• Tidak ada hasil yang ditemukan

karakter dan tak bisa dilepaskan dari persoalan keteladanan.

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 123-125)

Buku ini berlimpah teladan. Keteladanan yang dipaparkan pun beragam. Mulai dari presiden sampai pemilik warung, mulai dari tokoh nonfiksi sampai rekaan. Tentang pentingnya keluarga dalam pembentukan karakter, Sumardianta menyuguhkan keluarga

Iwan dalam novel 9 Summers 10 Autumn. Novel

ini berkisah tentang pergulatan Iwan yang masa kecilnya di kota Batu penuh derita. Walau ayahnya tidak tamat SD, Iwan terus bertahan hingga akhirnya mereguk kesuksesan hingga ke

Times Square New York. Namun, gemerlap negara

Indonesia punya banyak pemimpin

tapi miskin teladan kepemimpinan.

Kepemimpinan erat terkait dengan

karakter dan tak bisa dilepaskan

dari persoalan keteladanan.

Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu

asing justru mengasingkannya ke kesunyian paling sunyi karena jauh dari keluarga. Iwan pun memilih pulang kampung, kembali berintim dengan keluarga. Kehangatan masa kecil dalam keluarga sederhana menjadikannya sosok berkarakter yang tangguh mempertahankan prinsip.

Tentang kejujuran, pembaca disuguhi kisah inspiratif perusahaan Blue Bird yang membang- un perusahaan dengan fondasi kejujuran. Kejujuran tidak bisa diajarkan hanya dengan menghafal “kejujuran adalah ...”. Kejujuran harus dihidupkan dan dihidupi dalam kehidupan sehari-hari. Ngelmu iku kalakone kanthi laku6 (hal.

155). Dengan fondasi kejujuran pula, Blue Bird mengembangkan seluruh pemangku kepenting- an untuk memiliki etos kerja penuh tanggung jawab dan disiplin tanpa meninggalkan kemurahan hati.

Ketika ketulusan menjadi langka dan pengertian ‘sesama’ semakin sempit, pembaca diajak menelusuri “Ah, Jakarta”. Penggalan cerpen Ahmad Tohari ini meneladankan ketulusan hati kepada sesama. Ada lembaran kisah tentang seseorang yang memberi tumpangan kepada karibnya. Walaupun sang karib adalah seorang kriminal, dia tetap merawatnya penuh ketulusan. Sementara banyak orang memahami sesama sebagai orang yang mendatangkan keuntungan. Dia menjadi teladan untuk memahami siapa ‘sesama’ dan bagaimana mengasihi (hal. 215).

Tak ketinggalan, karakter masyarakat yang cenderung reaktif-impulsif- posesif pun menjadi sorotan. Masyarakat butuh teladan. Tokoh Jawa klasik Pangeran Samber Nyawa dan Pandita Podo Winarno pun disodorkan. Sumardianta mengajak kita meresapi keutamaan dan kesederhanaan dari keduanya. Keutamaan karakter lemah lembut namun tegas serta gigih namun tidak kemrungsung7 (hal. 114) harus

menjadi core value8 . Jika tidak, sekolah hanya

akan menjadi gedung ramai aktivitas tapi sepi pendidikan karakter. Setiap pagi banyak yang datang tapi siang pulang tanpa pengokohan karakter.

Kerja keras, kejujuran dan ketulusan merupakan karakter yang harus tertanam sejak dini. Mengajarkannya di sekolah bukan perkara mudah. Bagi guru yang ingin mengajarkan

karakter sebagai hafalan, jangan membaca buku ini! Buku ini hanya cocok untuk guru yang hendak membumikan karakter sampai pada kedalaman pemahaman siswa. Sehingga siswa mampu memancarkannya dalam praktek kehidupan nyata.

Ketiga, menjadi penguri-uri budaya. Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah gudangnya kearifan lokal. Setiap pelosok negeri memiliki kearifan lokal yang unik. Sayang, banyak orang mengenalinya sebagai mitos. Setelah arus informasi menderas, mitologi banyak ditinggalkan. Padahal setiap mitologi dalam kearifan lokal menggambarkan ideologi masyarakat setempat. Sesungguhnya, mitologi tersebut membuktikan betapa masyarakat zaman dulu memiliki lompatan pemikiran yang melebihi zamannya. Karena tak terakomodasi dalam cara berkomunikasi pada zaman itu, lompatan pemikiran itu mendarat sebagai mitologi.

Mbah Maridjan adalah secuil teladan

bagaimana menguri-uri budaya kearifan lokal.

Letusan Merapi 2006 menjulangkan nama Mbah Maridjan. Santer terdengar, Mbah Maridjan-lah yang menghindarkan Dusun Kinahrejo dari amukan Merapi (hal. 123). Media merespon, memberi tawaran. Mbah Maridjan pun termakan tawaran media yang menjadikannya ‘rosa’9 nan

fenome-nal namun komersil. Mitologi lama pun berganti mitologi digital yang rapuh. Tidak lagi disadari hakikat mitologi lama bahwa penguasa Merapi (Eyang Permadi dan Kiai Sapuangin misalnya) merupakan perlambang kearifan ekologi, bukan sekadar mitologi. Mbah Maridjan mengakhiri cerita dengan kematian. Tak kelihatan lagi ke”rosa”an. Yang selalu lebih ‘rosa” tentu saja alam. Cerita Merapi dan Mbah Maridjan menegur keras setiap kita yang pongah dengan kecanggihan teknologi yang hampir pasti anti ekologi.

Teladan lain adalah Warung Bu Ageng yang digagas Butet Kertarajasa. Menguri-uri

budaya kearifan lokal dilakukannya dengan desain warung yang tidak biasa. Perabotan dirancang supaya tamu betah berlama-lama. Dihiasi banyak lukisan kata yang menggugah.

Salah satunya memajang kalimat “Urip Mung

Mampir Guyu”10. Hidup hanya mampir tertawa.

Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu

kehilangan senyum karena tergerus budaya

kemrungsung. Selain itu, ternyata, warung ini tutup hari Senin. Mengapa? Supaya bisa istirahat. Supaya tidak terseret arus mentalitas serakah peraihan untung sebanyak-banyaknya. Itulah teladan kearifan lokal yang selalu relevan dengan perubahan zaman.

Satu teladan lagi: multikultural. Sebagai negara multietnis, Indonesia memiliki lembaran cerita multikultural. Namun sayang, cerita multikultural yang ada di depan mata adalah cerita-cerita destruktif, merusak keutamaan multikultural itu sendiri. Bersyukur, masih ada tradisi kenduri dan penganan tradisional. Keduanya merupakan teladan tepat bagaimana menjaga kerukunan dan menghidupi toleransi (hal.243). Kenduri juga menunjukkan keterbukaan. Mi Tiongkok, roti Eropa, dan gulai India rukun berdampingan mengitari nasi Jawa. Penganan lumpia menunjukkan bagaimana m e n y a r i n g

budaya yang

kurang selaras dengan kearifan lokal. Cara mema- sak lumpia meru- pakan pengaruh Tiongkok. Tapi citarasanya yang manis merupakan

tradisi Jawa.

Daging babi pun diganti ayam atau udang. Wah, sungguh hidangan multikultural yang tidak hanya lezat di lidah tapi juga sarat teladan.

Melalui buku ini, Sumardianta hendak merangkul semua kalangan untuk merenungi hakikat pendidikan. Urusan pendidikan terlalu luas untuk dipercayakan kepada sekolah. Urusan pendidikan adalah urusan kita semua. Jangan menunggu pemerintah untuk menggerakkan perubahan. Mari mulai dari diri sendiri untuk menjadi pendidik penggerak perubahan. Salah satu caranya adalah dengan menjadi guru gokil.

Membaca Guru Gokil Murid Unyu’ layak disebut sebagai pengalaman. Kuat dalam referensi. Cukup bernas untuk dijadikan refleksi dan banyak di antaranya merupakan resensi. Dengan membaca buku ini, pembaca sama dengan membaca intisari banyak buku. Namun,

hal ini bisa menjadi bumerang. Bisa jadi, buku ini hanya menjadi kumpulan perspektif penulis buku lain, bukan perspektif Sumardianta. Akan tetapi, disitulah letak usikannya. Pembaca harus jeli membedakan. Mana perspektif Sumardianta, mana perspektif penulis buku yang diresensi.

Buku ini juga menyiratkan kelebihan lain seorang Sumardianta. Yaitu kemampuannya meracik, meramu, dan menghidangkan hal-hal rumit secara sederhana. Ia juga terampil meneropong sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Caranya memandang satu fenomena seringkali berbeda bahkan bertolak belakang dengan pandangan umum. Petualangan Magellan dan Cheng Ho di mata Sumardianta bukan sekadar perjalanan mengarungi lautan. Magellan dan Cheng Ho merupakan gambaran perkembangan teknologi pangan bangsa Asia dan Eropa. Alhasil, pembaca pun akan mendapatkan bonus ganda: menemukan banyak hal baru dan melihat sesuatu dengan ‘mata’ baru. Sumardianta bisa dikatakan berhasil menam- pilkan corak baru penulisan teruta- ma dalam menyu- guhkan kosakata yang tidak biasa. Hampir di seluruh bagian terdapat kata-kata yang unik bahkan ganjil. Baik dari bahasa Jawa maupun bahasa Latin.

Nggabrul11, derep12, klangenan13, numani14, rumongso handarbeni15, melu hangrungkebi16, mulat sariro hangroso wani17, dan brayut18merupakan

sedikit contohnya. Walau bersumber dari bahasa Jawa, kata-kata tersebut tidak lagi sering terdengar dalam percakapan sehari-hari bahkan oleh masyarakat Jawa sekalipun. Banyak pula frase bahasa latin. Misalnya adalah requiem aeternam dona eis, domine: et luxperpetua luceat eis19

(hal. 91). Contoh lain adalah via dell 20, amor mundum fecit21, dan gioia senzaniente22. Persentase

pembaca yang memahami kata-kata langka dan frase- asing tersebut tentu sangat sedikit. Mungkin kata-kata tersebut merupakan kata yang paling tepat untuk mewakili konsep pemikirannya. Benar bahwa bahasa Indonesia

Urusan pendidikan adalah urusan

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 123-125)