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan Nasional 1945-1995
(Jakarta:Grasindo, 1995), 619.
20Doni Koesoema, Pendidikan Karakter (Jakarta:PT
Grasindo, 2007), 56.
21H.A.R Tilaar dan Rianto Nugroho, Kebijakan
Pendidikan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), 30.
22H.A.R Tilaar Perubahan Sosial dan Pendidikan:
Pengantar Pedagogik Transformatif untukIndonesia
(Jakarta:Grasindo, 2002), 203.
23Ferawati, “Krisis Pendidikan: Peluang Pendidikan
Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa”
diakses dari http://perkantasjatim.org, tanggal 17
November 2014.
24Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan
Persoalannya, 310.
25Poerwodidagdo Judowibowo, Pendidikan Hak
Asasi Manusia dalam Pendidikan Agama Kristen,
dalam Ajar Mereka Melakukan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), 112-113.
26Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Jakarta:
Grasindo, 2007), 90. Pandangan ini mengacu pada pemikiran Emmanuel Mounier lebih
menekankan pada willed sebagai sesuatu yang
dikehendaki oleh manusia sebagai arah pengembangan diri yang ia tetapkan sendiri secara sadar.
27Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 88.
28Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 199.
29Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 99.
30Maryam K.Sutanto, Pendidikan karakter Berbasis
Nilai-Nilai Kristiani, kumpulan tulisan dalam modul PBN2K (Jakarta:BPK Penabur, 2011), 11.
31 Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral
Pada Anak (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2000), 38.
32 Paul Meier, Christian Child Rearing and
Personality Development (NewYork :Baker Book House, 1980), 81.
33 Marjorie L. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat
Pembentukan: Sebuah Visi tentang Peran Keluarga dalam Pembentukan Rohani (Jakarta:BPK GM, 2000), 24.
34Samuel Karwur,”Pendidikan Kristen:Kritis!”,
diakses dari http:/blog.charismaindonesia.com,
tanggal 16 November 2014
35 Ferawati,” Krisis Pendidikan:Peluang
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Bangsa”, diakses dari http://perkantasjatim.org,
tanggal 17 November 2014
36 Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 1997), 121.