• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia di Era AFTA

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 109-113)

Kumalasari Onggobawono

Email: kumalasari.emmanuel@bpkpenaburjakarta.or.id Bagian Akademik PENABUR Internasional

Opini

P

Abstrak

endidikan nasional Indonesia memegang peranan pokok dalam kancah AFTA 2015, yang sudah berjalan selama hampir lima bulan. Sebelum dicanangkannya AFTA, sudah muncul kekhawatiran banyak kalangan tentang ketidaksiapan Indonesia dalam persaingan dengan negara lain di tingkat ASEAN pada khususnya. Pendidikan menentukan keberhasilan memenangkan persaingan. Tulisan ini membahas penyebab masih rendahnya mutu pendidikan nasional Indonesia serta akibatnya di kemudian hari kalau tidak segera dilakukan perbaikan mendasar. Salah satu penyebab yang dikaji ialah kesungguhan Pemerintah Indonesia melaksanakan perintah UUD 1945 khususnya Pasal 30. Hasil kajian tulisan ini menunjukkan masih banyak harus dibenahi dalam pengelolaan pendidikan nasional secara sistemik sehingga sumber daya manusia Indonesia mampu memenangkan persaingan internasional dalam era globalisasi.

Kata-kata kunci: sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan, sumber daya manusia, AFTA

Indonesian National Education Challenges in the Era of AFTA in 2015 Abstract

Indonesian national education holds the primary role in the arena of AFTA in 2015, which has been passing for nearly five months. Prior to the declaration of AFTA, a lot of people wondered and questioned the unpreparedness of Indonesia in competition against the other countries in ASEAN region particularly. The national education plays an importand role in winning the competition global. This article discussed and analyzed the causes underlying the low quality of Indonesian national education as well as its effects in the future if the problems are not fundamentally overcome. One of the main causes analysed is the Indonesian Government’s sincerety to totally implement the order stated in Chapter 30 of 1945 Constitution. The analysis in this article shows a number of problems in managing National Education System urgently need systemic resolution that the Indonesian human resources can successfully compete at international level in the globalization era.

Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia

Pendahuluan

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) ke-4 di Singapura pada tahun 1992, para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan

 bebas AFTA (Asean Free Trade Agreement) di kalangan negara-negara ASEAN dalam jangka waktu 15 tahun dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan ASEAN di dunia. Secara umum, banyak peluang keuntungan yang akan didapat Indonesia saat diberlakukannya AFTA 2015 ini. Salah satunya adalah akan mempermudah masyarakat Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN. Hal ini tentunya dengan syarat bahwa SDM Indonesia telah ’siap pakai’ sebagai tenaga kerja luar negeri dengan tingkat keahlian yang memadai. Lalu pertanyaannya, apakah Indonesia telah siap dalam hal ini? Apakah putera-puteri Indonesia telah siap secara profesional di bursa kerja ASEAN?1 Atau,

apakah pengangguran tenaga terdidik di Indonesia akan meningkat, seiring dengan banyaknya perusahaan di Indonesia yang malah merekrut tenaga kerja dari negara anggota ASEAN lain dengan kompetensi yang lebih baik (khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris)? Mengingat dari sejumlah Negara ASEAN yang terdiri dari Malaysia, Filipina, dan Singapura umumnya menguasai bahasa Inggris dengan baik sebagai bahasa kedua di negara mereka.

Pertanyaannya, dapatkah sistem

pendidikan nasional Indonesia menghasilkan lulusan yang bisa menjadi pesaing yang handal, sehingga dapat mengambil bagian penting dari peluang ini? Akankah pendidikan nasional Indonesia menghasilkan lebih banyak level

‘orang suruhan’ bangsa lain, ketika negara ini mengekspor tenaga sopir, pekerja kasar di pabrik, perkebunan atau rumah tangga ke negara lain bukannya tenaga profesional, sementara negara tetangga mengekspor guru/tenaga profesional lainnya ke Negara kita? Salah satu persoalan yang muncul terkait dengan diberlakukannya AFTA sebagai bagian dari Asian Economic Community (AEC) yang akan mulai berlangsung penuh pada tahun 2015 ini adalah penguasaan bahasa asing oleh tenaga terdidik di Indonesia.

Secara khusus persoalan ‘Kesiapan Sumber Daya

Manusia’ bermuara pada sistem pendidikan nasional kita, seperti tertulis berikut:

All over the world, education systems are being asked to do more and do it better. Under pressure from all sides, they must respond, as we have seen, to the need for economic and social development, especially vital to the poorest groups in the population. They face a variety of cultural and ethical demands. In other words, every one expects something from education. Parents, working or jobless adults, business and industry, communities, goverments and, of course, children, pupils and students place great hope in education. It is impossible for education to do everything, however, and some of the hopes it inspires will inevitably be dashed. Choices have to be made and these can be difficult, especially where the equity and quality of education systems are concerned.”2

Seluruh dunia mengharapkan agar system pendidikan dapat melakukan sesuatu yang lebih dan lebih lagi untuk membuat dunia ini lebih baik lagi khususnya bagi kaum yang paling lemah. Dengan kata lain, semua pihak baik orang tua, bekerja ataupun yang sedang tidak mempunyai pekerjaan menaruh harapan yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Sangatlah mustahil mengharapkan dunia pendidikan dapat melakukan segalanya, pilihan harus dibuat dan hal ini akan makin sulit ketika kualitas pendidikan dan kesamaannya merupakan sebuah keprihatinan. Tulisan ini secara khusus akan menyampaikan beberapa isu kritis sehubungan dengan AFTA 2015 dengan meninjau kondisi pendidikan di Indonesia dan kualitas sumber daya manusia.

Pembahasan

Kondisi Pendidikan di Indonesia

Penulis tidak mengangkat isu tentang profesionalisme guru sehubungan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, walaupun tentu saja profesionalisme guru adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kondisi pendidikan. Penulis mengangkat subtopik kondisi pendidikan dalam bahasan ini, sehubungan dengan AFTA 2015 yang memungkinkan anggota Negara ASEAN membuka sekolah di Indonesia. Tahun lalu,

Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia

pemerintah menerbitkan Permendiknas No. 31

Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan

dan Pengelolaan Pendidikan Oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia.

Salah satu isu kritis yang muncul terkait dengan tantangan pendidikan nasional di Indonesia, terlihat antara lain dari minat masyarakat terhadap sekolah internasional yang dibuka di Indonesia atau sekolah bertaraf internasional yang sudah ditutup tahun lalu oleh keputusan mahkamah konstitusi. Salah satu alasannya adalah dianggap tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan dinilai telah

membentuk kastanisasi dalam pendidikan1.

Tentu saja pangsa pasar untuk bersekolah di sekolah internasional adalah dari masyarakat dengan latar belakang ekonomi kuat yang

notabene punya kemampuan untuk ‘memilih’

mau menyekolahkan anaknya di mana, dengan kualitas sejauh mana.

Terlepas dari keputusan MK, sejujurnya kita perlu mempertanyakan secara kritis dalam diri masing-masing tentang sebuah kenyataan mengapa masyarakat memilih sekolah berlabel ‘internasional’. Banyak keluarga muda yang telah mempunyai komitmen bersama pasangan mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak mereka, bahkan kalau mungkin melebihi pendidikan mereka saat ini. Bagi mereka, ketika satu anak dilahirkan, mereka telah merencanakan dengan matang budget untuk anak tersebut sampai pendidikan S2,

walaupun tentu banyak pengorbanan yang akan mereka tanggung. Semua itu dilakukan sebagai buah tanggung jawab mereka kepada Tuhan di dalam mendidik, juga untuk masa depan cemerlang bagi anak mereka.

Sebenarnya, tujuan mulia dan perencanaan matang keluarga muda di atas bisa dianalogikan dengan bangsa Indonesia yang besar ini. Setiap anak bangsa ini tentu mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik yang seharusnya bisa diberikan oleh Negara. Ibaratnya Negara adalah orang tua bagi setiap anak bangsanya yang mampu memberikan pengayoman dan pendidikan terbaik, sesuai dengan amanat di dalam Pasal 31, Bab XIII, UUD 1945 tentang pendidikan. Dalam amandemen ke 4 UUD 1945 tahun 2002, Pasal

ini sudah diubah menjadi lima ayat yaitu: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk membangun

peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 2

Segala ketentuan Pasal 31 itu, yang

hakikatnya dimaksudkan agar misi

mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai, melalui UU No. 20 Tahun 2003 dipertegas lagi. Misalnya, ayat (1) dipertegas dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi: “Setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan bermutu “. Contoh lain, tentang wajib belajar, sebagaimana tertulis dalam Ayat (2) misalnya, dalam UU No. 20 Tahun 2003 dipertegas bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar yang wajib tanpa dipungut biaya. Tentang anggaran pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 mempertegasnya dengan kata-kata “tidak termasuk gaji guru dan penyelenggaraan pendidikan kedinasan”.

Yang terjadi sekarang, ketentuan mencerdaskan kehidupan bangsa diabaikan, bahkan dalam banyak hal dilanggar, seperti membiarkan lulusan SD masuk SMP negeri disaring, padahal seharusnya wajib. Dibiar- kannya perguruan tinggi negeri melanggar asas demokrasi pendidikan dengan menetapkan tarif masuk amat tinggi.3 Nampaknya para elit politik

tidak begitu peduli mencermati ini karena dalam UUD 1945 tidak ada satu kalimat pun yang secara eksplisit menyatakan “sanksi” bila suatu pemerintahan mengabaikan atau melanggar ketentuan yang diatur dalam UUD. Berbeda

Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia

dengan Amerika Serikat yang secara tegas menyatakan bahwa bila status Pemerintahan menghalangi terwujudnya tugas itu maka rakyat berhak untuk menggantinya, yang dalam kalimat aslinya tertulis :

“...That, to secure these rights, the Government are instituted among men, deriving their just powers from the consent of the governed; that whenever any form of government destructive of these ends. It is the right of the people to alter or to abolish it, and to institute a new government”

Karena tegasnya kalimat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Pemerintah Amerika Serikat tidak ada yang berani mengabaikan ketentuan yang tertulis dalam UUD-nya, kalau perlu dengan kekuatan senjata (misal Perang Saudara 1862 – 1865). Berbeda dengan Indonesia, walaupun jelas-jelas mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentu- an yang tertulis dalam UUD 1945 tetapi tidak ada konsekuensi apapun. Dan tidak ada

kekuatan politik yang mengingatkan.4

Untuk meningkatkan 65 % sekolah di Indonesia yang masih berada di bawah standar nasional, pemerintah membutuhkan dana yang besar, dan itu mustahil dipenuhi dengan 20 % anggaran pendidikan sesuai yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 2003. DPR dan pemerintah menetapkan gaji pendidik tidak termasuk dalam lingkup anggaran pendidikan sebesar 20% APBN. Akan tetapi alokasi dana pendidikan saat ini yang memasukan gaji guru dalam lingkup anggaran pendidikan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Dengan dana yang demikian, pendidikan Indonesia pasti tak akan mengalami perubahan berarti.

Dilihat dari segi sarana prasarana dan fasilitas pendidikan, tidak banyak jumlah sekolah negeri yang memenuhi syarat. Seringkali ketika peresmian, semua peralatan tampak baru, bagus, bersih dan ‘apik’ tetapi dalam pemeli- haraannya, mutunya sungguh jauh di bawah sekolah swasta yang baik (mengingat tidak semua sekolah swasta dalam kondisi yang memenuhi syarat). Contoh yang paling mudah, tidak adanya lapangan olah raga yang memadai, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai lapangan olah raga, fasilitas laboratorium yang kurang memadai, penerangan yang temaram

walaupun lampu banyak terpasang tetapi hanya sedikit yang menyala (pengalaman penulis ketika membantu mengoreksi hasil ujian nasional di sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Semarang beberapa tahun lalu), fasilitas toilet yang sangat memprihatinkan (bau dan jorok), kantin yang kurang memadai, dan segala prasarana untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang jauh di bawah standard.

Melihat daya tampung sekolah negeri yang baik terbatas jumlahnya untuk seluruh rakyat negeri ini dan banyaknya kekurangan yang terjadi di sekolah negeri yang lain, maka tidak dapat disalahkan kalau masyarakat yang

mempunyai “kemampuanmemilih” mempercaya-

kan pendidikan anaknya di sekolah interna- sional bahkan dari tingkat TK sampai dengan perguruan tinggi. Sekolah internasional juga memberikan pengajaran yang bermutu dengan tingkat kedisiplinan yang baik dan berorientasi

pada sistem pendidikan Eropa (Cambridge

International Examinations) atau IB Amerika (International Baccalaureate) yang sudah diakui

dunia. Hal yang menarik lainnya adalah para

peserta didik yang berhasil memperoleh nilai tinggi dalam ujian Cambridge atau IB bisa langsung diterima di perguruan tertinggi terbaik di tingkat dunia, seperti Princeton, Illinois, Cambridge University.

Penulis mempunyai pendapat yang sama dengan Prof. Soedijarto yang mengatakan, “Karena itu kita tidak usah heran kalau para sarjana yang selama sekolah dari SD sampai perguruan tinggi dibiayai oleh orang tua tidak merasakan jasa pemerintah. …paradigm ‘rate of return’ (investasi yang telah ditanam oleh orang tua selama sekolah harus kembali), akibatnya generasi muda menjadi tipis patriotism”. Yang berbahaya adalah apabila selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi ada generasi muda dibiayai oleh pihak yang berencana mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945. Bagaimana cita-cita Negara

kebangsaan oleh para pendiri bangsa ini dapat tercapai apabila sampai dengan akhir-akhir ini, walaupun pasal-pasal UUD 1945 telah mempertegas tanggung jawab Pemerintah untuk membiayai pendidikan, tetapi praktik penye- lenggaraan pendidikan nasional menjadi

Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia

semakin jauh dari semangat dan aksara yang

digariskan dalam UUD 19455.

Tingginya loyalitas warga bangsa terhadap Negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian pemerintah suatu Negara kepada warga negaranya. Dalam kaitan dengan penyeleng-garaan pendidikan nasional hampir seluruh Negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan seluruh Skandinavia), pendidikan dari SD sampai Universitas dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah (Pusat dan Negara Bagian), sehingga mereka dapat merasakan kontribusi besar negaranya terhadap kesuksesan yang mereka capai, sehingga menimbulkan jiwa patriotik/heroik di dalam diri mereka. Pengorbanan mereka terhadap negaranya lahir dari kesadaran di dalam diri mereka. Model pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu rasa kebangsaan, kebanggaan sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas terhadap Negara

bangsa. 6

Kualitas Sumber Daya Manusia

Dalam era AFTA 2015 ini, tak hanya k e m a m p u a n b e r n e g o s i a s i produk, juga kua- litas sumber daya

manusia menjadi isu kritis yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Banyak sumber daya manusia hebat di Indonesia tetapi berkemam- puan bahasa asing mereka, dalam hal ini, bahasa Inggris sangat terbatas dibandingkan tenaga kerja dari Filipina, Malaysia, bahkan Singapura. Sebenarnya tidak dapat diperbandingkan mengingat bahasa Inggris merupakan bahasa kedua mereka dan bukan sebagai bahasa asing. Dengan demikian, siapa siap dia menang’ atau ‘siapa terampil dan punya keahlian dialah yang akan hidup.’

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Pemerintah Thailand telah menyiapkan sumber daya manusia mereka sebaik mungkin, yang salah satunya adalah dengan membuka sekolah bahasa Indonesia di negaranya. Di Singapura, selain bahasa Inggris yang memang

adalah bahasa percakapan sehari-hari mereka, bahasa China dan Indonesia pun dipelajari sebagai persiapan menyasar pasar Indonesia di masa depan.

Jauh berbeda dengan Indonesia yang terkesan selama ini kurang melakukan persiapan serta masih terlalu sibuk ribut dan gonjang-ganjing tentang sesuatu yang tidak substansial. Mulai dari tindak korupsi yang sudah ‘membudaya’ dan dilakukan tanpa malu, bahkan perebutan kekuasaan serta ‘perang jabatan’ sepertinya telah menisbikan persiapan kita menghadapi AFTA 2015. Masalah politik nampaknya masih menjadi primadona di negeri ini daripada bersama-sama mempersiapkan diri, saling bantu dan saling sokong menghadapi AFTA 2015. Sebetulnya semuanya harus berperan, termasuk pemerintah, karena dampak penerapan AFTA akan dirasakan oleh semua, tidak hanya satu dua orang.7

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang diberikan oleh Soedijarto pada 1 Maret 20148, bahwa di luar negeri, contohnya Amerika Serikat, 70 persen biaya perguruan tinggi n e g e r i / s w a s t a m e r u p a k a n bantuan dari

pemerintah (lima persen dari pemerintah kota,

45 persen pemerintah negara bagian, dan 20 persen pemerintah pusat), sedangkan di Indonesia, misalnya UI justru 60% adalah dari mahasiswa. Hal ini diakibatkan oleh anggaran pendidikan di Indonesia termasuk rendah, sehingga menimbulkan keraguan bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kemajuan pendidikan nasional. Masih ada hal-hal yang tertuang dalam pasal 31 UUD’45 diabaikan oleh pemerintah.

Menurut penulis, pendidikan di negara ini masih belum tepat sasaran dalam mengenali kebutuhan lapangan dengan sistem pembel- ajaran di sekolah untuk para peserta didiknya, sehingga peserta didik bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk menjawab kebutuhan lapangan. Sebagai contoh, apa yang

Menurut penulis, pendidikan di

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 109-113)